Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salman

Filosofi Menahan Emosi di Jalanan

Gaya Hidup | Tuesday, 06 Jul 2021, 22:39 WIB
Adu mulut di jalanan rawan berakhir adu fisik, menambah runyam masalah.

Peristiwa seorang anggota TNI memukul sopir truk puso dan memecahkan kaca depan mobilnya adalah bentuk pengumbaran kemarahan di jalanan.

Ini tiba-tiba mengingatkan pada peristiwa yang saya alami sendiri, yaitu marah-marah di jalanan. Waktu itu memasuki perumahan, mobil saya terhenti di belokan karena jalanan agak sempit. Saat saya mundur sedikit, tanpa sadar ada pemotor di belakang akibatnya ujung depan motornya ketabrak. Si pemotor pun mendamprak badan mobi saya. Lalu saya kejar dan meluapkan emosi saya dan memarahinya dengan suara sangat keras.

Tapi hal itu belakangan membuat saya menyesal meski tidak terjadi aksi kekerasan ke orang lain. Namun seandainya saya menahan emosi saat itu maka itu akan lebih baik.

Sering kita mengingat-ingat sebuah kejadian di mana kita selayaknya marah dan menumpahkan emosi ke lawan bicara atau seseorang lain tapi saat itu kita hanya memilih menggerutu dalam hati. Namun ternyata justru dengan tidak mengumbar emosi membawa hikmah ketenangan tersendiri.

Ini yang saya alami juga masih di jalanan masuk perumahan. Ada bagian jalanan yang berlubang memanjang. Bekas galian pipa rupanya. Di bagian lubang ini saya taruh bilah-bilah bambu penjang untuk menutupi lubang tersebut agar mobil atau kendaraan tidak terperosok.

Tapi besoknya bambu-bambu itu sudah disingkirkan seseorang sehingga jalanan itu kembali berlubang. Saya mencurigai pemilik warung liar di samping jalanan itu pelakunya. Benar saja dia mengakui karena katanya bambu tersebut bisa terpental dan melukai orang. Saya sangat ingin menumpahkan kemarahan dengan mencacinya atau mengata-ngatainya. Sebongkah magma emosi bahkan sudah saya siapkan untuk melabraknya tapi ternyata urung. Saya hanya bertanya seadanya dan berlalu dengan ketus tapi tanpa mengomelinya.

Tapi dari persitiwa itu saya bersyukur karena tidak jadi mempertontonkan kemarahan ke orang itu. Hikmahnya pula beberapa lama kemudian jalanan berlubang itu sudah ditambal dengan aspal. Kebayang seandainya saya bentrok oral dengan pemilik kios itu yang notabene tiap hari saya lewati. Akan tidak nyaman jadinya.

Kejadian yang mirip diceritakan di Komunitas Mobil Suz***,di medsos. Dia menceritakan ada seorang ibu memarkir motornya berdampingan dengan sebuah mobil yang parkir akibatnya kendaraan seperti mobil tidak bisa lewat. Si sopir awalnya hendak turun memarahi ibu pemilik motor itu atas kebodohannya dalam cara memarkir motor. Tapi urung karena si pemilik motor tiba-tiba datang minta maaf dengan sangat sopan. Si pemilik mobil pun luruh merasa kasihan dan berpikir mungkin si ibu memang tidak sadar jika motornya menghalangi mobil lainlewat.

Menahan amarah di jalanan sangat penting. Karena jika tidak atau jika kemarahan dilampiaskan ke orang maka akan menimbulkan kegelisahan pada diri sendiri, ketidaknyamanan akibat mengeksplor emosi ke sesama akan kembali pada diri juga jadinya.

Memang keinginan untuk mengekspos kemarahan ke orang yang kita pikir bersalah adalah sangat besar apalagi jika kita menganggap diri kita punya power seperti jabatan, pekerjaan, kekuasaaan, status kekayaan atau kekuatan fisik yang unggul. Embel-embel property pribadi ini yang sangat menggoda sesorang untuk melampiaskan kemarahanannya yang bukan saja secara oral namun juga disertai dengan tindakan fisik dan vandalisme. Seperti contoh nyata yang di tulis di awal tulisan seorang maaf, tentara, mengumbar emosinya ke sopir truk fuso di tengah jalan karena si sopir truk membunyikan klaskson ke tentara tersebut yang sedang megendarai mobil mewah.

Si pemilik mobil mungkin merasa memiliki power, kekuasaaan, apalagi mengendarai mobil mahal sehingga merasa sangat layak marah-marah. Apalagi yang dihadapi “cuma” seorang sopir truk.

Namun, sebagai pengguna jalanan kita juga harus menghindari timbulnya atmosfir konflik saat berkendara. Antara lain jangan mengobral klason, jangan ugal-ugalan dengan main serobot kendaraan lain. Kalau memang tidak perlu di klakson sebaiknya jangan membunyikan klaskon. Seseorang bisa saja tidak terlihat marah diklaksonin, tapi mungkin dalam hatinya menggerutu dan menyumpah atau mendoakan yang buruk ke pemilik kendaraan. Hindari juga main serobot jika kendaraan di depan masih berjalan secara normal kecuali memang kendaraan di depan terasa sangat lamban, seperti orang yang masih belajar nyetir. Karena seseorang bisa jadi tersinggung diserobot merasa dirinya diremehkan. Sebaliknya juga jika kita disalib seseorang kita jangan buru buru tersinggung boleh jadi si pemilik kendaraan punya keperluan sangat mendesak, dan kita mestinya bersyukur kita tidak dibayang-bayangi seseorang dari belakang.

Pada intinya ambil hikmahnya dari sebuah peristiwa tanpa melibatkan diri secara emosional. Hindari mengumbar emosi, menggerutu boleh tapi dalam hati saja. Nanti akan kita rasakan sendiri hikmahnya dengan tdiak pentas amarah. Hati pun akan terasa tenang dengan tidak membawa beban baru saat sampai di rumah atau di tempat tujuan.

Penulis

Dr.-Ing. Salman, ST., MSc.

Dosen Teknik Mesin Universitas Mataram

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image