Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deandra Salsabila

Lawan Kekerasan Seksual dengan Lepaskan Belenggu Tabu

Eduaksi | Saturday, 05 Jun 2021, 10:53 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual

Kau tak sendiri

Aku di sini

Malam kan terlewati, ku berjanji

Jangan berhenti

Penggalan lirik lagu ciptaan Gabriel Mayo dan Dita Permatas tersebut berjudul “Hampir Pagi”. Lagu ini diciptakan guna berbicara tentang anti kekerasan seksual. Liriknya melantunkan pentingnya pendampingan terhadap korban kekerasan seksual.

Kekerasan Seksual: Bukan Hanya Soal Fisik, Melainkan Juga Psikis

Mendengar kata kekerasan, mungkin pikiran seseorang mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan fisik. Namun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan merupakan bentuk paksaan. Definisi ini berlaku untuk kata ‘kekerasan’ dalam kekerasan seksual.

Rossy Sintya Marthasari, spesialis andrologi, mengatakan kekerasan seksual adalah tindakan dalam konteks seksual yang merugikan orang lain. Kekerasan seksual dapat mengecam atau mengintimidasi korban.

“Kekerasan seksual nggak mesti pemerkosaan, catcalling sebenernya masuk jenis kekerasan seksual,” jelas Rossy.

Berbicara mengenai jenis kekerasan seksual, Rossy menyatakan jenis kekerasan seksual dari bentuk verbal sampai fisik. Kekerasan seksual dapat ditinjau dari berbagai sisi dan bagian. Bisa tergantung terjadi di mana, pelakunya siapa, dan berdasarkan masalahnya.

Mirisnya, tindakan kekerasan seksual ini juga terjadi pada anak. Berdasarkan data Sistem Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada 1 Januari—19 Juni 2020 terjadi 1.848 kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Irna Rudiana, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Tangerang, menjelaskan bagaimana anak-anak di bawah umur menjadi korban kekerasan seksual.

“Usia 10 tahun ke bawah sering menjadi korban dan sering kali tidak paham. Usia 10 tahun ke atas ada yang belum paham, tapi rata-rata paham kalau yang dialami termasuk kekerasan seksual,” jelasnya

Menurut Rossy, ada tiga faktor utama yang memengaruhi seseorang melakukan kekerasan seksual. Pertama, faktor biologis yang mencakup gairah seksual yang muncul pada seseorang. Lalu, faktor psikologis yang berkaitan dengan kesukaan. Misalnya, kelainan seksual pedofilia yang memiliki ketertarikan pada anak-anak sebagai objek seksual. Terakhir, faktor sosiologis yang menyangkut kondisi kepribadian seseorang.

Kisah Korban yang Memikul Beban

Mengakui dirinya korban kekerasan seksual bukan hal yang mudah. Flora Marcella salah satunya. Butuh 28 tahun hingga berani menceritakan kisahnya sebagai korban. Mirisnya, kekerasan seksual yang dialaminya tidak hanya terjadi sekali.

Flora berbagi kisah melalui unggahan YouTube berjudul “My Story: Sexual Abuse Masa Kecil” di akun Rise Project Indonesia. Ia bercerita saat berusia empat tahun diperkosa kekasih ibunya. Lalu, saat berusia enam tahun dilecehkan secara fisik oleh kuli bangunan. Belum berakhir di situ, pada usia 14 tahun ia dilecehkan teman ayahnya.

Usaha untuk bercerita pada orang tuanya sudah dilakukan. Sayangnya, orang tua Flora malah menutupi kenyataan yang ada.

“Aku speak up diabaikan, jadi sebagai anak kecil aku diem sampai depresi,” keluh Flora.

Traumanya lambat laun memengaruhi kondisi mental. Flora sempat depresi hingga kondisi fisiknya terpengaruh. Flora mengidap polip atau tumor di vaginanya. Pengobatan di berbagai dokter sampai ke luar negeri telah dijalani.

“Sembuhnya cuman pas minum obat dan operasi, tapi 6 bulan kemudian tumbuh lagi. Jadi, nggak sustainable. Akhirnya rahimku diangkat,” sambungnya.

Beranjak dewasa, Flora semakin mengenal dunia sekaligus mengenal dirinya. Hal ini membantunya healing dari kejadian kelam yang pernah dialami.

