Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amelian Dinisia

Mengapa Harus Profesor Kehormatan?

Politik | Monday, 14 Jun 2021, 20:02 WIB

Bukan hal baru bahwa untuk meraih gelar akademik mulai dari tingkat Sarjana hingga Doktoral, seseorang harus melalui bangku kuliah dengan mengorbankan waktu, tenaga, biaya bahkan rela untuk jauh dari keluarga.

Saya pribadi pun mengalaminya, kuliah dari Tingkat Sarjana di sebuah kampus di Indonesia Timur, jauh dari keluarga, bagaimana harus menghemat uang makan agar bisa dipakai membuat tugas dan melakukan penelitian, selama lebih dari empat tahun saya melakukan itu. Sampai akhirnya dapat meraih Gelar Sarjana sebagai orang pertama yang lulus di angkatan saya. Cerita yang hampir mirip saya alami berjuang hingga dapat meraih Gelar Magister Sains di salah satu Perguruan Tinggi Terkemuka di Indonesia ini.

Namun, semua perjuangan itu terbayar lewat Ijazah yang diberikan oleh Rektor saat wisuda dilakukan. Wajah-wajah haru para Pejuang Akademik tersenyum bahagia bersama keluarga. Sangat pantas dan sesuai dengan perjuangan masing-masing.

Tapi di lain sisi, Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan dalam pasal 1 disebutkan bahwa Gelar Doktor kehormatan (Doctor honoris causa) merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi yang memiliki program doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.

Permendikbud 21 tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan mencabut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi yang terkait dengan gelar Doktor Kehormatan dan dinyatakan tidak berlaku. Gelar Doktor Kehormatan, disingkat Dr. (H.C.), ditempatkan di depan nama penerima yang berhak menggunakan gelar. Gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud hanya digunakan pada kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan akademik.

Beberapa publik figur yang pernah ditawarkan gelar kehormatan tersebut, antara lain Mantan Presiden Soeharto. Saat itu Soeharto masih menjabat Presiden RI. Soeharto menyatakan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas keputusan perwakilan Universitas Indonesia yang saat itu menyampaikan akan memberikan gelar kehormatan Doktor (HC) kepada Beliau dan juga Wakil Presiden Mohammad Hatta. Akan tetapi ia berpendapat kala itu belum waktunya untuk melaksanakan penghargaan tersebut. Dalam hubungan ini dia meminta agar sebaiknya UI melaksanakan pemberian penghargaan itu pada waktu yang tepat di kemudian hari.

Selain Soeharto, Presiden Joko Widodo pada tahun 2018 juga menolak menerima gelar doktor honoris causa. Dia sudah merasa nyaman dengan titel Insinyur Kehutanan yang diraihnya dari Universitas Gajah Mada pada 1985.

Lain halnya yang terjadi saat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) akan memberikan gelar doktor honoris causa kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Namun, pemberian gelar yang rencananya dilakukan pada Oktober 2020 itu mendapat penolakan dari Aliansi Dosen UNJ. Mereka berpandangan, ada tiga alasan mengapa menolak pemberian gelar tersebut.

Salah satu alasannya, menurut Aliansi Dosen UNJ, pemberian gelar doktor honoris causa kepada tokoh yang sedang berkuasa dan memegang jabatan publik berpotensi mengancam kebebasan akademik dan otonomi perguruan tinggi.

Ternyata pada bulan Juni 2020, Wakil Presiden RI K.H. Ma'ruf Amin telah menerima gelar Dr.HC dari Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar secara virtual. Beliau dinilai sebagai seorang Ulama yang ahli dalam ilmu hukim ekonomi syariah dan sebagai motor penggerak ekonomi syariah Indonesia.

Sebelumnya pada Mei 2012, beliau juga telah menerima anugerah kehormatan yang sama oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat itu K.H. Ma'ruf Amin masih bertugas sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pusat.

Kemudian diantara para mantan Presiden RI yang juga pernah menerima Gelar Doktor (HC) adalah Presiden Soekarno pernah menerima dari ITB, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak tahun 2005 hingga 2018 telah menerima 14 Gelar Kehormatan tersebut. Pada tahun 2014, SBY ternyata menjadi orang pertama yang menerima anugerah Kehormatan Guru Besar tidak tetap dari Unhan dalam bidang Ilmu Ketahanan Nasional. Kemampuan itu juga didukung secara reguler, beliau telah memperoleh gelar Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Demikian juga Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla selain memperoleh gelar Doktorandus sebagai gelar akademik pada jenjang strata 1 Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar. Namun, secara penghormatan ternyata beliau telah memperoleh tujuh gelar Doktor Honoris Causa.

Belakangan ini, beredar informasi bahwa Universitas Pertahanan RI akan memberikan gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar tidak tetap) kepada Ibu Megawati Soekarnoputri oleh dalam bidang Kepempinan Strategis pada hari Jum'at 11 Juni 2021. Hal ini tentu memicu munculnya sebuah pertanyaan penting dalam benak saya. Mengapa harus Profesor Kehormatan?

