Nyi Mas Gamparan Angkat Senjata Menentang Tanam Paksa
Sejarah | 2021-07-05 04:15:54Adakah diantara pembaca yang mengenal para pejuang perempuan dari Banten? Salah satunya adalah Nyi Mas Gamparan, nama yang tentu tidak asing bagi warga Kota Serang. Nama besar beliau pun telah ditetapkan sebagai nama jalan disekitar Bundaran Ciceri. Bagaimana sih kisah perjuangannya?
Sebelum peristiwa Geger Cilegon yang terjadi pada tahun 1888, rakyat Banten dihadapkan dengan pemberlakuan sistem Tanam Paksa oleh Belanda. Sistem ini mewajibkan rakyat untuk menanam tanaman yang dianggap penting oleh pemerintah kolonial. Tentu untuk dikuasai melalui setoran wajibnya ketika panen.
Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh Johannes van den Bosch selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengakibatkan terjadinya bencana kelaparan kala itu. Terlebih ketika meningkatnya wabah penyakit yang diakibatkan oleh matinya ratusan ternak akibat tidak terurus.
Sebelum Nyi Mas Gamparan angkat senjata, pada tahun 1811 Mas Jakaria telah mengangkat senjata melawan Belanda di Pandeglang. Semangat perlawanan yang kelak menginspirasi Nyi Mas Gamparan hingga perlawanan Haji Wakhia dalam menentang kolonialis Belanda pada masa pemberontakan petani Banten.
Perlawanan rakyat Banten terhadap kolonialisme ini terbagi dalam tiga fase. Pertama adalah masa Haji Wakhia pada tahun 1850, fase kedua adalah masa Geger Cilegon yang dimotori oleh para ulama pada tahun 1888, dan fase ketiga yang dimotori oleh kelompok komunis pada tahun 1926.
Nyi Mas Gamparan Menentang Belanda
Selama masa kampanye Tanam Paksa, Belanda kerap melakukan kekerasan terhadap rakyat yang menolak membayar pajak. Selain menyerahkan hasil bumi, eksploitasi tenaga manusia juga dipraktekkan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Hal inilah yang kelak menjadi latar belakang perlawanan di Banten.
Sikap penguasa-penguasa lokal yang berkolaborasi dengan penguasa kolonial pun menjadi satu faktor pemantik terjadinya suatu reaski perlawanan. Jadi, setelah berakhirnya Kesultanan Banten pada 1813, banyak bermunculan penguasa-penguasa lokal pribumi yang berlaku layaknya soerang raja.
Mereka mempunyai pasukan sendiri yang dikenal dengan nama centeng, terlebih apabila kekuasaannya didukung oleh pemerintah kolonial. Tentu, membuat rakyat Banten semakin sengsara kehidupannya. Selain membuat onar, para centeng ini kerap melakukan tindakan-tindakan negatif terhadap rakyat.
Nyi Mas Gamparan, melihat fenomena ini menjadi semakin termotivasi untuk melakukan suatu gerakan perlawanan. Dukungan rakyat, khususnya dari para perempuan, membuat Nyi Mas Gamparan membentuk sebuah pasukan Srikandi yang terdiri dari para perempuan muda tangguh.
Berbekal tekad kuatnya dalam menentang penjajahan, para pejuang perempuan dibawah komando Nyi Masa Gamparan memiliki semangat patriotik yang tidak kalah besar dari pada perlawanan yang berkobar pada masa pemberontakan petani Banten 1888.
Persoalan penghapusan Kesultanan Banten menjadi faktor lain yang justru berada di dalam hati Nyi Mas Gamparan. Dalam silsilah Kesultanan Banten, beliau ini adalah salah anggota keluarga dari Sultan Muhammad Syafiudin, yang dibuang keluar Banten dan berhasil kembali dengan menyamar sebagai rakyat.
Perbedaannya ada pada strategi perjuangannya, apabila pemberontakan petani dilakukan secara terbuka, Nyi Mas Gamparan menetapkan gerilya sebagai sifat perlawanannya. Aksi main sergap atau menyerang Belanda secara mendadak, menjadi faktor yang membuat Belanda menerapkan siasat devide et impera.
