Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Urgensi Profesionalisme Nazhir

Bisnis | 2021-07-22 15:19:25

Oleh: Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Konsep dasar aset adalah sesuatu yang harus bekerja menghasilkan. Maka, wakaf produktif adalah aset wakaf yang berkerja menghasilkan surplus wakaf untuk kemudian disalurkan kepada mauquf ‘alaih (sasaran wakaf). Tahan pokoknya dan alirkan hasilnya. Prinsip wakaf ini mesti dipahami dan diimplementasikan dengan tepat agar tujuan wakaf menghadirkan kesejahteraan umat bisa terealisasi.

Aset wakaf berupa ruko disewakan, sehingga menghasilkan uang sewa. Tanah wakaf diproduktifkan menjadi lahan pertanian, sehingga menghasilkan panen. Aset wakaf bangunan atau gedung dimanfaatkan menjadi pesantren atau madrasah, sehingga memberikan layanan pendidikan bagi umat. Inilah yang seharusnya dipikirkan terkait aset wakaf.

Hari ini banyak aset wakaf yang mangkrak alias tidak terkelola dengan baik dan terbengkalai. Jangankan menghasilkan surplus wakaf, termanfaatkan saja tidak. Aset wakaf yang mangkrak bisa menjadi beban (liability) karena menimbulkan biaya perawatan atau mengalami depresiasi (penyusutan nilai aset).

Selain itu, aset wakaf yang mangkrak juga berarti nazhir telah menyia-nyiakan amanah dari wakif (orang yang berwakaf). Saat mewakafkan asetnya, tentu saja wakif menginginkan asetnya bisa memberikan manfaat bagi umat, sehingga pahala kebaikannya terus mengalir. Jika ternyata aset yang diwakafkannya mangkrak, tentu ini mengecewakan wakif. Karena itu, jangan lagi berpikir memperbanyak aset wakaf tanpa dibarengi kemampuan memproduktifkannya.

Agar aset wakaf tidak mangkrak, maka paradigma tentang nazhir perlu diubah. Dari nazhir perorangan menuju nazhir kelembagaan. Dari nazhir tradisional menuju nazhir profesional. Maka, wakif perlu selektif dalam menunjuk atau menentukan nazhir. Karena, produktifitas aset wakaf kuncinya terletak pada nazhir. Karena itulah, kompetensi dan profesionalitas nazhir menjadi sangat penting.

Salah satu syarat menjadi nazhir adalah al-kafa’ah (kompeten dan profesional). Nazhir dituntut mampu menjalankan tugas-tugas kenazhirannya secara amanah dan profesional. Karena itu, tidak boleh lagi ada nazhir sebagai pekerjaan sampingan atau sambilan. Nazhir mesti bekerja penuh waktu untuk mengelola dan mengembangkan aset-aset wakaf agar memberikan kebermanfaatan optimal bagi umat Islam.

Karena itulah, nazhir mesti memiliki kompetensi memadai, yaitu pertama, memahami fiqh wakaf dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan wakaf. Dalam upaya mengelola dan memproduktifkan aset wakaf, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari regulasi perwakafan, baik regulasi syariah maupun perundangan-undangan tentang wakaf yang berlaku di Indonesia. Karenanya, nazhir harus memahaminya dengan baik sebagai panduan dalam mengelola dan memproduktifkan aset wakaf. Tidak boleh ada pengembangan aset wakaf yang tidak sejalan dengan fiqh wakaf dan undang-undang wakaf.

Kedua, memahami ekonomi syariah dan instrumen keuangan syariah. Dalam upaya mengelola dan memproduktifkan aset wakaf, sangat mungkin akan beririsan dengan lembaga keuangan syariah. Biasanya dalam konteks kerjasama wakaf tunai. Dari wakaf tunai yang terhimpun, bisa digunakan untuk memproduktifkan aset-aset wakaf yang memerlukan suntikan dana agar bisa menghasilkan surplus.

Ketiga, memiliki jaringan yang luas. Dalam upaya mengelola dan memproduktifkan aset wakaf, bisa jadi membutuhkan pihak ketiga sebagai investor. Misalnya, aset tanah wakaf akan diproduktifkan menjadi pabrik pengolahan hasil pertanian. Maka, dibutuhkan investor yang bisa membangun infrastruktur pabrik untuk bisa beroperasi dan berproduksi. Skemanya bisa dengan bagi hasil keuntungan.

Keempat, memiliki integritas yang baik. Ini kompetensi paling penting. Mengelola dan memproduktifkan aset wakaf pasti akan berurusan dengan uang umat. Bisa jadi jumlahnya besar. Di sinilah pertaruhan integritas nazhir. Nazhir harus mampu mengelolanya secara transparan dan akuntabel yang dibuktikan dengan audit keuangan dan syariah.

Dari empat kompetensi nazhir di atas, kita memahami alasan dan pentingnya menunjuk nazhir wakaf kelembagaan atau badan hukum, bukan lagi nazhir perorangan. Karena, pada umumnya nazhir kelembagaan dan badan hukum memiliki sistem dan mekanisme kinerja yang baik dan profesional. Sehingga, memudahkan wakif untuk mengontrol dan meminta pertanggungjawaban kepada nazhir.

Hal ini akan berbeda pada nazhir perorangan. Sumber daya yang dimiliki tentu saja terbatas. Akibatnya, sangat mungkin tugas-tugas kenazhiran tidak bisa dilakukan secara optimal dan profesional. Wakif pun relatif kesulitan melakukan pengawasan dan meminta pertanggungjawaban. Karena, tidak ada sistem dan mekanisme kinerja yang tertata. Dari sinilah biasanya bermula mangkraknya aset wakaf. Bahayanya, jika pengalaman ini menimbulkan trauma bagi wakif untuk berwakaf.

Karena itu, pengembangan wakaf sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan umat mesti dimulai dari perbaikan kualitas kompetensi nazhir. Sehingga, nazhir bisa menjalankan tugas kenazhiran dengan amanah dan profesional. Dengan demikian, aset-aset wakaf bisa produktif menghasilkan surplus wakaf. Pada akhirnya, tujuan wakaf untuk menghadirkan kesejahteraan umat bisa terealisasi.

Pertanyaannya, jika nazhir mesti bekerja penuh waktu dan profesional, apakah nazhir mesti digaji? Jawabannya, ya. Para ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat membolehkan nazhir wakaf diberikan imbalan kerja atau gaji sesuai kepantasan, meski mereka berbeda dalam besaran dan sumbernya.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang besaran dan sumbernya, jika kita mengacu kepada undang-undang wakaf No. 41 tahun 2004 ditetapkan bahwa imbalan nazhir adalah 10% dari hasil pengelolaan aset wakaf. Jika mengacu pada undang-undang wakaf, maka menjadi jelaslah besaran dan sumber gaji bagi nazhir.

Karena itulah, kompetensi nazhir menjadi sangat penting. Karena, gajinya berasal dari sumber surplus aset-aset wakaf yang dikelola dan diproduktifkan. Dengan hadirnya nazhir-nazhir yang penuh waktu, amanah, kompeten, dan profesional diharapkan tidak ada lagi aset wakaf yang mangkrak dan terbengkalai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image