Pancasila, KPK dan Trust
Politik | 2021-06-04 16:53:48Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menyita perhatian publik. Bukan mengenai berita operasi tangkap tangan pejabat daerah. Akan tetapi terkait hasil tes wawasan kebangsaan atau TWK. Dari 1300an pegawai KPK yang ikut tes, 75 diantaranya dinyatakan tidak lulus.
TWK merupakan konsekuensi dari alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. Tetapi, Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak menjelaskan perihal TWK. Ketentuan mengenai TWK baru muncul dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.
Di tanah air, seleksi penerimaan pegawai ASN diselenggarakan oleh Badan Kepegawaian Negara. Namun tes pegawai KPK menjadi âistimewaâ karena melibatkan institusi lain seperti BNN, BNPT, BIN, BAIS, dan TNI AD. Selain daftar soal dan pertanyaan yang menjadi polemik, tes pegawai KPK ini juga sangat berbeda dengan tes CPNS pada umumnya. Imbasnya, tokoh-tokoh penting dalam pemberantasan korupsi di KPK dinyatakan tidak lulus. Seperti penyidik senior Novel Baswedan, Harun Al Rasyid, Direktur Sosialisasi & Kampanye Antikorupsi Giri Suprapdiono, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi Sujanarko, hingga Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo.
Isi tes wawasan kebangsaan semestinya seputar Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika hingga sistem pemerintahan yang sah. Akan tetapi, praktiknya yang diuji dan ditanyakan di luar itu. Bahkan ada pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi dan diluar konteks.
Nilai penting trust
Keributan perihal TWK bukan hanya mengenai soal dan daftar pertanyaannya, akan tetapi terkait trust. Rasa percaya pimpinan KPK terhadap jajaran di bawahnya dan atau sebaliknya. Semestinya, hasil dari tes tersebut tidak dijadikan satu-satunya indikator menonaktifkan 75 pegawai KPK dari pekerjaannya. Hal senada juga disampaikan oleh Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK. Baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK.
Rasa percaya merupakan modal awal untuk melangkah. Bangsa Indonesia tetap bersatu, walaupun ada âriak-riakâ akan ancaman disintegrasi. Itu karena kita punya Pancasila. Kita percaya sampai hari ini Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang menjaga kita terhadap ancaman, baik dari internal maupun eksternal bangsa. Kita percaya bahwa Pancasila sebagai âbintang penuntunâ atau leidster berupa panduan dinamis yang memberi arah hidup dan isi hidup bagi bangsa Indonesia. (Latif, 2018: 21)
Pancasila digali dari nilai-nilai luhur Nusantara dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa melalui rangkaian sidang BPUPK. Lalu disempurnakan oleh Panitia Sembilan yang diketuai Sukarno menghasilkan satu kesepakatan bahwa bangsa Indonesia berdiri berdasarkan asas Pancasila.
Bangsa-bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai karakter kuat. Jepang dengan jiwa bushido, China nama negaranya sudah merupakan jalan suksesnya. Chung-kwok berarti ânegeri tengahâ atau âpusat duniaâ. Sementara Amerika Serikat dengan The American Dream.
Pancasila sebagai ideologi sudah final, tidak perlu diperdebatkan. Pemerintah melalui BPIP yang bertugas mengawal Pancasila sebagai ideologi. Tetapi pertanyaannya, apakah dengan ideologi saja bisa mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berkarakter.
Pancasila milik semua anak bangsa. Pancasila harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya dengan menjadikan Pancasila sebagai karakter. Ada lima elemen dari Karakter Pancasila. (Uchrowi, 2013:17) Salah satunya dan yang pertama adalah rasa percaya. Rasa percaya merupakan elemen dari sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita percaya bahwa semua kita bertuhan. Tidak ada satu agama apapun di dunia yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Bertuhan sangat erat kaitannya dengan rasa percaya.
Begitu juga dengan pemberantasan korupsi. Kita percaya semestinya KPK bisa menjadi lembaga di garda terdepan dalam hal pemberantasan korupsi. Namun, rasa percaya publik terhadap lembaga antirasuah ini berdasarkan survei beberapa lembaga seperti Litbang Kompas, Charta Politika, dan Indo Barometer, dari tahun ketahun mengalami penurunan. Salah satu indikatornya mengenai kontroversi yang terjadi di KPK.
Asa kepada KPK
Untuk memberantas korupsi, sepenuhnya kita percaya terhadap KPK. Dan semestinya KPK juga mengemban amanah kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya. Bahwa sebenarnya KPK mampu memberantas korupsi.
Namun, rangkaian kontroversi yang terjadi di KPK, dan terakhir seputar hasil tes dari 75 pegawai KPK semakin menguatkan indikasi bahwa rasa percaya publik terhadap KPK memang semakin melemah.
Dalam peringatan hari lahir Pancasila tangal 1 Juni tahun lalu, Ketua KPK mengatakan bahwa dengan mengamalkan nilai dari sila-sila Pancasila, hunusan bilah pedang anti korupsi mampu melesak cepat, tertuju menusuk dan mematikan detak jantung laten korupsi. Berani korupsi sama saja berani mengkhianati nilai-nilai di setiap butir yang ada di Pancasila.
Akutnya praktik-praktik korupsi di tanah air, membuat pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan kata-kata heroik. Dibutuhkan komitmen, tindakan nyata, tegas dan tidak tebang pilih dalam upaya pemberantasan korupsi.
Prancis Fukuyama (1995) mengatakan bahwa trust atau saling percaya adalah modal sosial yang sangat kuat untuk maju. Sudah selayaknya KPK memberikan rasa percaya kepada masyarakat Indonesia bahwa mereka mampu memberantas korupsi. Tidak tenggelam dengan kontroversi yang ada.
Bangsa Indonesia sudah semestinya maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa yang lain. Namun, bahaya laten korupsi kian hari kian tidak dapat diterima akal sehat. Korupsi tumbuh subur di negeri yang berpenduduk kurang lebih 270 juta jiwa ini. Salah satunya karena perilaku korup para pejabatnya.
KPK seharusnya memberikan rasa percaya kepada seluruh rakyat Indonesia. Bahwa korupsi bisa diberantas. Rasa percaya merupakan modal awal yang harus KPK tunjukkan. Rasa percaya merupakan langkah awal dalam Karakter Pancasila, di samping empat karakter yang lain. Kini saatnya, menjadikan Pancasila tidak sebatas ideologi bangsa saja, tetapi menjadikan Pancasila sebagai Karakter. Dalam upaya pemberantasan korupsi dan modal Indonesia maju. *
Penulis: Prayogo (Manajer Riset dan Program Yayasan Karakter Pancasila dan Mahasiswa Pascasarjana IPB)
Twitter dan IG: @masyuugo
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.