Islamofobia dan Solusi dalam Al-Quran
Agama | 2021-07-14 10:25:23Islamofobia merupakan salah satu isu kontemporer yang sangat merisaukan hingga saat ini. Beberapa waktu lalu, umat Islam kembali dibuat geram oleh Presiden Perancis yang menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. secara terang-terangan. Jika tidak segera diatasi, perilaku yang mengarah kepada Islamofobia tersebut tentu dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Bukan hanya bagi masyarakat muslim, tapi juga non-muslim.
Islamofobia sendiri berasal dari kata âIslamâ dan âfobiaâ yang dalam bahasa Inggris disebut Islamophobia. Islam sebagaimana yang telah diketahui, pada intinya merupakan agama samawi yang dalam ajarannya mengandung perintah dan larangan untuk menyekutukan selain dari pada Tuhan (Allah SWT.), mulai dari harus mengamalkan rukun Islam dan rukun iman. Sedangkan kata âfobiaâ, berasal dari bahasa Inggris âphobiaâ, yang berarti takut, benci. Menurut KBBI versi V, Islamofobia didefinisikan sebagai fobia terhadap Islam atau penganut Islam. Dengan demikian, Islamofobia adalah sebuah paham yang membenci dan takut kepada Islam. Takut tersebut, dikarenakan oleh banyak hal, misalnya Islam terkesan sebagai agama yang ekstrim, perang (jihad) dan hal-hal negatif lainnya.
Sumanto Alqurtuby menyebut Islamfobia merupakan ketakutan atau kekhawatiran berlebihan pada Islam dan muslim. Islamofobia merupakan âpenyakit psikologisâ yang bertumpu pada pandangan dan sikap antipati terhadap Islam. Islamofobia merupakan metode rasisme yang jelas dan diterima saat ini dengan menciptakan kesalahpahaman dan menambah bahan bakar kebencian.
Dari jenis propagandanya, Islamofobia dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu dimensi privat berupa ketakutan, kecurigaan dan kekerasan yang menargetkan muslim oleh pelaku pribadi, Islamofobia struktural, berupa ketakutan dan kecurigaan terhadap muslim dari institusi pemerintah, dan dialektika Islamofobia, berupa proses membentuk Islamofobia struktural.
Menurut Hidayati (2019), setidaknya terdapat empat hal penyebab munculnya perilaku Islamofobia. Pertama adalah media. Seperti yang kita tau, masyarakat kini amat dekat dengan media. Bahkan lebih akrab dengan media daripada dengan sanak saudara. Di Amerika bahkan ada istilah, bahwa orang-orang lebih percaya media daripada kitab sucinya.
Fungsi media sebagai sumber informasi membuatnya sangat dibutuhkan oleh segenap masyarakat. Namun pasca kejadian WTC 911, Islam dan Muslim senantiasa mendominasi headline negatif di media mainstream di seluruh dunia. Maka tak heran setiap kali ada serangan teror, biasanya akan disematkan pada Islam dan Muslim, namun kebalikannya bila ada serangan pada muslim dan masjid di Barat, hal ini tidak akan (atau jarang sekali) menjadi headline di media manapun.
Kedua, agama sebagai kendaraan politik. Islam mengatur segala lini kehidupan manusia, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Mulai dari bangun tidur hingga bangun negara. Termasuk pengaturan di dalam sistem politik juga ada. Sayangnya, agama acapkali hanya dijadikan alat untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan, namun enggan bahkan mencampakkan aturan-Nya ketika telah berkuasa.
Ketiga, ketidaktahuan masyarakat. Sistem kehidupan sekuler yang menjadi nadi dunia hari ini mengakibatkan muslim jauh dari ajaran agamanya sendiri. Sehingga mudah sekali disusupi oleh pemikiran-pemikiran asing dan melihat agamanya sendiri sebagai âmonsterâ karena dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman. Salah satu contohnya adalah kegagalan sistem pendidikan sekuler yang hanya mampu menelurkan lulusan trampil namun minim ketakwaan. Padahal sebagai muslim, bertakwa kepada Allah haruslah menjadi segalanya. Untuk itu muslim perlu memperbaiki diri dan bangkit kembali.