Sedangkan berdasarkan informasi yang dihimpun, Megawati sendiri sudah menerima 8 gelar Doktor kehormatan tersebut baik dari Perguruan Tinggi dalam negeri maupun luar negeri dengan masing-masing bidang sesuai penilaian Guru Besar pada PT tersebut.

Meskipun belakangan diketahui bahwa gelar Doktor (HC) yang diberikan oleh IPDN tidak sesuai dengan Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 diatas karena program doktor yang dimiliki masih terakreditasi B.

Adapun alasan Unhan memberikan gelar kehormatan tersebut karena Unhan RI mencatat keberhasilan Megawati saat di pemerintahan dalam menuntaskan konflik sosial seperti penyelesaian konflik Ambon, penyelesaian konflik Poso, pemulihan pariwisata pasca-Bom Bali, dan penanganan permasalahan TKI di Malaysia.

Kembali ke pertanyaan saya tadi, mengapa harus Profesor Kehormatan? Sedangkan yang beliau lakukan notabene pada saat itu adalah tugas beliau sebagai seorang Kepala Negara, jikapun dianggap itu sebagai jasa luar biasa, maka tidak cukupkah dengan pemberian gelar Doktor (HC)? Mengingat sumbangsih beliau untuk Perguruan Tinggi, sudah berapa banyak karya ilmiah yang beliau hasilkan? Tentu berbeda dengan SBY yang dalam hal ini sudah memiliki karya Ilmiah untuk bisa meraih gelar Doktor beliau.

Karena berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, universitas, institut, atau sekolah tinggi dapat mengangkat Guru Besar atau Profesor. Seorang dapat diangkat dalam jabatan akademik profesor adalah dosen yang memiliki kualifikasi doktor (UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen).

Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. Profesor mempunyai kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebar luaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Jadi jelaslah bahwa Guru Besar atau Profesor bukanlah gelar akademik tertinggi tetapi adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang mengajar di lingkungan perguruan tinggi yang diakui pemerintah dan masyarakat serta melaksanakan ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi (mengajar, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat).

Itulah sebabnya Surat Keputusan Bersama Nomor 128/2004 antara Menteri Negara PAN, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Riset dan Terknologi tentang Jabatan Fungsional Peneliti dalam bentuk pemberian (gelar ) Profesor Riset bagi para peneliti APU pada LIPI yang hanya melakukan penelitian, saat ini dipersoalkan oleh kalangan perguruan tinggi (Forum Rektor) dan diusulkan untuk dicabut.

Sebutan Guru Besar atau Profesor, hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja(sebagai pendidik/pengajar) di PT nya (UU No 20/2003/SISDIKNAS). Sedangkan Profesor yang dipekerjakan di PT Swasta yang diakui pemerintah untuk dapat diperpanjang usia pensiun dan diangkat menjadi Profesor Emeritus harus diusulkan oleh PT nya kepada Mendiknas melalui Kopertis dengan persyaratan dan tatacara pengusulan seperti yang berlaku pada PT Negeri.

Karenanya seorang Profesor yang telah pensiun, secara akademik tidak berhak lagi menuliskan kata "Prof " di depan namanya, apalagi untuk nama jalan ataupun nama sarana lainnya. Bahkan ada profesor yang karena kesibukannya bertugas sebagai birokrat sehingga tidak ada waktu untuk melaksanakan Tri Dharma PT, yang bersangkutan menanggalkan sebutan Profesor di depan namanya.

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Ali Ghufron Mukti pun menyampaikan Profesor bukan gelar akademik melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh dosen. Jadi jika ada orang yang mendapatkan gelar profesor, maka itu tidak benar. Bahkan Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sofian Effendi, menegaskan bahwa pemberian gelar profesor kehormatan semestinya tidak ada.

Berdasarkan permendikbud No. 40 tahun 2012 tentang pengangkatan Profesor/Guru Besar tidak tetap pada perguruan tinggi, pada poin 2 bahwa menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai profesor/guru besar tidak tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Saya rasa hal tersebut adil, bahwa sebutan Guru Besar atau Profesor baik tetap maupun tidak tetap layak disematkan pada seseorang yang telah mengabdikan diri sebagai dosen yang melakukan pengabdian tri dharma perguruan tinggi, menerbitkan buku dan karya ilmiah yang bermanfaat bagi dunia pendidikan dan Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

Semoga hal yang cenderung terlihat dipaksakan ini tidak ada hubungannya dengan kepentingan politik, ataupun berhubungan dengan sistem pemilihan Rektor yang sekarang dilakukan langsung oleh Presiden. Sehingga tidak merusak reputasi kampus sebagai tempat mendidik anak bangsa, tetap terjaga marwah Perguruan Tinggi dimanapun di Indonesia tercinta ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image