Propaganda Anti Kolonialisme
Nyi Mas Gamparan yang kala itu menyamar sebagai rakyat ternyata berhasil mempengaruhi para prajurit Belanda untuk mengungkap kekuatannya di Cikande, Balaraja, hingga Jasinga. Sikap humanisnya kepada rakyat menghasilkan simpati para perempuan untuk turut serta berjuang bersamanya.
Mengetahui titik kelemahan para pasukan Belanda dalam aspek komunikasi yang terbatas akibat faktor geografis, membuat siasat gerilya menjadi ciri perlawanan Nyi Mas Gamparan. Konsolidasi pasukan dirumuskan dipedalaman hutan sekitar Cikande. Serangan sporadis pun dimulai ketika malam telah larut.
Balaraja dijadikan sebagai pusat perjuangan, dalam faktor medan yang masih diselimuti hutan lebat. Metode hit and run merupakan gerakan yang membuat Belanda kalang kabut ketika menghadapi setiap serangannya. Mereka seketika hilang ditelan kabut malam usai melakukan suatu penyergapan.
Objek-objek strategis milik Belanda juga tidak luput dari serangan Nyi Mas Gamparan, seperti kantor-kantor pos dan lumbung logistik hasil pajak dari rakyat. Terlebih terhadap para tuan tanah yang sering membuat keresahan kepada rakyat, menjadi sasaran utama pasukan Srikandi untuk diberi pelajaran.
Perempuan-perempuan yang menjadi ujung tombak pasukan Srikandi tidak sekedar melakukan perlawanan melalui pertempuran. Kampanye penyadaran terhadap gerakan anti kolonialisme juga kerap disosialisasikan kepada rakyat. Propaganda ini pula yang lambat laun membangkitakan rakyat Banten untuk berjuang.
Pertempuran Cikande dan Politik Devide et Impera
Belanda kemudian meminta bantuan seorang Demang yang mendukung kampanye Tanam Paksa dari Jasinga, Bogor, untuk menghadapi pasukan Nyi Mas Gamparan. Imbalan penguasaan wilayah Rangkasbitung membuat Raden Tumenggung Kartanata akhirnya menyepakati tawaran Belanda.
Pada suatu upaya penyergapan di daerah Cikande, pasukan Srikandi dihadapkan dengan dua kekuatan yang besar dengan dilengkapi persenjataan yang modern. Pasukan Demang Kartanata yang berjalan dibarisan depan sempat dibuat kewalahan oleh pengepungan Nyi Mas Gamparan.
Pasukan Belanda yang kemudian datang menyusul, akhirnya membuat perlawanan menjadi tidak seimbang. Hal inilah yang membuat pasukan Srikandi terdesak, hinga membuat Nyi Mas Gamparan menginstruksikan untuk melawan sampai titik darah penghabisan. Geger Cikande pun berlangsung semakin sengit.
Walau pada akhirnya pasukan Raden Tumenggung Kartanata Nagara berhasil mengalahkan pasukan Srikandi dan mengalahkan Nyi Mas Gamparan pada 1830, semangat perjuangan perempuan terhadap Belanda tidak berakhir sampai disini. Khususnya di Banten, kelak dikobarkan kembali oleh Nyi Mas Melati pada 1918.
Ya, semangat perjuangan pasukan Srikandi melawan penjajah ini semoga mampu menginspirasi bagi para perempuan-perempuan milenial. Khususnya bagi generasi Z yang sebaiknya dapat mentauladani segala bentuk perjuangan para pahlawan bangsanya.
Jangan pernah sekali-kali kita melupakan sejarah, karena hanya melalui sejarahlah kita dapat belajar arti tabah. Jangan pula sekali-kali kita menyerah terhadap wabah, karena para pahlawan bangsa selalu mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah dan kalah.
Sumber:
Nina Herlina Lubis. 2003. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta. LP3ES.
Sartono Kartodirjo. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta. Dunia Pustaka Jaya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.