Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azza Zahra

Kesehatan Mental di Masa Pandemi

Eduaksi | 2021-07-08 11:33:33
Kesehatan mental yang terganggu akibat terjadi nya pandemi.

Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih belum diketahui pasti, tetapi kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan. Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat lima pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan, penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Sampel yang diteliti menunjukkan etiologi coronavirus baru. Awalnya, penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan telah menyebar secara luas di China dan lebih dari 190 negara dan teritori lainnya. Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan COVID-19 sebagai pandemik. Hingga tanggal 29 Maret 2020, terdapat 634.835 kasus dan 33.106 jumlah kematian di seluruh dunia. Sementara di Indonesia sudah ditetapkan 1.528 kasus dengan positif COVID-19 dan 136 kasus kematian.

Awal tahun 2020 adalah tahun di mana orang-orang mengenal virus mengerikan yang sekarang dikenal sebagai Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Lamanya Covid-19 menyerang kesehatan bahkan kehidupan masyarakat di dunia menyebabkan perubahan pola hidup normal manusia. Perubahan tersebut membawa dampak pada kesejahteraan mental manusia karena harus mengalami efek merugikan yang ditimbulkan oleh virus tersebut. Dengan demikian, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental yang ada di masyarakat adalah panic buying, kecemasan, stres, ketakutan, depresi, maskulinitas beracun, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, gangguan psikosomatik, dll. Cara menjaga kesehatan mental dan mencegahnya dari masalah antara lain mengkonsumsi makanan bergizi, membangun hubungan baik dengan keluarga dan teman, melakukan meditasi untuk mengendalikan kecemasan, memilah informasi dengan bijak, meminta bantuan profesional, dan sebagainya.

prognosis yang tidak pasti, kekurangan sumber daya yang parah untuk pengujian dan pengobatan dan untuk melindungi responden dan penyedia layanan kesehatan dari infeksi, penerapan tindakan kesehatan masyarakat yang tidak dikenal yang melanggar kebebasan pribadi, kerugian finansial yang besar dan terus bertambah, dan pesan yang bertentangan dari pihak berwenang adalah di antara yang utama. stresor yang tidak diragukan lagi akan berkontribusi pada tekanan emosional yang meluas dan peningkatan risiko penyakit kejiwaan yang terkait dengan Covid-19. Penyedia layanan kesehatan memiliki peran penting dalam menangani hasil emosional ini sebagai bagian dari respons pandemi. Keadaan darurat kesehatan masyarakat dapat mempengaruhi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan individu (menyebabkan, misalnya, ketidakamanan, kebingungan, isolasi emosional, dan stigma) dan masyarakat (karena kerugian ekonomi, penutupan pekerjaan dan sekolah, sumber daya yang tidak memadai untuk perawatan medis). respon, dan distribusi kebutuhan yang kurang). Efek ini dapat diterjemahkan ke dalam berbagai reaksi emosional (seperti tekanan atau kondisi kejiwaan), perilaku tidak sehat (seperti penggunaan zat yang berlebihan), dan ketidakpatuhan terhadap arahan kesehatan masyarakat (seperti kurungan rumah dan vaksinasi) pada orang yang tertular penyakit dan dalam populasi umum. Penelitian ekstensif dalam kesehatan mental bencana telah menetapkan bahwa tekanan emosional ada di mana-mana pada populasi yang terkena dampak - sebuah temuan yang pasti akan digemakan pada populasi yang terkena dampak pandemi Covid-19.