“Kadang kejadian terjadi bukan karena orang melakukan sesuatu, tapi karena orang lain nggak melakukan apa-apa. Aku nggak mau jadi orang yang nggak ngelakuin apa-apa,” tegas Flora.

Flora setuju akan pentingnya pendidikan seksual. Menurutnya, edukasi orang tua mengenai pendidikan seksual sebelum menikah perlu dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar anak nantinya memiliki pegangan tentang pendidikan seksual.

Menilik Arti Pendidikan Seksual

Menurut Udin S. Winataputra, profesor ilmu pendidikan, pendidikan seksual adalah informasi agar terhindar dari miskonsepsi tentang sexuality. Sayangnya, masyarakat menyalahartikan sebagai bentuk persenggamaan. Hal tersebut dijelaskan Bode Riswandi, seorang pengamat budaya.

“Seks itu sangat luas artinya, bukan hanya tentang apa yang dipindahkan, melainkan juga mengetahui pentingnya alat-alat reproduksi kita bisa bekerja dengan sehat,” ujar Bode.

Pernyataan Efriyani Djuwita, psikolog perkembangan anak yang akrab disapa Ita selaras dengan Bode. Menurutnya, pendidikan seksual yang komprehensif mencakup aspek perkembangan fisik, kognitif, dan sosial. Kesehatan reproduksi, peran gender, hak-hak kita, dan orang lain yang berkaitan dengan seksualitas juga termasuk pendidikan seksual.

Pendidikan Seksual Versus Pendidikan Reproduksi

Udin menjelaskan, pendidikan reproduksi adalah bagian pendidikan seksual terkait perkembangan manusia. Selaras dengan Udin, Ita menyatakan di Amerika atau Eropa pendidikan seksual yang komprehensif lebih dominan daripada pendidikan reproduksi.

“Di Indonesia, pendidikan seksual yang komprehensif digunakan lebih ke pendidikan reproduksi,” ucap Ita.

Istilah pendidikan reproduksi digunakan agar masyarakat tidak terlalu menentang. Jika pendidikan seksual dibungkus dengan embel pendidikan reproduksi, setidaknya masyarakat tidak berkonotasi bahwa yang diajarkan hanya tentang hubungan seksual. Mendengar kata reproduksi, maka kaitannya lebih ilmiah meski sebenarnya bukan hanya belajar reproduksi, jelas Ita.

Budaya Ungkapan Tabu, Jalan Menuju Pendidikan yang Kelabu

Kata tabu dalam KBBI berarti hal yang dianggap pantangan. Salah satu hal yang dianggap tabu di Indonesia adalah pendidikan seksual.

“Justru ketabuan jadi jurang yang menutup penemuan-penemuan baru,” jelas Bode.

Menurutnya, semakin suatu hal ditabukan, maka hasrat mencari tahu akan semakin besar. Masyarakat perlu berpikir dari arah berbeda, yaitu tentang pelajaran pendidikan seksual yang lebih komprehensif.

“Menabukan pendidikan seks itu membuka pintu untuk mengetahui informasi dari luar,” tambah Bode.

Ia menjelaskan bahayanya informasi dari luar karena anak-anak dapat salah memahaminya. Pendidikan seksual seharusnya tidak terikat tabu karena seks bukan untuk dihindari, seks harus diajarkan sejak dini.

Budaya tabu pendidikan seksual hadir akibat pandangan bahwa seks merupakan perilaku serupa dengan pornografi. Kedua hal tersebut nyatanya berbeda. Seks adalah kenyataan biologis yang dimiliki manusia. Berbeda dengan pornografi, yaitu terciptanya tindakan fantasi untuk mencapai tindakan tertentu, jelas Bode.

“Pendidikan mesti mampu membuat seseorang berangkat dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari gelap menjadi terang,” tambah Bode

Peran Keluarga agar Anak Tetap Terjaga

“Sejak TK seharusnya mulai diajarkan karena mereka mulai berimajinasi, bermain, nonton televisi, dan main handphone,” sambung Bode.

Bode mengutarakan, setiap keluarga memiliki cara penyampaiannya masing-masing dalam edukasi seksual. Orang tua mesti membentengi anaknya dari miskonsepsi pendidikan seksual. Orang tua harus sigap menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait hal seksual.

