Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fokker

Pocut Baren Sang Harimau Betina Dari Aceh

Sejarah | 2021-07-20 02:34:18
Pocut Baren

Perang Aceh yang meletus pada tahun 1873 hingga 1904 telah menorehkan “tinta emas” sejarah perjuangan para pahlawan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda. Banyak para pahlawan Aceh yang namanya abadi hingga kini, sebagai simbol perjuangan melawan kolonialisme.

Diantara para pahlawan tersebut ada Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Panglima Polim, Cut Nyak Mutia, Pocut Baren, dan lain-lain. Para pejuang tangguh inilah yang kelak mengharumkan nama Aceh, sebagai daerah yang paling sulit ditaklukkan oleh Belanda. Khususnya Pocut Baren, yang akan kita bahas saat ini.

Upaya penaklukkan Aceh tidak lepas dari peran Snouck Hurgronje dengan siasat pecah belahnya, umat Islam Aceh dapat dipengaruhi dan dikontrol gerak geriknya. Militansi pejuang-pejuang Muslim tidak dapat dianggap remeh. Hingga pasukan elit Marsose Belanda didatangkan guna memadamkan perlawanan Aceh.

Kekuatan utama yang dimiliki oleh pejuang Aceh adalah semangat jihadnya. Perang Aceh ini terhitung menjadi empat waktu yang berbeda. Perang Aceh Pertama terjadi pada 1873-1874. Perang Aceh Kedua terjadi pada 1874-1880. Perang Aceh Ketiga terjadi pada 1881-1896. Serta Perang Aceh Keempat pada 1896-1910.

Perang pertama dan kedua adalah perang terbuka, dimana pasukan Aceh dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah bersama Panglima Polim melawan Jenderal Kohler. Perang ketiga dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Sedangkan perang keempat dipimpin oleh Pocut Baren dengan srategi gerilya secara masif.

Menghindar Dari Penyergapan

Gugurnya Teuku Umar dan upaya penangkapan Cut Nyak di Dhien Beutong Le Sageu pada tahun 1905, membuat ia semakin mawas dalam bergerilya. Penyergapan terhadap Cut Nyak Dhien sendiri didukung oleh Pang Laot seorang gerilyawan, yang tidak tega melihatnya sakit-sakitan tetapi menerus bertempur.

Pada peristiwa penyergapan Belanda di markas gerilya Cut Nyak Dhien, Pocut Baren berhasil menyingkir bersama sisa pasukannya ke dalam hutan. Sedangkan Cut Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang untuk meredam pengaruhnya dikalangan rakyat Aceh.

Upaya Pocut Baren menghimpun kekuatan rakyat Aceh untuk bangkit kembali melawan Belanda ternyata mendapatkan apresiasi yang besar. Medan gerilya yang ia jelajahi saat itu terfokus pada area pegunungan di Aceh Tengah. Keputusan pendirian markas di Gunung Mancang menjadi strategi terakhirnya berjuang.

Para pejuang yang terhimpun di Gunung Mancang mengandalkan siasat alami untuk bertempur. Keunikan struktur gunung yang terjal kelak dapat membuat Belanda berpikir keras untuk melakukan penangkapan.

Berjuang Hingga Akhir di Gunung Macang

Strategi penyerangan secara frontal pada pos-pos patroli kecil Belanda ternyata menimbulkan kekacauan di pihak gerilyawan. Jejaknya dapat dikenali walau membutuhkan waktu hingga 4 tahun lamanya untuk dapat menemukan lokasi persembunyiannya.

Belanda menambah jumlah pasukan pada setiap pos yang telah diserangnnya. Pengepungan panjang pun terjadi terhadap pasukan Pocut Baren. Mereka semakin terdesak jauh kepedalaman hutan tanpa akses logistik yang memadai.

Pertahanan di goa Gunung Mancang akhirnya ia siasati dengan berbagai macam perangkap yang mematikan. Medannya yang terjal menguntungkan pihaknya untuk bertahan menghadapi gempuran Belanda.

Menyadari hal ini, Belanda segera melakukan pengepungan di kaki Gunung Mancang. Setiap pasukan Belanda yang hendak mendaki, maka batu-batu besar segera dijatuhkannya dari atas gunung untuk menghalau. Minimnya amunisi memaksanya menggunakan senjata seadanya untuk menghadapi Belanda.

Siasat pembakaran hutan di sekitar gunung akhirnya diputuskan oleh Belanda. Asap pembakaran yang pekat akhirnya dapat membuat pasukannya menyerah. Pada pertempuran terakhirnya, ia terkena tembakan pada kaki yang menyebabkan dirinya dapat ditangkap hidup-hidup oleh Belanda.

Usai penangkapannya, ia lantas dipindahkan ke Kutaraja. Dianggap sudah tidak membahayakan, akibat kakinya yang diamputasi usai tertembak. Ia lantas dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop dan diangkat sebagai seorang uleebalang.

Semangat perjuangannya tidak pernah padam. Syair-syair perjuangan ia tuliskan guna memberikan semangat bagi para pejuang Aceh lainnya. Terlebih ketika pantun-pantunnya yang bertema perlawanan berhasil mempengaruhi rakyat Aceh untuk terus berjuang.

Perjuangan Sang Harimau Betina akhirnya dapat dipadamkan oleh Belanda pada tahun 1910. Semangat juang yang tentu menginspirasi kita saat ini. Seorang perempuan pejuang yang tidak kenal lelah dan menyerah selama berjuang. Seyogyanya dapat terus diingat untuk para generasi yang akan datang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image