Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fajar Putra Mulyana

PENGARUH PEMIKIRAN ABID AL JABIRI DI INDONESIA

Agama | Sunday, 27 Jun 2021, 10:12 WIB

Latar Belakang

Muhammad ‘Abid al-Jabiri (selanjutnya disebut Jabiri) adalah seorang pemikir Islam kontemporer kelahiran Figuig, sebuah wilayah di Maroko yang berbatasan langsung dengan Aljazair. Jabiri lahir pada tanggal 27 Desember 1935, ia dikenal sebagai seorang intelektual yang menghabiskan masa studinya hingga tingkatan doktoral di Universitas Muhammad V Rabat, Maroko, pada tahun 1970. Selama menempuh masa studi, Jabiri ikut menceburkan diri dalam berbagai aktifitas politik.

Pemikiran Jabiri sangat dipengaruhi oleh seorang ahli geografi dan sejarawan kelahiran Maroko, Yves Lacoste, terutama ketika mendeskripsikan sosok Ibnu Khaldun dengan kacamata Marxis (Ibn Khaldun: The Birth of History and the Past of the Third World (1965)). Berangkat dari ketertarikan ini, Al-Jabiri menjadikan sosok Ibnu Khaldun, sebagai objek penelitiannya.

Karya al-Jabiri yang sangat fenomenal adalah “Naqd al-‘Aql al-‘Arabi” (kritik nalar arab). Pertanyaan kemudian muncul seputar pemilihan istilah ‘Nalar Arab’. Mengapa Jabiri lebih memilih istilah nalar arab bukan nalar islam?. Jabiri tidak menjelaskan secara rinci mengapa memakai sebutan “Nalar Arab”, bukan “Nalar Islam”, kecuali dengan alasan bahwa literatur-literatur yang digelutinya adalah literatur klasik berbahasa Arab dan lahir dalam lingkungan geografis, kultural, dan social-politik masyarakat Arab.

Dalam buku Naqd al-‘Aql al-‘Arabi al-Jabiri menjelaskan, bahwa apa yang tertulis dalam teks dan apa yang tidak dikatakan, menggambarkan pertentangan antara beberapa jenis nalar yang muncul saat itu. Hal ini menjadi menarik bagi Jabiri, yang ingin menjadikan teks tersebut sebagai awal mula bagi kemunculan apa yang disebutnya sebagai nalar bayani, ‘irfani dan burhani. Kritik nalar Arab ini terbagi atas dua bagian, bagian pertama “Takwin al-‘Aql al-‘Arabi”, Jabiri menitikberatan analisa terhadap proses-proses historis, baik epistemologis, maupun ideologis, yang membuka jalan terbentuknya nalar-nalar bayani, ‘irfani, dan burhani, termasuk interaksi diantara ketiga nalar tersebut beserta kritis-kritis yang menyertainya.

Pada bagian yang kedua Bunyah al-‘aql al-Arabi, , ia berusaha menjelaskan struktur internal masing-masing ketiga nalar ini, disertai dengan basis epistemologinya. Pada bagian akhir, Jabiri memberikan kesimpulannya, bahwa nalar (dalam pengertian yang dikemukakan diatas) yang kita miliki saat ini dan kita pakai untuk menerjemahkan, menilai, dan memproduksi pengetahuan, adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari masa tadwin, sehingga dari sini ia menegaskan perlunya membangun satu babak tadwin baru untuk melampaui konservatisme jenis nalar tersebut yang tidak berubah sejak dua belas abad lalu hingga kini. Tentu banyak argument yang dikerahkan oleh al-Jabiri untuk menunjukkan asal-usul dan factor- faktor apa saja yang melampaui konservatisme tersebut. Namun demikian dalam tulisan ini tidak mengupas secara mendetail paparan Muhammad al-Jabiri tentang seluk-beluk ketiga epistemologi tersebut.

Analisis historis Jabiri berfokus pada apa yang disebut atau Ashar al-Tadwin (period of recording or codification) 'periode rekaman atau kodifikasi' di mana nalar hanya menerima isi dan metodologi yang sudah ditentukan. Ini merupakan kemunduran, karena alih-alih mendorong munculnya diskursif baru, tradisi akhirnya hanya mereproduksi pengetahuan yang ada. Dalam analisis struktur nya, Al-Jabiri membagi tiga aspek pemikiran, sistem pengetahuan atau episteme yang berbeda, Jabiri membaginya menjadi , bayani atau penalaran diskursif, Irfani atau gnostisisme dan pemikiran intuitif , Burhani atau penalaran melalui penggunaan bukti demonstratif.

