Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fokker

Ida I Dewa Agung, Istri Kanya sang Ratu Perang Klungkung

Sejarah | Saturday, 03 Jul 2021, 00:34 WIB
Lukisan Ida I Dewa Agung Istri Kanya, karya Seruni Bodjawati

Sobat muda, apa ada yang mengenal nama Ida I Dewa Agung Istri Kanya? Beliau ini adalah salah satu dari sekian banyak pejuang melawan kolonialisme dari Bali. Tidak hanya I Gusti Ngurah Rai atau I Gusti K’tut Jelantik yang sudah sering kita dengar dan baca pada kisah-kisah sejarah bangsa Indonesia.

Ya, Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah seorang Ratu dari Kerajaan Klungkung. Beliau merupakan adik dari Dewa Agung Putra Belamas yang tercatat sebagai Raja Kerajaan Klungkung ke-6. Pada masa kepemimpinan Dewa Agung Putra Belamas inilah konflik terhadap Belanda mulai terjadi.

Persoalannya adalah penerapan Hak Tawan Karang oleh Kerajaan-kerajaan di Bali terhadap kapal-kapal asing yang terdampar di perairan Bali untuk disita sebagai wujud eksistensi suatu kerajaan. Dilain pihak, Belanda memanfaatkan persoalan ini untuk mengusai Bali dengan kekuatan bersenjatanya.

Keunggulan persenjataan Belanda, ternyata tidak membuat gentar perjuangan rakyat Bali dalam menghadapi upaya konialisasi didaerahnya. Setiap jengkal tanah adalah harga mati yang harus diperjuangkan. Maka, banyak berkobarlah peristiwa Perang Puputan kala Belanda berupaya menaklukkan Bali.

Perang Puputan adalah pertempuran habis-habisan, tanpa menyerah atau lebih baik bunuh diri daripada menjadi tawanan. Semangat patriotik pejuang Bali tidak lain adalah suatu bentuk pengabdian kepada Rajanya. Konsep kepercayaan ini dikenal dengan Asta Bratha yang tertulis pada Kakawin Ramayana.

Peristiwa Perang Puputan di Bali terjadi sebanyak lima kali, yakni Puputan Jagaraga, Puputan Badung, Puputan Kusamba, Puputan Klungkung dan Puputan Margarana pada masa upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Ratu Kerajaan Klungkung

Ida I Dewa Agung Istri Kanya atau dikenal sebagai Dewa Agung Istri Balemas. Beliau memilih untuk melajang seumur hidupnya, oleh karena keputusan itu, ia diberi nama Istri Kanya, yang artinya tidak akan menikah seumur hidupnya. Klungkung sendiri berada di wilayah Bali Selatan mengadap ke Nusa Penida.

Sebagai Ratu dari Kerajaan Klungkung, Dewa Agung Istri Kanya memiliki sikap anti terhadap agenda-agenda Belanda yang ingin menguasai Bali. Terlebih ketika Belanda mencoba mencampuri keputusan Hak Tawan Karang yang telah menjadi kesepakan Raja-Raja Bali.

Sikap tegasnya dalam memimpin rakyat Klungkung untuk mengobarkan semangat perlawanan, mampu memberikannya predikat “wanita besi” oleh Belanda. Tidak ada istilah negosiasi, yang ada hanyalah perang sampai mati. Semboyan bagi pejuang-pejuang Klungkung ketika membantu Buleleng menghadapi Belanda.

Terlebih ketika para punggawa Kerajaan Buleleng telah melakukan Perang Puputan Jagaraga bersama Raja I Gusti Ngurah Karangasem dan Patih I Gusti K’tut Jelantik. Keterlibatan Klungkung dalam perang ini diwakili oleh Cokorda Rai Puri Satria yang turut menjaga Jagaraga hingga titik darah penghabisan.

Perang Puputan Jagaraga yang berakhir pada tahun 1849, tidak lantas berhenti begitu saja. Kerajaan Klungkung dibawah komando Dewa Agung Istri Kanya segera mengikrarkan perang kepada Belanda, dan yang paling terkenal kelak adalah pertempuran Kusamba.

Strategi-strategi menggempur Belanda senantiasa menjadi topik diskusinya sehari-hari. Baik kepada para panglima perang Klungkung ataupun dengan Kerajaan-Kerajaan Bali yang menolak tunduk kepada hegemoni politik Belanda.

