Orientasi Bisnis Bank Syariah
Bisnis | 2021-07-28 09:03:04Oleh: Muhammad Syafiâie el-Bantanie
Bersama lembaga ziswaf, bank syariah menjalankan peran penting dalam mengatasi persoalan perekomonian umat. Jika lembaga ziswaf menjalankan perannya dalam bidang ekonomi syariah berbasis sosial, maka bank syariah menjalankan perannya melalui ekonomi syariah berbasis komersial.
Namun demikian, ini tidak berarti bank syariah menjalankan operasional bisnisnya seperti lembaga bisnis pada umumnya yang murni berorientasi laba. Orientasi bisnis bank syariah semestinya bukan mengejar besarnya laba pada akhir tahun, melainkan besarnya kebermanfaatan yang dirasakan umat.
Karena itu, rapat pemegang umum saham (RUPS) bank syariah pada akhir tahun, semestinya bukan semata membahas besaran laba dan dividen yang akan dibagi-bagi, melainkan berapa besar persoalan perekonomian umat yang bisa teratasi dengan kehadiran bank syariah.
Jika kehadiran bank syariah belum menjadi solusi persoalan ekonomi umat dan tidak banyak dirasakan manfaatnya, sejatinya bank syariah telah gagal menjalankan perannya membangun ekonomi syariah berbasis komersial. Karena itu, bank syariah perlu mengevaluasi orientasi bisnis dan kebijakan-kebijakan turunannya.
Dalam hal ini, setiap transaksi muammalah yang ditawarkan bank syariah kepada umat, perlu memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran dalam menetapkan margin keuntungan. Tidak ada batasan dalam Islam untuk mengambil margin keuntungan dalam setiap transaksi muammalah.
Namun demikian, asas kepatutan dan kewajaran menentukan margin keuntungan patut diperhatikan. Jika margin keuntungan bank syariah sama besarnya dengan bunga bank konvensional, lantas di mana letak fungsi solusi atas persoalan ekonomi umat? Praktis bank syariah baru sebatas mampu menghadirkan layanan transaksi ekonomi bebas ribawi, namun belum mampu menjadi solusi perekonomian umat.
Tidak heran dalam berbagai kasus di lapangan, calon nasabah yang semula mengajukan pembiayaan murabahah melalui bank syariah, mengurungkan niatnya, bahkan ironisnya ada yang terpaksa beralih kembali ke bank konvensional.
Pasalnya, margin keuntungan yang ditentukan bank syariah dalam sebuah transaksi murabahah dinilai terlalu tinggi. Salah satu contoh kasus di lapangan, pembiayaan murabahah dengan nilai Rp 200-an juta dengan tenor 10 tahun, margin keuntungan yang ditetapkan bank syariah nyaris mencapai nilai 100% dalam waktu tenor tersebut. Sehingga, total yang mesti dicicil nasabah untuk nilai pokok dan margin keuntungan mencapai Rp 400-an juta selama 10 tahun.
Dengan nilai margin keuntungan sebesar itu, terlepas dari sisi akadnya, nyaris tidak ada bedanya dengan besaran bunga pada bank konvensional. Memang faktor inflasi menjadi indikator penting yang menjadi perhitungan dalam menentukan margin keuntungan.
Nilai rupiah saat ini dengan sepuluh tahun yang akan datang tentu saja berbeda karena tergerus inflasi. Namun, menurunkan prosentase margin keuntungan sekian persen dengan tetap memperhatikan inflasi, rasanya masih sangat mungkin dilakukan.
Kemudian, selain pada transaksi pembiayaan murabahah, bank syariah juga perlu mengevaluasi transaksi pembiayaan mudharabah. Berbeda dengan kredit usaha produk bank konvensional yang berbasis bunga, mudharabah memiliki keunggulan karena berbasis bagi hasil. Prosentase bagi hasil antara shahibul mal (bank syariah) dan mudharib (pelaku usaha) disepakati bersama pada awal akad mudharabah.
Selain itu, pada mudharabah, jika terjadi kerugian usaha yang bukan karena kelalaian atau ketidakprofesionalan mudharib, maka kerugian usaha ditanggung bersama sebagaimana keuntungan juga dinikmati bersama.
Hal ini berbeda dengan kredit usaha pada bank konvensional, bank tidak peduli apakah pelaku usaha memperoleh untung sedikit atau besar, cicilan setiap bulan yang terdiri dari pokok dan bunga bersifat tetap. Padahal, keuntungan usaha itu fluktuatif, bahkan bisa juga merugi.
Secara umum, akad mudharabah telah diterapkan oleh bank syariah. Namun demikian, pada beberapa kasus di lapangan, bukanlah mudharabah murni. Sistem bagi hasil yang diterapkan tidak berdasarkan nilai riil keuntungan yang diperoleh pelaku usaha. Melainkan, berdasarkan asumsi rata-rata keuntungan per bulan dalam setahun.
Kemudian, menjadi acuan faktor kali dengan prosentase bagi hasil yang disepakati pada awal akad. Nilai inilah yang kemudian menjadi bagi hasil keuntungan bulanan bank syariah yang dibayarkan oleh pelaku usaha ditambah modal pokok.
Padahal, sekali lagi keuntungan usaha itu fluktuatif setiap bulannya. Terkecuali untuk kasus usaha yang sifatnya projek. Maka, nilai keuntungan bisa dihitung dengan mudah pada akhir projek, lalu dibagi hasil sesuai akad mudharabah.
Oleh karena itu, perlu keberanian dari bank syariah untuk menerapkan mudharabah sesuai konsepnya. Apakah ini bisa mengakibatkan potensi kerugian bisnis bank syariah menjadi besar?
Justru sebaliknya, dengan skema mudharabah murni, maka bank syariah mesti lebih profesional dalam melakukan survei kelayakan usaha. Sehingga, pelaku usaha yang bekerjasama dengan akad mudharabah adalah pelaku usaha yang benar-benar amanah, kompeten, dan profesional.
Selain itu, kewajaran dalam menentukan prosentase bagi hasil juga perlu dievaluasi. Jangan sampai muncul anggapan kredit usaha berbasis bunga di bank konvensional justru lebih âmenjanjikanâ dibandingkan sistem bagi hasil di bank syariah. Ini bisa menjadi blunder bagi perkembangan dunia perbankan syariah.
Dengan demikian, terlihat jelas bedanya antara bank konvensional dan bank syariah. Selain akadnya terbebas dari unsur ribawi, margin keuntungan bank syariah lebih kecil daripada bunga bank konvensional. Selan itu, skema pembiayaan usaha bank syariah berbasis mudharabah murni juga jauh berbeda dengan skema kredit usaha bank konvensional.
Kebijakan tersebut justru berpotensi menaikkan laba bank syariah pada akhir tahun. Karena, bisa memacu umat Islam memanfaatkan fasilitas pembiayaan bank syariah, baik berupa murabahah maupun mudharabah. Faktor kali peningkatan angka nasabah dan pembiayaan jelas berdampak pada potensi besaran laba bank syariah.
Merger tiga bank syariah plat merah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), semestinya menjadi momentum untuk mengevaluasi berbagai kebijakan operasional bisnis bank syariah. Sehingga, bank syariah semakin dirasakan kebermanfaatannya oleh umat Islam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.