Nalar Bayani didasarkan pada gambaran retorika tata bahasa Arab, dan warisan sastra yang berasal dari zaman pra-Islam. Hal ini diterapkan dalam filologi dan linguistik, tafsir Qur’an, pemikiran hukum atau fikih dan teologi atau kalam. Al-Syafi'i tampak besar atas cara berpikir, terutama dalam hal keterbatasan yang ditetapkan pada ijtihad atau penalaran independen, dengan membatasi untuk alasan dengan analogi. Daripada metode rasionalis seperti induktif atau deduktif bahasa penalaran tetap satu-satunya titik acuan dalam pemikiran bayani. Menunjuk kembali ke studi sejarah, Al-Jabiri berpendapat bahwa pemikiran bayani telah akhirnya menang melalui karya ahli tata bahasa, ahli hukum dan teolog. Akhirnya, itu menjadi modus definitif berpikir tentang agama dalam tradisional pembelajaran Islam berkat karya al-Ghazali.

Adapun pemikiran Irfani atau gnostik, bermula dari pra-Islam, dan kemudian terus berkembang dalam konteks Islam. Hal ini tidak hanya ditemukan dalam astrologi, kimia, sihir, teosofi, illuminationism, dan pemikiran syiah, tetapi juga dalam aspek karya Ibnu Sina, yang umumnya dianggap sebagai sumber utama untuk pemikiran filsafat dalam Islam. Irfan atau Gnostisisme didasarkan pada pemisahan antara manifest (zahir) dan tersembunyi (batin) makna dari realitas, termasuk kitab suci. Al-Jabiri bersikeras bahwa karena pengaruh gabungan dari Ibnu Sina dan al- Ghazali, dan dengan demikian berpikir secara Irfani dan bayani, golongan 'irasional' (tidak sama dengan tidak masuk akal) telah mendominasi pemikiran timur dunia Islam.

Contoh para pemikir Burhani atau 'rasionalis' di Timur, antara lain filsafat al-Kindi, Mu'tazilah dan al-Farabi yang berlangsung selama Kekhalifahan Abbasiyah Al-Ma'mun, kebangkitan rasionalisme erat kaitannya dengan pemikir abad 11-13 dari barat Muslim. Acuan utama Al- Jabiri dari era klasik ini adalah: Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, Al-Shatibi, dan Ibnu Khaldun.

Diantara tokoh ini, Jabiri menemukan beberapa kerumitan, Sebagai contoh, Ibnu Hazm yang merupakan seorang beraliran Zahiri. Zahirism dikenal cukup ketat dalam interpretasi atas teks- teks kitab suci, tetapi juga memiliki disiplin intelektual dan hal itu pula yang menarik perhatian Jabiri. Selain itu, Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa segala sesuatu yang tidak dibatasi oleh teks, memberikan tempat untuk pemikiran secara bebas.

Sementara Ibnu Rusyd, harus dicatat bahwa ia benar-benar melakukan pekerjaannya di bawah pemerintahan Almohad yang bersifat puritan dan represif. Meskipun beberapa amir dan wazir memiliki ketertarikan dalam filsafat, kita tidak boleh lupa bahwa Almohad berasal dari nama Al- Muwahhidun, para penegak Keesaan Tuhan (Tauhid), yang – secara kebetulan - nama yang sama yang digunakan oleh Wahhabi Arab untuk diri mereka sendiri. Kesamaan antara dua kelompok ini tidak hanya pandangan intelektual tetapi juga pandangan politik Islam.

Karya Al-Shatibi juga penting bagi reinterpretasi dari kasus-kasus yurisprudensi atau fiqh yang telah muncul selama tadwin. Shatibi menaruh perhatian lebih pada Tujuan utama dari Syariah atau Maqasid al-Syariah yang menawarkan kesempatan untuk memikirkan kembali apa yang seharusnya menjadi tujuan dari hukum Islam. Dengan menjadikan hal ini sebagai poin yang paling utama dalam pemikiran islam memungkinkan kita untuk membedakan antara aspek yang bisa dan atau tidak bisa dirubah dalam hukum Islam.

Jabiri telah menghasilkan berbagai karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku. Jabiri, memberikan perhatian lebih pada persoalan filsafat dan teologi. Karya fenomenal-nya Naqd al-‘aql al-‘arabi muncul setelah sebelumnya diawali dengan penerbitan buku Nahwu wa al-Turast, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-‘Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah.

Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini telah menerbitkan Taqwim al-‘Aql al-‘Arabi, Bunya al-‘Aql-‘Arabi, al-A’ql al-Siyasi- ‘Arabi, al-‘Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al- Thaqafah al-Arabiyyah.

Karya terpenting Jabiri antara lain al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-‘Arabi al-Mua’asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al- Tasamuh, al-Dimaqratiyyah.Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-‘Arabi Muraja’ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah, al- Muthaqqafun fi al-Hadarah al-‘Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al- Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-‘Arabi.

Pengaruh Pemikiran Al Jabiri di Indonesia

Dua tokoh dari kader generasi muda dan intelektual NU yang berperan untuk membuka Indonesia Muslim berpikir untuk ide-ide Jabiri antara lain adalah Said Aqil Siradj (Ketua Umum NU) dan Ahmad Baso, seorang penulis muda yang untuk pertama kali menerjemahkan beberapa tulisan.

Said Aqil Siradj menjadikan pemikiran Jabiri untuk menafsirkan kembali gagasan Ahlussunnah wal jamaah (dalam bahasa Indonesia disingkat Aswaja). Alih-alih memahami itu sebagai sekolah sejarah pemikiran atau mazhab, Siradj ditafsirkan sebagai manhaj atau metode. Dalam pandangannya Manhaj taqlid tidak berarti imitasi buta (buta taqlid). Melainkan berarti metode berpikir, dengan kata lain sebuah Manhaj al-Fikr atau epistemologi yang sebenarnya menampung pendekatan yang berbeda. Terinspirasi dari pernyataan Tokoh NU KH Abdurrahman Wahid, yang mengutip perkataan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam perbedaan dalam Ummat adalah berkat , hal ini ditujukan untuk merangsang debat-debat ilmiah di kalangan NU.

Said Aqil Siradj memperkenalkan tulisan-tulisan Al-Jabiri kepada Ahmad Baso, yang kemudian mulai menerjemahkan menghasilkan beberapa esai dari Al-Jabiri, yang diterbitkan dengan judul Pos Traditionalisme Islam atau Islamic Post-Tradisionalisme. Sejak saat itu Islam Pasca- Tradisionalisme menjadi istilah baru yang identik dengan cara berpikir kritis tentang Islam Indonesia di kalangan kader intelektual muda NU. Dalam pengantarnya pada, Baso mengatakan bahwa sikap Jabiri untuk kembali kepada tradisi bukanlah soal pilihan semata, tapi disandaran pada kesadaran holistik untuk tujuan menganalisa pemikiran Arab-Islam dalam sudut pandang teologis, linguistik, yuridis serta filosofis dan aspek mistis yang melingkupinya. Ini adalah pendekatan yang sesuai dengan misi NU( memikirkan kembali Aswaja) seperti yang didefinisikan oleh Siradj dan Gus Dur.

Dengan membawa filosofi al-Jabiri dalam wacana Islam Pasca-Tradisionalisme, Baso mengakui bahwa ia terus merintis usaha Abdurrahman Wahid memperkenalkan kepada ummat Islam Indonesia tentang warisan Arab-Islam, terutama dalam segi kebudayaan dan pemikiran politik seperti nasionalisme, pribumisasi, sekularisasi , dan feminisme. Perhatian Al-Jabiri dengan kritik teks dan analisa diskursif akan membuat para intelektual Islam lebih memperhatikan aspek budaya dan tradisi. Hal ini menunjukkan kesadaran bahwa 'bahasa bukan hanya mengungkap- dunia, tetapi juga ,membangun dunia baru, menghasilkan wacana dan realitas baru dalam hal politik, dan agama.

Referensi :

Zulkarnain, “Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri.”

MOROCCAN PHILOSOPHER IN INDONESIA: THE INFLUENCE OF MUHAMMAD ABID AL-JABIRI ON ISLAMIC THINKING IN INDONESIA Carool Kersten.

A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt),

Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 232.

Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi,

1991).

Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS,

2000), kata pengantar, hlm. xxviii.

Walid Hamarneh, “pengantar” dalam Muhammad Abid al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab Islam, terj. M. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xvii-xviii.

Penulis:

Fajar Putra Mulyana. Asal Langsa, Aceh. Kandidat Sarjana jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Email: [email protected]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image