Keempat, ketakutan akan kebangkitan Islam. Bukan rahasia lagi bila Islam memang akan bangkit seperti yang difirmankan oleh Allah dalam QS. An-Nur ayat 55, âDan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.â
Dari berbagai macam faktor penyebab munculnya perilaku Islamofobia tersebut, Al-Quran sebagai kitab suci sekaligus panduan bagi umat manusia telah menjelaskan secara tersirat terkait upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan dalam menghadapi ancaman Islamofobia saat ini.
Pertama, berlaku lemah lembut dan santun kepada sesama makhluk. Jika kita ingin menghadapi fobia Islam dan menghapusnya dari benak masyarakat dunia, tiada lain adalah dengan kembali kepada ajaran al-Quran. Allah SWT. telah mengingatkan hamba-Nya dalam surat Ali Imron ayat 153:
âOleh karena rahmat Allah-lah, kamu (Muhammad) sanggup berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, sudah pasti mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nyaâ.
Ayat di atas menyeru agar umat Islam mempunyai sikap yang lemah lembut, penuh kasih, bertutur santun, dan berhati sutra. Tidak berarti umat Islam lemah, sebab syariat sudah memberikan batas-batasnya. Penekanannya adalah jika kita bersikap keras dan berhati kasar, maka sudah pasti umat muslim maupun non-muslim akan lari menjauh, meski kita meneriakkan kebenaran. Di sinilah mulai tersemai benih-benih fobia.
Lalu ayat tersebut mengajak untuk mentradisikan dialog dalam menghadapi pelbagai masalah, bermusyawarah, rembukan, rapat, sidang, baik sendiri-sendiri maupun perwakilan (demokrasi), sebagaimana ayat tersebut juga menyeru umat Islam untuk mudah memberikan permaafan alias tidak pendendam. Inilah kunci sukses dakwah Nabi Muhammad yang sempurna, jauh dari fobia. Apabila nilai-nilai ini bisa kita tampilkan secara konsisten di depan masyarakat dunia, sedikit demi sedikit fobia mereka terhadap Islam akan terkikis.
Perlu diketahui pula, bahwasannya nilai-nilai tersebut juga sejalan dengan perintah Allah SWT. yang tertulis dalam QS. Al-Mumtahanah : 8,
âAllah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.â
Menurut tafsir yang terdapat dalam Al-Quránul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan bantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang hendak mengusir itu.
Ayat ini merupakan ayat yang memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orang-orang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin. Hal ini tentunya dapat menjadikan stigma Islam menjadi positif di mata umat agama lainnya dan secara tidak langsung dapat mencegah timbulnya perilaku Islamofobia.
Upaya kedua yang dapat dilakukan ialah menjaga sikap keterbukaan, dialog, dan toleran dengan sesama umat manusia. Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13,
âHai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.â
Ahmad al-Wâhidî telah memaparkan mengenai ayat di atas dalam Asbâb al-Nuzûl al-Qur`ân-nya, melalui sanad Abû Hasân al-Muzakkî, ke atas hingga `Abd al-Jabâr Ibn al-Wardi al-Makkî, yang dikabarkan dari Ibn Abî Mulaikah, bahwa ketika Fath al-Makkah salah satu sahabat Nabi SAW. yang bernama Bilâl, naik ke atas Ka`bah dan mengumandangkan adzan di sana. Lalu sebagian orang mengatakan: âWahai hamba Allah, apakah pantas seorang budak hitam mengumandangkan adzan di atas Ka`bah yang suci?â, Kemudian sebagian orang yang lain di antara mereka pun menuturkan: âjika Allah murka dengan orang ini, pasti lah Allah akan menggantinya.â
Ayat di atas secara tersurat sudah dapat dipahami bahwa Allah SWT. tidak memandang manusia dari suku, bangsa, dan budaya mana pun. Dalam bahasa Musa Asy`ari, tinggi rendahnya manusia di hadapan Tuhan tidak ditentukan oleh adanya realitas perbedaan dan pluralitas, tetapi oleh kadar ketaqwaannya. Hal ini dengan melihat kata âsyu`ûbââ yang secara leksikal berarti sesuatu yang bercerai-berai atau bercabang. Dan oleh Ath-Thabranî melalui sanad shahîh-nya dari al-Mujâhîd yang secara leksikal berarti sesuatu yang bercerai-berai atau bercabang. Dan oleh Ath-Thabranî melalui sanad shahîh-nya dari al-Mujâhîd menjelaskan bahwa syu`ûbâ berarti sesuatu yang serupa dan luas (berbangsa-bangsa).
