Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardhienus

Peran Bank BUMN Saat Resesi

Bisnis | Saturday, 29 May 2021, 17:45 WIB

Saat ini, Indonesia tengah dihadapkan pada jurang resesi ekonomi bersama sejumlah negara lain yang terlebih dulu terjebak resesi, seperti Singapura, Filipina, Korea Selatan, Amerika dan Uni Eropa. Kondisi resesi itu secara resmi akan dipastikan pada awal November saat Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2020.

Resesi diartikan sebagai menurunnya aktivitas ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan minus produk domestik bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut.

Berbeda dengan resesi yang pernah dialami Indonesia sebelumnya, fenomena resesi kali ini dipicu faktor kesehatan, yakni pandemi Covid-19, yang membuat aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi dan konsumsi, menurun drastis, bahkan berhenti.

Upaya untuk menghalau resesi tak lain adalah dengan menggairahkan kembali aktivitas ekonomi. Sudah pasti upaya ini membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit. Dan sumber pembiayaan yang dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari kredit perbankan.

Persoalannya, penyaluran kredit perbankan cenderung berperilaku prosiklus (procyclical). Artinya, saat ekonomi sedang ekspansi, penyaluran kredit perbankan kian meningkat. Sebaliknya saat ekonomi sedang kontraksi, penyaluran kredit melambat. Dengan laju pertumbuhan kredit yang terus melambat, pertumbuhan ekonomi sulit diharapkan untuk bergerak ke arah yang positif. Dan hari-hari ini kita mengalami kondisi itu.

Maka, disinilah sebetulnya diperlukan intervensi pemerintah melalui peran bank pemerintah, tak hanya bank Himbara (BUMN) namun juga bank pembangunan daerah (BPD) untuk berperilaku less procyclical. Pasalnya, sulit mengharapkan bank swasta, bank campuran ataupun kantor cabang bank asing untuk meningkatkan penyaluran kredit dikala ekonomi sedang kontraksi (resesi). Padahal, saat ini, sejatinya mereka punya ruang yang besar untuk menyalurkan kredit, ditandai permodalan yang tinggi dan likuiditas yang berlimpah.

Hanya saja, mereka cenderung kian hati-hati karena meningkatnya risiko usaha saat resesi dan lebih fokus pada perbaikan kualitas kredit. Sebagai unit bisnis yang profit oriented, perilaku bank yang seperti itu dapat saja dipahami.

Peran bank BUMN dan BPD dalam meminimalkan perilaku prosiklikalitas dari kredit perbankan atau bahkan countercyclical sejalan dengan beberapa studi empiris. Penelitian Micco dan Panizza (2006) yang menautkan pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan perilaku penyaluran kredit oleh bank BUMN less procyclical ketimbang bank swasta dan bank asing.

Sementara penelitian Bertay et al. (2015) membuktikan, pemberian kredit oleh state banks, terutama di negara yang berpendapatan tinggi bersifat countercyclical, yaitu ketika kondisi ekonomi sedang menurun, state banks justru makin meningkatkan pemberian kreditnya, sehingga dapat menstabilkan pemberian kredit pada kondisi krisis.

Program PEN

Menyadari peran bank pemerintah ini, rasanya sudah tepat apabila pemerintah pusat dan daerah menggenjot penyaluran kredit di bank miliknya. Meski bisa saja pemerintah selaku pemilik mengintruksikan itu kepada banknya, karena memang bank BUMN memiliki kapasitas untuk itu, tampaknya pemerintah lebih memilih untuk menempatkan dananya di bank BUMN dan BPD lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), termasuk bank syariah anak perusahaan bank BUMN.

Selanjutnya pemerintah menugaskan bank-bank tersebut (bank mitra) untuk menyalurkan kredit sebanyak 2-3 kali dari jumlah dana yang ditempatkan. Untuk menyempurnakan program tersebut, pemerintah juga meminta asuransi BUMN seperti Jamkrindo dan Askrindo untuk memberikan jaminan atas penyaluran kredit yang bersumber dari dana PEN.

Saat ini, jumlah dana PEN yang telah ditempatkan pemerintah mencapai Rp64,8 triliun dan akan terus bertambah hingga mencapai lokasi anggarannya yang Rp78,78 triliun. Dari dana Rp64,8 triliun itu, alokasi untuk empat Bank BUMN Rp47,5 triliun, yakni Bank Mandiri Rp 15 triliun, BRI Rp 15 triliun, BNI Rp 7,5 triliun dan BTN Rp 10 triliun.

Sementara penempatan dana PEN ke tiga bank syariah milik bank BUMN sebanyak Rp3 triliun : Mandiri Syariah, BRI Syariah, dan BNI Syariah masing-masing Rp1 triliun. Terakhir, penempatan ke sembilan bank milik pemda Rp14,3 triliun: BPD Jawa Barat Rp 2,5 triliun, Bank DKI Rp 2 triliun, BPD Jawa Tengah Rp 2 triliun, BPD Jawa Timur Rp 2 triliun, BPD Sulawesi Utara dan Gorontalo Rp 1 triliun, BPD Bali Rp 1 triliun, BPD Yogyakarta Rp 1 triliun, BPD Sumatra Utara Rp 1 triliun, BPD Sulawesi Selatan Barat Rp 1 triliun, BPD Kalimantan Barat Rp 500 miliar dan BPD Jambi Rp 300 miliar.

Bagi bank mitra, penempatan dana PEN menguntungkan karena biaya bunganya saat ini relatif murah, hanya 2,8 persen. Memang, bagi bank sekelas BUMN jumlah Rp64,8 triliun tidak terlalu signifikan bagi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) bank BUMN yang per Agustus 2020 mencapai Rp2.817, 51 triliun.

Namun, bagi BPD dan bank syariah, dana itu cukup signifikan dan membantu menurunkan biaya dana, terutama BPD, serta akan meningkatkan pertumbuhan dan penyaluran kredit BPD masing-masing 2-5 persen.

Hanya perlu disadari oleh pemangku kebijakan bahwa penyaluran kredit di tengah resesi tentu mendapatkan tantangan yang tak ringan. Tingginya risiko usaha jadi faktor dominan di sisi perbankan, sementara permintaan kredit juga sedang melemah. Oleh karena itu, bank mitra tetap perlu memegang prinsip kehati-hatian agar tak jadi kredit bermasalah dikemudian hari.

Di samping itu, keberhasilan dana PEN yang ditempatkan di perbankan tetap bergantung keberhasilan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Bila tidak, kelompok masyarakat menengah atas yang memiliki daya beli signifikan dan memengaruhi aktivitas ekonomi tetap akan menahan konsumsinya.

*) Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 2 November 2020

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image