Kinerja Birokrasi Saat Pandemi Covid-19
Politik | 2021-07-14 19:36:57Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali mulai 11 Januari hingga 25 Januari 2021. Salah satunya membatasi tempat kerja perkantoran (termasuk instansi pemerintahan) dengan menerapkan 75% work form home (WFH) dan 25% work from office (WFO).
Kebijakan yang tepat tatkala penyebaran virus covid 19 semakin meroket, dan menegaskan kembali pentingnya kesehatan di atas aspek lainnya. Walau demikian, bukan berarti urusan birokrasi menjadi tidak berfungsi dan hilang aktivitasnya. Justru di sinilah peran pemerintah untuk lebih menekankan pada pola kerja tanpa batas ruang dan tak terlupa untuk tetap bekerja. Inilah pentingnya meneguhkan kembali kinerja birokrat.
Jangan sampai istilah WFH dimaknai sebagai alasan pengabaian pekerjaan karena kondisi. Jangan pula ditafsirkan diskresi kerja sebagai pemakluman daripada upaya pencapaian tujuan. Kinerja tanpa batas ruangKetika revolusi industri mengambil alih sebagian peran manusia oleh teknologi, sepertinya setiap negara berlomba untuk mengevaluasi diri, dan mulai membangun sistem berbasis internet of things (IoT), artificial intelegence (AI) dan manajemen big data.
Termasuk birokrasi Indonesia yang seakan tidak mau ketinggalan tren. Dengan menggaungkan istilah birokrasi 4.0 mulailah muncul kebijakan pemerintah yang mengusung tema kolaborasi, inovasi dan pemanfaatan teknologi guna mensinergikan kebutuhan birokrasi modern. Ragam upaya pun dilakukan oleh semua lini untuk membuat sistem informasi, yang diharapkan dapat mempermudah tugas dan menciptakan keterbukaan dalam melayani masyarakat. Kebijakan berbasis teknologi yang digagas oleh pemerintah setidaknya telah membuahkan hasil yang cenderung naik.
Survei e-Government Development Index (EGDI) oleh United Nations menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 88 dari 193 negara di 2020, atau naik 19 peringkat dibandingkan 2018 yang berada di peringkat 107 dan 116 di 2016. Patut diakui bahwa kemajuan teknologi telah mengubah tatanan kerja, karena cepat atau lambat pasti pemerintah akan terkena dampaknya. Jika perubahan tidak segera diinisiasi pemerintah, pasti tuntutan masyarakat akan terus mendorong terjadinya perubahan ke arah digitalisasi. Pastinya, dengan kenaikan peringkat EDGI, Pemerintah pun semakin termotivasi untuk terus menginvestasikan teknologi, seakan digitalisasi menjadi jalan kompromi birokrasi untuk berkembang dan profesional.
Inilah peran strategis dari birokrasi untuk bisa melebur dengan perkembangan zaman dan menghadiahkan masyarakat dengan capaian kinerja sesuai kebutuhan. Pentingnya komitmen Kebutuhan teknologi adalah keniscayaan, tapi bukan berarti bahwa fokus pemerintah hanyalah sebatas menyediakan perangkatnya, namun terlebih pada upaya menyinergikan wadah dengan isi. Perangkat teknologi sebagai wadah hanyalah bagian kecil dari upaya pencapaian tujuan birokrasi, sedangkan isinya adalah moral etika birokrasi yang didalamnya terkandung makna komitmen melayani. Coba cermati kondisi pandemi 2020, ketika Indonesia menapakkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang berbasis digital. Seharusnya semua birokrat sudah siap dan mampu mengoperasionalkan perangkat yang ada. Faktanya? Tidak semua siap.
Jadi, persoalannya bukanlah sekadar kebijakan, tapi terlebih pada komitmen birokrat untuk mengubah mind set dan belajar hal baru. Di sini terdapat logika âkomitmen penerapan sistem membutuhan kemampuan, sedangkan kemampuan membutuhkan pemahaman, adapun pemahaman membutuhkan kemauanâ. Korelasi antara kemauan dan komitmen birokrat haruslah selaras dengan kebutuhan dan seharusnya ikut berdampingan dengan perkembangan teknologi
Cara jitu menyelesaikan ragam persoalan ini adalah melakukan pemetaan dan pemaksaan. Pertama, pemetaan dengan cara mengiventarisir jenis pekerjaan, menganalisis beban kerja, memilah dan memilih SDM serta mengkategorisasikan jenis pekerjaan sesuai kebutuhan dan kemampuan. Kedua, memaksa seluruh birokrat untuk tunduk pedoman, dengan menyusun standar pelayanan, standar operasional prosedur dan menciptakan pola hubungan kerja yang terkoneksi dengan sistem teknologi. Jika prasyarat ini terpenuhi, pola kerja akan semakin terukur dan menciptakan daya ikat aktivitas birokrat menurut sistem kerja baku.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.