Menurut WHO (2020) munculnya pandemi menimbulkan stres pada berbagai lapisan masyarakat. Meskipun sejauh ini belum terdapat ulasan sistematis tentang dampak COVID 19 terhadap kesehatan mental, namum sejumlah penelitian terkait pandemi menunjukkan adanya dampak negatif terhadap kesehatan mental penderitanya. Pada tanggal 10 Oktober 2020 dalam rangka memperingati hari kesehatan mental sedunia (World Mental Health Day) WHO melakukan survei tentang kesehatan mental dan dikaitkan dengan kondisi dunia yang saat ini tegah mengalami pandemi COVID 19. Hasil survei diketahui bahwa banyak negara yang melaporkan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental hal ini dapat disimpulkan bahwa COVID 19 memberikan dampak pada kesehatan mental. Namun, kesehatan mental diabaikan dalam rencana tanggap pandemi virus corona padahal aspek kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Merujuk pada survei tersebut setidaknya 83% dari 130 negara telah memasukkan kesehatan mental dalam rencana menghadapi pandemi. Ketakutan, kekhawatiran dan stres adalah respons normal terhadap ancaman yang dirasakan atau nyata dan pada saat dihadapkan pada ketidakpastian atau yang dirasakan atau nyata dan pada saat dihadapkan pada ketidakpastian atau yang tidak diketahui. Pandemi COVID 19 merupakan bencanan non alam yang dapat memberikan dampak pada kondisi kesehatan jiwa dan psikososial. Pada masa pandemi COVID 19 respon umum dari masyarakat yang terdampak baik secara langsung atau tidak langsung adalah takut sakit dan meninggal, tidak mau datang ke fasilitas layanan kesehatan karena takut tertular saat dirawat, takut kehilangan mata pencaharian karena tidak dapat bekerja selama isolasi dan dikeluarkan dari pekerjaan, takut diasingkan masyarakat/dikarantina karena dikaitkaitkan dengan penyakit, merasa tidak berdaya untuk melindungi keluarga dan takut kehilangan karena virus yang menyebar, takut terpisah dengan keluarga karena aturan karantina, menolak untuk mengurusi anak kecil yang sendirian atau terpisah, penyadang disabilitas atau orang berusia lanjut karena takut infeksi, merasa tidak berdaya, bosan, kesepian dan depresi. Paparan informasi tentang virus corona yang berlebihan dapat memicu rasa cemas, khawatir serta stres. Bahkan, tak jarang tubuh seperti merasakan gejala mirip COVID 19 setelah menerima informasi terkait gejala infeksi virus corona. Gejala yang muncul sebenarnya adalah manisfestasi dari gangguan psikosomatik dimana beberapa menisfestasinya seperti sesak nafas yang merupakan manisfestasi infeksi COVID 19. Psikosomatik merupakan gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang menyerupai penyakit fisik yang disebabkan karena faktor psikologi atau peristiwa psikososial tertentu. Hal ini diakibatkan karena kurangnya kemampuan adaptasi dalam menghadapi stres. Psikosomatik dapat terjadi melalui proses emosi berupa stres yang tidak mampu diadaptasi dengan baik.

Selain itu, bagi tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan faktor penyebab stres tambahan selama wabah COVID 19 dapat menjadi lebih berat diantaranya stigmatisasi terhadap orang yang menangani pasien COVID 19 dan jenazahnya, langkah-langka biosecurityyang ketat, alat pelindung diri yang membatasi gerak, isolasi fisik sehingga mempersulit upaya menolong orang yang sakit atau tertekan, esiagaan dan kewaspadaan yang terus menerus, tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi termasuk waktu kerja yang lama dengan jumlah pasien yang meningkat serta praktik terbaru yang berubah seiring perkembangan informasi COVID 19, stigma masyarakat terhadap petugas garis terdepan yang merawat pasien COVID 19, kurang informasi tentang paparan jangka panjang pada orang-orang yang terinfeksi COVID 19 dan rasa takut petugas garis depan akan menularkan COVID 19 karena pekerjaannya.

Terjadinya perubahan besar menyangkut sosial dan ekonomi akibat dari Virus Corona yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia tidak mengherankan apabila berdampak besar dalam pengangguran dan jarak sosial yang dapat dikatakan isolasi sosial. Lalu besarnya jumlah orang sakit dan orang meninggal dunia berdampak besar pula terhadap kesehatan mental secara kolektif. Holly Daniels, selaku direktur pelaksana urusan klinis untuk California Association of Marriage and Family Therapists, yang dikutip dari thejakartapost.com mengatakan bahwa adanya anjuran pemerintah untuk #DirumahAja pun untuk sebagian orang terdapat anggapan bahwa rumah bukanlah tempat yang aman. Hal ini karena bagi sebagian orang yang sendirian dan terisolasi dapat menyebabkan seseorang berada di situasi tidak aman. Serta adanya social distancing menimbulkan jarak secara emosional antara keluarga, teman, sahabat, atau umat di tempat ibadah yang dapat saling member dukungan. Lebih lanjut lagi dengan terjadinya rasa kesepian dan terisolasi akan meningkatnya tingkat bunuh diri. Namun begitu, para ahli kesehatan mengatakan bahwa keadaan seperti ini normal terjadi jika orang-orang merasakan kecemasan dan kekhawatiran ditengah pandemic ini, ditambah dengan tidak mengetahui kapan akan berakhir. hal-hal seperti itu tidak saja terjadi pada orang yang telah memiliki penyakit mental, seperti depresi atau gangguan kecemasan umum. Namun dapat terjadi pada orang yang sehat secara fisik dan mental. Kelompok yang rentan terkena stress psikologi dalam pandemic global virus corona ini adalah anak-anak, lansia, serta petugas medis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image