Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alif Alfan

Dalam Pelukan Ombak

Sastra | Wednesday, 27 Apr 2022, 07:59 WIB
Foto: pixabay.com

Dalam Pelukan Ombak

Tentang pantai yang air matamu menjadi buih ombak

Saat aku tak mampu menahan waktu membawa pergi semua bahagiamu.

*****

Hari ini terakhir aku melihat wajah Riani. Seorang perempuan yang pernah kutemui di suatu senja di sebuah pantai. Wajahnya kali ini berbeda dengan yang pertama kalinya. Di matanya aku melihat genangan sungai yang keruh dengan coretan warna kenangan. Seolah dia tidak rela melepaskanku. Tapi aku ikhlas karena pertemuan bukan pernah kami ikrarkan untuk selamanya bersama. Mana mungkin perempuan yang cintanya telah kurawat dengan sejuta kenangan di dalam dadaku akan kutinggalkan begitu saja dan saling melupakan, berat, berat sekali, namun harus terjadi. Dia satu-satunya yang menuntun untuk menjadi lelaki sejati yang tidak boleh merokok, miras, malas dan lainnya. Agar kelak jika aku menikah tidak menjadi lelaki yang tidak berguna.

" Apakah kau sudah siap pergi untuk selamanya?"

Riani menolehku sambil bibirnya bergetar dan kulihat air matanya menggenang. Riani begitu sulit untuk menerima kenyataan, apalagi aku. Rupanya ini pertanyaan tersulit untuk kujawab. Aku menghela nafas, sejurus membuang pandangan ke arah laut. Aku tidak ingin melihat Riani lemah seperti aku. Jantungku berdetak kencang, entah jawaban apa yang harus aku berikan.

3 tahun rasa cinta ini terbina dengan suka maupun duka, mengapa harus ada yang jadi takdir muram dalam sejarah perjalanan hidupku. Memang aku adalah lelaki yang tidak sempurna, tapi aku sudah pernah menunjukkan kepada dia bahwa bisa membersamai sampai kapan pun dan akan menikahinya tahun depan. Hari semakin larut sore itu, jantungku berpacu dengan suguhan pertanyaan dan hembusan angin.

" Aku minta maaf, Aku terpaksa ingin pergi selamanya"

Aku menundukkan kepala sebagai tanda pamit. Remuk seketika jiwaku. Riani terlihat kaget dan lemah. Tapi ini bukan keinginanku, bukan pilihan, hanya saja dipaksa oleh keadaan. Riani menitikkan air mata, aku pun juga. Sebentar lagi akan tercipta jarak dan aku akan menghilang dari penglihatan matanya yang entah berapa lamanya.

Kesetiaan dan kehangatan cinta penuh warna yang pernah kupersembahkan untuk dia tiba-tiba menyatu dalam ombak sebagai buih di lautan dan pecah di pantai-pantai pipi, mengalir seperti waktu yang hendak berlalu. Aku mendekat Riani dan memeluknya mencoba menenangkan. Ini adalah pelukan pertama sekaligus terakhirku. Selama ini aku tidak pernah melakukan karena belum sah, tapi kali ini harus aku lakukan sebagai tanda perpisahan bahwa dia begitu berarti dalam hidup ini. Ohoi,, laut jadi saksi, ombak yang sesekali terdengar deburannya, sementara kami yang terlena menikmati kekejaman perpisahan dengan sejuta kepedihan yang hadir seketika.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image