Diorama Perang Kusamba di Museum Bajra Sandhi, Bali

Perang Kusamba

Setelah berhasil menaklukkan Buleleng, Belanda mulai menyisir perairan Nusa Penida hingga sampai ke wilayah Klungkung. Pusat kekuatan Belanda yang dibangung di Padang Bai dengan segera dapat menduduki Goa Lawah yang harus direbutnya melalui perlawanan sengit dengan rakyat Bali.

Goa Lawah yang kala itu dipertahankan oleh Dewa Agung Istri Kanya, tidak berhasil menahan serangan Belanda yang unggul dalam persenjataan. Usaha gerak mundur pasukan Klungkung pun selalu menimbulkan jatuhnya banyak korban baik dari para pejuang hingga rakyat biasa yang membantu para pejuang.

Penaklukkan terhadap Goa Lawah membuat pasukan Klungkung mundur ke Kusamba, dengan siasat bumi hangus, mereka membakar rumah-rumah di desa agar Belanda tidak masuk ke Istana Klungkung. Siasat ini dianggap sebagai tanda bahwa Kusamba telah jatuh ditangan Belanda, agar pasukan Istana dapat bersiap.

Dewa Agung Istri Kanya yang mengetahui tentang jatuhnya Kusamba, dengan segera menghimpun strategi serangan balik. Puri Kusamba harus segera direbut kembali baik dalam kondisi hancur atau tidak, sampai titik darah penghabisan.

Jenderal Andreas Michiels selaku pemimpin ekspedisi Belanda di Bali mulai memberlakukan siasat adu domba dengan meminta bantuan dari Kerajaan Lombok yang tengah berseteru dengan Kerajaan Bali. Belum mulai bala bantuan dapat didatangkan, malam hari pada 25 Mei 1849 Kusamba digempur secara mendadak.

Meriam I Selisik dari Klungkung yang konon dapat mengincar musuhnya sendiri membuat Jenderal Michiels tersungkur dan tewas setelah terkena tembakan di kakinya. Prestasi luar biasa dalam menghadapi Belanda yang jauh lebih modern persenjataannya, barikade pengawal Jenderal dapat ditembus dengan mudah.

Michielis sendiri merupakan Jenderal Belanda yang sarat prestasi dan gemilang dalam setiap pertempuran. 33 ribu pejuang Bali yang tergabung dari Klungkung, Gianyar, Badung dan Tabanan, akhirnya mampu mengusir Belanda dari medan perang Kusamba. Sungguh suatu hal yang luar biasa kala itu.

Ida I Dewa Agung Istri Kanya dan Semangat Feminisme

Usai laga Kusamba, Dewa Agung Istri Kanya lebih menfokuskan dirinya sebagai seorang sastrawati. Seperti membuat kidung-kidung ataupun kisah sejarah yang mengesankan dalam hidupnya selama menjadi pengawi (pengarang). Jadi, semangat juangnya tidak hanya di medan laga, tetapi juga pada karya sastra.

Sebagai seorang yang terlibat dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, beliau hingga kini belum ditetapkan sebagai Pahlawan oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat ditinjau dari minimnya bukti-bukti sejarah yang menceritakan mengenai eksistensinya sebagai seorang pejuang.

Peter Burke dalam Sejarah dan Teori Sosial menjelaskan mengenai marjinalisasi peran perempuan pada panggung sejarah. Eksistensi perempuan dianggap tidak penting pada suatu peristiwa sejarah. Diskriminasi inilah yang kemudian membuat referensi sejarah mengenai peran perempuan dapat dikatakan minim.

Semangat feminisme Dewa Agung Istri Kanya dalam memperjuangkan kesetaraan wanita dalam ragam peristiwa sejarah tentu tidak dapat dilihat sebelah mata, khususnya oleh generasi saat ini. Wawasan mengenai sejarah bangsa harus terus diutamakan guna menjadi generasi yang memiliki semangat juang.

Sumber:

Ida Bagus Sidemen, dkk. 1983. “Sejarah Klungkung: Dari Semarapura Hingga Puputan”. Klungkung. Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II.

Peter Burke. 2011. “Sejarah dan Teori Sosial”. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image