Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cece'Ciribony Cece'Ciribony

MUSLIMAH BERPOLITIK WUJUD KETAATAN

Politik | Friday, 04 Jun 2021, 01:36 WIB

Oleh: Mariyam Sundari (Pengamat Perempuan dan Sosial)

Siapapun yang mempelajari syariat Islam secara mendalam akan mendapati bahwa Islam mengatur peran perempuan dan laki-laki secara sempurna. Aktivitas keduanya diatur dengan seperangkat hukum yang terkumpul dalam “al ahkam al khamsah” (lima hukum perbuatan manusia: Wajib, sunah, mubah, makruh dan haram). Semua perbuatan manusia tidak terlepas dari salah satu hukum yang lima tersebut. Tidak ada satu pun amal manusia yang tidak ada status hukumnya.

Demikian juga ketika perempuan muslimah memainkan peran politiknya, dia tidak boleh abai terhadap status hukum masing-masing aktivitas yang akan dijalankannya. Dalam implementasinya pada kehidupan nyata harus kembali kepada derajat hukum perbuatan tersebut.

Terhadap perkara wajib maka dia tidak memiliki pilihan. Dalam keadaan apapun dia mesti berupaya melaksanakannya dengan segenap kemampuannya, seperti kewajiban melakukan amar makruf nahi mungkar yang tercantum dalam QS Al-Imran ayat 104 Allah berfirman yang artinya: “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam), memerintahkan kema'rufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Salah satu wujud amar makruf nahi mungkar adalah berdakwah untuk menyeru manusia kepada Islam. Selain menyeru secara langsung pada individu, bentuk peran politik perempuan dalam aktivitas ini adalah keikutsertaannya dalam sebuah partai politik Islam yang berjuang untuk menegakkan sistem Islam secara kafah.

Implementasi kewajiban amar makruf yang lain adalah menjalankan pengawasan dan koreksi kepada penguasa untuk memastikan mereka menerapkan syariah secara kafah. Jika penguasa menetapkan suatu aturan yang melanggar hukum syariat atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari penguasa maka wajib bagi setiap muslim termasuk kaum perempuan untuk menasihati penguasa supaya dia menyadari kelalaiannya dan kembali menjalankan tanggung jawabnya dengan benar.

Peran perempuan dalam melakukan muhasabah atau koreksi terhadap penguasa ini bukan sekadar teori, namun benar-benar telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Islam.

Sebagaimana pernah terjadi di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, ketika seorang perempuan memprotes kebijakan Umar dalam menetapkan jumlah mahar karena bertentangan dengan firman Allah SWT: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (TQS An-Nisaa' [4]: 20).

Khaula binti Hakim bin Tsa'labah dengan berani menyampaikan kritiknya terhadap Khalifah. Kemudian Umar menyadari kekeliruannya dan segera mencabut keputusannya, ia berkata, “Perempuan ini benar dan Umar salah.”

Kewajiban berikutnya adalah melakukan baiat terhadap pemimpin negara. Kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan Islam dipegang oleh seorang Khalifah. Pengangkatan Khalifah akan dianggap sah jika telah terjadi baiat yang sempurna dari sisi kaum muslimin, yaitu pernyataan kerelaan mengangkatnya sebagai pemimpin dan keridhaan untuk mentaatinya selama mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi ini.

Apabila ada sekelompok kaum muslim yang telah mewakili mereka melakukan baiat, maka salah seorang yang dibaiat itu menjadi khalifah (pemimpin) yang harus ditaati oleh seluruh kaum muslimin.

Dalam urusan pengangkatan pemimpin ini Islam memberikan hak dan kewajiban untuk melakukan baiat khalifah kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki. Di antara dalil yang menjelaskan keikutsertaan perempuan dalam baiat adalah hadits yang disampaikan oleh Ummu Athiyyah berkata,

“Kami berbaiat kepada Rasulullah Saw lalu beliau membacakan kepada kami agar jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata 'Seseorang telah membuatku bahagia aku ingin membalas jasanya.’ Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR Bukhari)

Keterlibatan perempuan dalam pengangkatan dan pembakaran khalifah merupakan salah satu aktivitas politik perempuan dalam masyarakat.

Peran politik perempuan yang lain adalah memenuhi hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Peran ini bukanlah kewajiban namun termasuk hak mereka sehingga tidak mengikatnya. Majelis umat adalah sekumpulan wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, pemimpin mereka.

Anggota majelis umat akan menyampaikan apapun yang dibutuhkan rakyat dan sekaligus menyarankan solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keterlibatan perempuan untuk mewakili aspirasi umat ini tergambar dalam peristiwa Baiat Aqabah II.

Sebagaimana Ibnu Hisyam meriwayatkannya dari Ka'ab bin Malik bahwa di antara 73 orang utusan laki-laki ada 2 orang wakil perempuan, yakni Nusaibah binti Ka'ab dan Asma binti Amr bin Adi.

Dalam menjalankan berbagai peran politiknya sudah seharusnya seorang muslimah melakukannya karena dorongan ingin terikat kepada ketentuan syariah. Bukan karena motivasi lain seperti demi memperjuangkan kesetaraan atau untuk mengejar eksistensi diri. Mereka yakin hanya dengan niat taat pada syariatlah yang akan menghantarkannya pada keberkahan hidup.

Karenanya, sebelum terjun melibatkan diri, dia akan memastikan dulu status hukum perbuatan tersebut. Pemahamannya ini merupakan modal untuk bisa merespons dengan sikap yang tepat: Kapan aktivitas tersebut mengikat dan tidak memberikan alternatif pilihan? Kapan suatu amal berstatus mubah sehingga boleh dikerjakan atau ditinggalkan? Dan perbuatan mana saja yang justru haram dan harus dihindari? Wallahu’allam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image