“Misalnya anak nanya, bu kita lahir dari mana? Nah, itu banyak orang tua yang bingung jawabnya,” ucap Bode.

Menurutnya, jika orang tua memiliki keterbatasan menjelaskan secara verbal, maka bentuk visual dapat membantu. Namun, jika visual terlalu vulgar, orang tua harus mencari alternatif lain. Hal ini dilakukan agar anak memiliki bekal informasi dari keluarganya saat tampil di dunia luar.

Sebuah Petuah untuk Calon Orang Tua

“Keluarga adalah sistem pertama anak belajar rasa percaya pada lingkungan, orang lain, cara memandang diri dan lingkungan,” tutur Ita.

Sebagai lingkungan internal, orang tua berperan dalam mengajarkan pendidikan seksual sebelum anak menjelajahi dunia luar.

Ita memberikan dua tips untuk calon orang tua agar tidak terlambat mengajarkan pendidikan seksual kepada anaknya. Pertama, orang tua harus open minded jika pendidikan seksual ini bukan hal tabu. Hal ini bertujuan agar anak belajar menghargai aktivitas yang berkaitan dengan seksualitas hingga menjaga dirinya.

Kedua, orang tua harus rajin membaca dan mencari informasi. Orang tua terkadang bingung mulai dari mana untuk mengajarkan pendidikan seksual. Maka, orang tua harus terbiasa agar siap jika nanti anak bertanya.

“Kalau orang tua dari awal nggak mengajarkan, pas remaja anak akan males nanya dan nanya ke temen atau internet yang jawabannya belum tentu tepat,” ujar Ita.

Untukmu Para Gen Z dan Korban Kekerasan Seksual, Mari Hadapi Ini Bersama

Ada peribahasa lebih baik mencegah daripada mengobati. Pencegahan kasus kekerasan seksual dapat dilakukan dengan penanaman pendidikan seksual sejak dini. Namun, masih ada remaja yang tidak mendapatkannya saat dini sehingga ilmunya belum cukup, bahkan menjadi korban.

Rossy membagikan tips untuk remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksual di keluarganya agar tetap memahami pendidikan seksual. Pertama, pahamilah dirimu sendiri. Kedua, harus berani mengatakan tidak. Ketiga, banyak bertanya ke sumber yang benar.

“Jangan misalnya kamu nonton film terus dianggap benar. Film itu belum tentu sama dengan keadaan nyata,” tambahnya.

Ada juga peribahasa nasi sudah menjadi bubur alias terlanjur. Korban kekerasan seksual tentunya tidak dapat mengulang masa lalu agar dapat menghindari kejadian malang tersebut.

“Menjadi korban kekerasan seksual bukanlah suatu aib yang perlu ditutupi karena itu merupakan tindakan kriminalitas,” jelas Irna.

Menyadari bahwa kekerasan seksual bukanlah pengalaman buruk yang perlu dikubur akan membuat korban lebih mudah bangkit dari traumanya. Irna mengatakan, banyak lembaga yang dapat memberikan pendampingan kepada para korban kekerasan seksual, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak (DP3A) di tiap daerah, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Irna menjelaskan lembaga-lembaga terkait akan memberikan pendampingan psikolog untuk kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Hal ini dilakukan demi memastikan kejadian yang menimpa korban tidak merusak masa kecil dan meninggalkan trauma.

Flora menegaskan, speak up atas kejadian yang dialami korban itu penting. Membagikan cerita kepada orang banyak dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia.

“Di balik rumah-rumah dan pintu-pintu yang tertutup banyak anak kecil yang menjadi korban sexual abuse sama keluarganya atau lingkungannya dan nggak dibantuin,” jelas Flora.

Sebagai korban, dia tidak bisa menyalahkan situasi, apalagi orang tuanya. Maka, Flora berusaha berdamai dengan dirinya dan keadaan.

“Bisa aja orang tua kita gadiajarin pendidikan seks, jadi sebenernya mereka korban dan kita adalah korban dari korban,” jelasnya.

Rossy mengatakan, kita tidak dapat mengubah generasi keluarga di atas kita. Namun, kita dapat mengubah generasi sekarang.

“Be brave, it’s going to be okay,” tutup Flora Marchella.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image