Sedangkan âQabaailaâ berarti berbagai golongan, atau dalam bahasa lainnya dipertegas dengan kafilah; bersuku-suku. Itu berarti, Tuhan sedari awal memang sudah menciptakan pluralitas manusia. Mulai dari Nabi Adam (golongan kaum laki-laki) dan Hawa (kaum perempuan), kemudian menjadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, bertujuan untuk âlitaâarafuâ, yaitu agar mereka saling membangun dan memperkuat saling pengertian dan tidak melihatnya hanya dalam perspektif tinggi dan rendah, ataupun baik dan buruk.
Sebagai sesama manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan, sudah sepatutnya untuk saling menghargai dan memahami satu sama lain. Perilaku Islamofobia dapat dicegah oleh umat Islam dengan cara senantiasa mengakrabkan diri serta menjaga hubungan baik dengan umat agama lainnya.
Kemudian, upaya preventif ketiga yang dapat dilakukan adalah saling menghormati dan tidak menghina kepercayaan orang lain. Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Anâam : 108,
âdan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakanâ.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Imam Abdurrazaq meriwayatkan dari Maâmar, ia dari Qatadah: âDi zaman Nabi dulu, ada seorang muslim yang mencela sesembahan orang-orang kafir, lalu celaan tadi dibalas oleh orang kafir dengan berlebihan. Mereka mengolok-olok Allah SWT dengan celaan yang amat dan tanpa didasari ilmuâ.
Dari larangan mencaci sesembahan orang-orang kafir ayat tersebut, al-Qurthubi (al-Jamiâ li Ahkami al-Quran,07/61) menilai bahwa QS. (al-Anâam [06]: 108) merupakan bentuk bagian dari perdamaian. Sejatinya, Islam memang agama yang penuh dengan kedamaian dan berkemanusiaan, sehingga fenomena Islamofobia tidak seharusnya terjadi di dunia ini.
Selanjutnya, upaya keempat yang dilakukan umat muslim untuk mencegah timbulnya perilaku Islamofobia ialah menyiarkan keindahan dan ajaran Islam yang sebenarnya melalui berbagai media ataupun tempat. Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, salah satu bentuk propaganda Islamofobia ialah melalui media. Oleh karena itu, umat muslim pun harus mencegahnya dengan media pula. Baik dengan berdakwah di media sosial, membuat konten atau tulisan yang merepresentasikan Islam sebenarnya di berbagai surat kabar, televisi, dan ruang publik lainnya dapat menjadi salah satu upaya yang mampu digencarkan oleh umat muslim. Allah SWT. berfirman dalam QS. Ali-Imran : 104.
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang beruntung"
Dalam Tafsir Al Misbah, Prof Quraish Shihab menjelaskan, kata minkum (di antara kamu) dalam ayat di atas dipahami para ulama dengan arti sebagian. Dengan demikian, perintah berdakwah dalam ayat ini tidak tertuju kepada setiap orang. Karena itu, bagi mereka yang menafsirkan dengan makna tersebut, ayat ini mengandung dua macam perintah. Pertama, segenap kaum Muslimin untuk membentuk dan menyiapkan satu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dakwah. Perintah kedua, kelompok khusus itu seyogianya bisa melaksanakan dakwah menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran, termasuk perilaku Islamofobia yang sedang marak saat ini.
Dari paparan di atas, selain dapat mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah perilaku Islamofobia, kita pun mampu memahami bahwa sejatinya Islam adalah agama perdamaian. Al-Quran sebagai panduan hidup umat Islam nyatanya banyak mengajarkan manusia untuk bertoleransi dan menjaga keharmonisan dengan sesama makhluk, seperti menganjurkan supaya umat muslim berlaku adil (al-Maidah: 8-10), peduli terhadap sesama (al-Maun: 1-7), larangan saling bermusuhan (al-Hujurat: 12), serta merajut kebersamaan (al-Hujurat: 10). Hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh umat manusia, baik muslim maupun non-muslim, sehingga fenomena Islamofobia dapat dicegah atau diminimalisir.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.