Kambing Baru untuk Idul Adha: Berkurban Jangan Pakai Perasaan
Agama | 2021-07-15 17:35:44Kambing baru... kambing baru... kambing baru... teriakan sejumlah anak-anak bertalu-talu setiap ada seorang jamaah masjid di dekat rumah, yang membawa hewan kurban untuk didaftarkan ke panitia Idul Adha. Teriakan itu khas, bahkan tidak mengalami modifikasi diksi dari sejak saya masih kecil. Namun, teriakan tersebut akan hilang bersama angin karena ditelan suara tahlil, takbir, dan tahmid yang merobek suramnya malam.
Berkurban sapi, kambing, atau bahkan unta merupakan satu keharusan bagi setiap Muslim yang berkecukupan. Berkecukupan di sini bukan hanya kaya, tapi memiliki dana yang cukup setiap ingin membeli sesuatu.
Cukup dana ketika ingin membeli kendaraan, cukup dana ketika ingin membeli rumah, cukup dana untuk traveling, cukup dana membeli pakaian atau sepatu baru, atau cukup dana untuk membeli ponsel keluaran terbaru. Jika semua syarat 'cukup' itu sudah terpenuhi, mestinya kita malu bila beralasan tidak memiliki cukup dana untuk berkurban.
Bahkan, kita yang berkecukupan harusnya menutup wajah karena malu, saat mendengar pada 2013 ada seorang pemulung berusia 68 tahun bernama Sahati memberikan seekor kambing kepada masjid dekat rumahnya. Sahati yang kehidupan sehari-harinya berada di bawah garis kecukupan, rela menabung Rp 500 sampai seribu rupiah setiap harinya selama tujuh tahun untuk membeli seekor kambing. Ya tujuh tahun, waktu yang sangat panjang untuk membeli seekor kambing yang harganya tak lebih dari Rp 2 juta.
Tidak memiliki uang atau tak menyiapkan dana untuk berkurban selalu menjadi alasan bagi sebagian orang yang 'cukup' untuk tidak berkurban. Padahal, misalnya, kita baru membeli ponsel anyar, kendaraan gres, atau baru saja pergi liburan dengan keluarga besar yang menghabiskan dana tak sedikit. Tapi ketika Idul Adha datang, kita beralasan tidak memiliki dana untuk membeli seekor kambing yang harganya tak lebih dari Rp 2 juta. Kita mulai hitung-hitungan, mulai pakai perasaan.
Penghasilan kita sebagai pekerja kantoran atau berwirausaha tentu lebih dari cukup bila dibandingkan Nenek Sahati. Namun, tetap saja kita melewatkan Hari Raya Idul Adha tanpa berkurban. Padahal dengan perencanaan keuangan yang benar, kita tidak punya alasan untuk tak berkurban saban tahunnya.
Senior Planner di OneShildt Financial Planning, Rahma Mieta Mulia, CFP, mengatakan tidak adanya dana yang tersedia menjadi alasan seseorang tidak berkurban. Padahal jika dipersiapkan dari jauh hari dan dijadikan kebiasaan, berkurban bisa dijadikan rutinitas tahunan bahkan mengalami peningkatan setiap tahun.
Ia mengatakan, jika tahun ini berkurban kambing, dengan niat yang tulus mengharapkan ridha Allah, tahun depan kita bisa berkurban sapi. Rahma mengatakan, setiap Muslim, kaya atau muda, semua bisa berkurban. Caranya dengan menyisihkan dana selama satu tahun. Sedikit-sedikit setiap hari, ringan tapi efektif.
Kita, kata Rahma, bisa menentukan sumber dana yang akan disisihkan. Misalnya dari pendapatan bulanan atau pendapatan tahunan seperti tunjangan hari raya (THR) atau bonus. "Jika berniat untuk menyisihkan setiap bulan, bagilah target dana kurban yang harus dipenuhi dengan jumlah bulan yang tersisa, misalnya Rp 2.875.000 per 12 bulan yang berarti jumlah uang yang harus disisihkan adalah sebesar Rp 240 ribu setiap bulan,â kata dia menjelaskan.
Ulama kharismatik Buya Hamka punya pernyataan luar biasa soal berkurban. Menurut Buya Hamka, berkurban adalah sesuatu yang sangat berat. Hal itu bisa dilihat dari sejarah kurban yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, yang harus rela mengorbankan anaknya, Ismail AS, sesuai perintah Allah.
Sirah Nabi Ibrahim AS memang mengagumkan. Beliau tidak memiliki anak keturunan hingga berusia lanjut. Ketika doanya agar diberikan keturunan dikabulkan Allah, ia harus rela meninggalkan putranya yang masih bayi, Nabi Ismail AS, dan istrinya Siti Hajar di lembah tandus tak berpenghuni di dekat Ka'bah atas perintah Allah. Lagi-lagi atas perintah Allah melalui mimpi, Bapak Para Nabi itu juga dengan ketaatannya menjalankan perintah untuk menyembelih putranya, Ismail.
Seperti pepatah, buah tak jatuh dari pohonnya. Keimanan Nabi Ibrahim AS yang menjulang tinggi juga dimiliki Nabi Ismail AS. Ia rela disembelih ayahnya jika memang itu perintah Tuhan, hingga akhirnya Nabi Ismail diganti dengan domba sembelihan yang besar.
Lalu kenapa kita harus berkurban? Jawabannya ada di penggalan pesan almarhum Ustadz Muhammad Arifin Ilham.
Pertama, kata Ustadz Arifin, sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat kehidupan yang diberikan. Kedua, menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim AS, khalilullah (kekasih Allah), yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail AS ketika hari an-nahr (Idul Adha).
"Ketiga, agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Ismail AS, dalam hal ketaatan dan kecintaan kepada-Nya.
Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan, sehingga Ismail pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah.
Sejatinya kehendak ibadah kurban adalah keikhlasan dan ketakwaan. Daging dan darah hewan kurban kita sama sekali tidak akan sampai kepada-Nya jika tidak disertai takwa dan ikhlas. "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS al-Hajj: 37).
Orang yang mampu berkurban tapi tidak berkurban, hukumnya makruh. "Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami." (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim, dari Abu Hurairah RA).
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Walillahilham...
Mendaras kisah pengorbanan Ibrahim, Ismail, hingga Nenek Sahati, masihkah kita hitung-hitungan dalam berkurban? Coba cek lagi tabungan, gadget yang mungkin kebanyakan, atau perhiasan simpanan yang jarang kita pakai. Mungkin semua itu lebih dari cukup untuk membeli seekor kambing, atau bahkan sapi, mumpung masih ada waktu untuk menyembelih hewan kurban selama hari tasyrik (11, 12, 13 Zulhijah).
Ayolah saudaraku, berkurbanlah tanpa menimbang untung rugi, tanpa hitung-hitungan, dan jangan memakai perasaan atau nanti kita jadi korban perasaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.