Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Karena Hidup Tak Berhenti Setelah Kita Sukses

Agama | 2022-04-29 06:54:34
Dokumen probadi: Grand Opening Nibras House Limpung, Kabupaten Batang

11 Agustus 2014, dunia dikejutkan dengan kematian Robin Williams di usia 63 tahun. Seorang komedian yang pernah dijuluki sebagai pria paling lucu, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Penyebabnya satu: Depresi. Kekayaan dan popularitas ternyata tak menjamin Robin hidup bahagia di usia senjanya. Di mata banyak orang, ia lelaki yang teramat periang, tetapi di dalam diri Robin ternyata menanggung beban takut, sedih, dan keputusasaan yang baginya tak tertanggungkan.

Tahun 1990 an, siapa yang tak mengenal Nirvana, sebuah band rock pengusung genre grunge yang mengguncang dan mempengaruhi aliran musik dunia, termasuk di Indonesia. Tetapi siapa sangka, di tengah popularitasnya, sang vokalis yang juga ikon Nirvana, Kurt Cobain ditemukan tewas karena bunuh diri pada 8 April 1994, ia menembak sendiri kepalanya dengan pistol. Pemicunya sama, yakni depresi.

Atau yang sayup-sayup terdengar, bintang pop paling tersohor, didaulat sebagai King of Pop, Michael Jackson, bahwa di tengah ketenarannya, Konon Michael Jackson mengidap paranoid akut, takut setiap berada di ruang publik, sehingga konon harus memakai topeng agar identitasnya tak dikenali.

Itulah sedikit cerita kelam dari sebuah puncak kesuksesan, popularitas, kekayaan, dan kejayaan. Tidak sedikit pula yang merasa terasing setelah kesuksesan yang diraihnya dengan kesusahan dan kepayahan. Maka kita menjadi semakin layak bertanya, can money buy happiness, can popularity buy happiness, dan sejenisnya.

Kita semua mungkin sepakat, bahwa terlepas dari seberapa kayanya atau semiskin apapun manusia, ia tetaplah mendambakan kebehagiaan, happiness. Sebuah hidup yang menenangkan dan membahagiakan. Maka sebagai manusia yang menyatakan dirinya beriman, kesadaran kita juga harus sampai ke sana. Bahwa siklus hidup kita tidak hanya berhenti setelah kita kaya dan sukses, karena kekayaan, popularitas, kejayaan, semuanya tak lebih dari instrumen untuk menggapai tujuan sesungguhnya. And the true goal is happines. Inilah yang dicari manusia sejak dulu, yakni bahagia. Bahkan, harapan kebahagiaan itu bagi kita tidak berhenti hanya sampai di dunia, lebih dari itu adalah di akhirat. Dan inilah yang utama.

Dan sesungguhnya hari esok itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang”. (Ad-Dhuha: 4).

Lalu bagaimana mendapatkan hidup yang diliputi kebehagiaan dan ketenangan? Belajar dari Ramadan, maka kuncinya adalah pada kualitas berkah. Apa itu berkah?

Sebagian ulama memaknai konsep berkah sebagai ziyadatul khair, tambahan kebaikan, kebaikan yang bertambah dan bertumbuh, serta langgeng. Kalau engkau kaya dan berkah, maka kekayaanmu akan mendatangkan manfaat dan kebaikan yang berlipat, baik untuk diri maupun orang lain. Pun kalau hidupmu pas-pasan, maka harta kita yang sedikit akan terasa optimal manfaatnya. Kadang mungkin kita memiliki banyak uang, tetapi mendadak uang itu lekas habis nyaris tak berbekas. Tetapi pernah juga kita memiliki sedikit uang, tetapi itu bisa terasa manfaatnya, bahkan bukan hanya bagi diri kita saja, tetapi juga untuk orang lain. Itulah keberkahan, ia melahirkan kebahagiaan dan ketenangan hidup. Lalu bagaimana jalan mendapatkan kualitas berkah ini?

Ramadhan disebut sebagai bulan berkah, karena amalan ibadah kita diganjar berlipat dibanding amalan yang sama di luar ramadhan. Puncaknya adalah lailatul qadar, ketika satu malam kualitasnya lebih baik dari seribu bulan.

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”. (Al-Qadr: 3).

Kenapa Allah melimpahkan keberkahan di bulan Ramadhan, tidak lain karena di bulan inilah manusia mampu menahan nafsunya karena Allah. Seorang mu’min rela tidak makan dan minum, tidak berhubungan seksual, menahan diri dari nafsu-nafsu yang bisa mengurangi nilai ibadah puasa, semuanya demi mengharap ridha Allah, limardhatillah.

Dan setelah ia belajar mengontrol nafsunya, belajar lapar dan dahaga, maka hatinya akan semakin melembut, sensitifitas sosialnya meningkat, empatinya menguat. “Iya ya, aku memang lapar dan haus, apalagi siang ini matahari menyengat, tetapi paling tidak aku tak perlu risau dengan saat maghrib nanti, karena ada yang bisa aku makan untuk berbuka. Tetapi bagaimana dengan orang-orang miskin dan faqir, yang mungkin sehari-harinya berkarib dengan rasa lapar. Bisa jadi, mereka masih harus berjuang agar saat tiba berbuka, ada sesuatu yang bisa dimakan.

Sensitifitas dan empati sosial inilah yang akan mendorong semangat kita untuk berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Rumusnya adalah, kalau sedikit habis, maka banyak semestinya bersisa. Maka kita bisa menggunakan sebagian saja dari sisa ini untuk dibagikan ke orang lain yang membutuhkan.

Mari belajar dari ritual berbuka, di luar dari banyaknya aneka makanan dan minuman yang sejak siang menggoda imajinasi kita, toh pada akhirnya kita sudah berbahagia saat berbuka dengan menu yang sederhana. Mungkin segelas teh dan sepotong kue, atau tiga biji kurma. Menu-menu lain yang sebelumnya memenuhi meja makan menjadi kurang menarik lagi.

Dari sini kita belajar, bahwa kebutuhan kita untuk bahagia saat berbuka ternyata murah dan sedikit, yang banyak adalah nafsu dan keserakahan, keinginan memakan segala. Karena kebutuhan untuk bahagia ini sedikit, artinya ada uang lebih, makanan dan minuman lebih, maka jangan lupa untuk berbagi ke tetangga atau saudara yang membutuhkan. Karena saat kita memberi itulah sesungguhnya kita sedang memproses harta kita, hidup kita agar berkah. Dan saat kita memberi itulah hidup kita menjadi lebih bahagia dan menenangkan.

Terakhir, mari simak pesan Rasulullah Saw kepada Hakim bin Hizam:

Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image