Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nadifa Salsabila Nizar

Pandemi, Mati Muda, dan Kecemasan Menghadapi Kematian

Info Terkini | Monday, 02 Aug 2021, 10:53 WIB

Semalam saya ikut tahlilan online untuk mendoakan teman satu Aliyah yang meninggal karena Covid-19. Jujur, saya kaget karena selama ini jika mendapat kabar duka, mereka adalah “orang jauh”, tidak saya kenal. Jangankan mengenal, tahu saja tidak. Entah itu temannya teman saya, tetangganya teman saya, orang tuanya, atau gurunya teman saya. Tapi, teman saya yang baru saja meninggal ini adalah teman yang saya kenal, cukup dekat (karena satu asrama saat Aliyah), pernah beberapa kali ketemu personal, dan juga chatting via WA. Saya terdiam sesaat ketika pertama kali mendapat berita duka ini.

“Lagi, Engkau panggil teman-teman saya terlebih dahulu, Ya Allah.”, batin saya.

Yang membuat saya sedih lagi, dia meninggal tidak sendirian tapi bersama bayi yang sedang dikandungnya. Sepertinya Allah tidak ingin memisahkan mereka berdua setelah delapan bulan bersama.

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya mendapati teman-teman seusia saya meninggal. Sebelum ini, teman saya SMP meninggal karena kecelakaan kerja dan teman saya satunya, satu organisasi di kuliah, meninggal karena Covid dengan meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi. Ya, memang bukan pertama kali tetapi sepertinya belum juga membuat saya siap jika kabar itu datangnya dari saya sendiri.

Mati di Usia Muda

Kasus kematian di usia muda bukan lagi rahasia. Penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian tertinggi di Indonesia, seperti stroke, jantung, dan diabetes, yang dulu dianggap penyakitnya orang tua, makin kesini tak sedikit anak muda yang terkena. Tahun 2020, ada tamu yang tak diundang lagi tak diharapkan. Tanpa permisi datang tiba-tiba dan memporak-porandakkan rumah kita. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan Corona. Belum kelar masalah kita dengan penyakit tidak menular yang mematikan, kita harus berhadapan dengan virus satu ini. Tak dapat dielakkan, negara kita mengalami double burden of disease atau beban ganda dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit tidak menular dan penyakit menular.

Orang tua dengan komorbid menjadi perhatian lebih karena mereka kelompok yang sangat rentan terpapar virus Corona dengan tingkat kematian yang tinggi. Namun, ternyata corona tidak tebang pilih, anak muda yang bahkan tanpa komorbid pun juga menjadi korbannya.

“Padahal dia nggak ada riwayat penyakit sebelumya, lho. Dia juga taat prokes.”ujar kawan saya.

Wallahu’alam. Saya tidak bisa berkomentar banyak. Yang saya tahu bahwa mati itu pasti, tidak pandang usia dan tidak dapat diterka.

Cemas Menghadapi Kematian

Bicara soal kecemasan menghadapi kematian, menurut saya hal yang wajar karena kita belum pernah mengalami dan mendapat testimoni. Kecemasan menghadapi kematian atau bisa disebut dengan death anxiety adalah kondisi emosional dimana seseorang merasa tidak nyaman karena memikirkan kematian bahkan diikuti penolakan. Takut akan perasaan kesepian, kehilangan, perpisahan, dan reaksi negatif lainnya. Teori Terror Management menjelaskan pada dasarnya manusia memiliki insting untuk terus mempertahankan hidup dan eksistensinya padahal cepat atau lambat dia akan bertemu dengan kematian. Hal ini yang membuat dia merasa seperti diteror oleh kematian.

Sama halnya ketika kita menghadapi pandemi. Jumlah kasus yang makin meningkat, IGD yang penuh sesak, tabung oksigen yang langka, berita duka dimana-mana hingga dana bansos yang dikorupsi menterinya, seolah kematian sedang melambai-lambai ke arah kita. Menurut jurnal yang dipublikasikan oleh Public Health Emergency Collection, Cambridge University Press pada 2020 menunjukkan bahwa Covid-19 memengaruhi perilaku dan mental manusia yang memicu timbulnya kecemasan.

Kita memang tidak bisa mengendalikan virusnya tetapi kita bisa mengendalikan respon dalam menghadapinya. . Keyakinan pada Tuhan, kontrol diri, dan dukungan sosial. Setidaknya tiga hal ini yang bisa diupayakan guna mengurangi kecemasan dalam menghadapi kematian. Pertama, keyakinan pada Tuhan.

Setiap agama memiliki kepercayaan masing-masing tentang kehidupan pasca kematian. Dalam Islam, kami meyakini ada akhirat, tempat dimana nanti kami akan hidup selamanya, akankah bermuara di surga atau neraka. Untuk mencapainya, sudah ada tuntunan yang dijelaskan dalam Al Quran dan dicontohkan oleh Rasulullah.

Semakin dekat dengan Allah, ketakutan yang dirasakan semakin kecil. Maka bisa jadi, hikmah dibalik ini adalah agar kita kembali kepadaNya dan mensyukuri nikmat yang sering luput dan terlupa oleh kita. Kedua, kontrol diri. Seseorang yang memiliki kendali kuat akan diri dan lingkungannya, dapat mengurangi tingkat kecemasan. Dia mengerti mana yang perlu “dikonsumi” dan mana yang tidak.

Dan terakhir, dukungan sosial. Seseorang yang memiliki supporting system yang kuat, seperti keluarga, pasangan, atau sahabat akan cenderung memiliki kecemasan yang rendah. Penting bagi keluarga atau kerabat memberi support baik materi non materi kepada pasien atau yang sedang menjalani isoman.

Melihat banyaknya yang berpulang harusnya menjadi bisa menjadi pembelajaran –bagi saya khususnya- karena kematian adalah satu-satunya hal yang pasti dialami oleh manusia. Ungkapan “Mati tidak harus menunggu tua” hadir di depan kita bukan dalam bentuk kata-kata tetapi realita.

Perasaan cemas akan kematian tidak hanya dialami oleh mereka yang lanjut usia tetapi juga dapat dirasakan oleh kawula muda, termasuk saya. Cemas itu wajar tetapi cemas tanpa disertai persiapan justru itu yang lebih mencemaskan.

Pandemi ini tidak ada yang tahu sampai kapan tetapi yang kita ketahui pasti ini semua kuasa Tuhan. Entah karena Covid atau lain hal, kita semua pasti berpulang. Maka persiapkan. Sejatinya kita hanya menunggu giliran saja, kan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image