Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Sistem Demokrasi, Terhadap Islam Alergi?

Politik | 2022-04-23 21:08:23

Bisa jadi inilah yang disebut trauma masa lalu, sejak serangan G30 S/PKI di tahun 1965, bangsa ini tak pernah lepas dari teror isu PKI akan kembali berkuasa. Bahkan ketika Cina merangsek makin dalam ke Indonesia melalui penguasa asengnya, utangnya untuk Indonesia hingga produk-produknya yang membanjiri pasar Indonesia, hingga tak ada barang yang tak bertuliskan Made in Cina, tetap yang diisukan penguasa adalah "awas PKI!".

Namun ketakutan masyarakat yang terus menerus diopinikan "akan kembalinya" Komunis PKI di Indonesia dipatahkan oleh pendapat Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Beberapa waktu lalu beliau mempermasalahkan larangan bagi keturunan PKI menjadi anggota TNI. Aturan itu dirasa tidak adil.

Jenderal bintang empat itu pun mempertanyakan alasan penggunaan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai dasar hukum larangan tersebut. Sebab di dalamnya tak ada larangan keturunan PKI bergabung dengan TNI dalam peraturan itu. Artinya, kini TNI akan lebih melunak dengan membolehkan calon pendaftar taruna dari keturunan PKI.

Mahfud MD menanggapi dengan mengatakan dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 memang tak ada larangan keturunan PKI bergabung dengan TNI. "Itu kebijakan panglima dan menurut saya memang normatifnya enggak ada kata keturunan itu. Sehingga nanti pada saat seleksi ideologi itu bisa dikatakan kepada setiap calon. Kan gitu. Bukan karena keturunannya tapi karena ideologi dan penerimaannya terhadap dasar ideologi negara. Saya kira normatif saja, sejak zaman dulu kan tidak ada larangan keturunan," ujarnya (CNN Indonesia, 4/4/2022).

Sedangkan Politisi PDIP, Ruhut Sitompul mendukung Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa yang membolehkan keturunan PKI mendaftar menjadi prajurit TNI. Ia menyindir bahwa keturunan PKI lebih baik dibanding orang yang mengaku cucu Nabi tapi memiliki kelakuan melebih PKI (Makassar.terkini.id, 1/4/2022).

Sungguh, boleh tidaknya keturunan PKI masuk TNI dan lembaga negara lainnya menjadi polemik dan hal ini bukan baru muncul tapi sudah difasilitasi oleh UU. Sebenarnya, Ini menandakan bahwa sistem demokrasi sebagaimana dipraktikkan saat ini sangat adaptif terhadap pemikiran, ajaran dan faham apapun.

Pada kenyataannya, kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu pilar dalam demokrasi selain yang tiga, kebebasan beragama, kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan, telah memberikan ruang pada paham-paham yang sejatinya bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Kecuali terhadap pemikiran dan ajaran Islam yang dianggap harus selalu diwaspadai bahkan harus dikriminalisasi hingga bisa menjauhkan peluang Islam untuk dipraktikkan secara utuh di kehidupan Muslim. Dan ini menjawab, mengapa meskipun Indonesia negeri dengan mayoritas penduduknya memeluk Islam, namun justru paling antipati jika syariat sebagai pokok ajaran dalam Islam diterapkan.
Jelas pula menjawab, mengapa meskipun banyak pejabat Muslim, yang ketika diresmikan menjabat disumpah terlebih dahulu di bawah Alquran namun kebijakan yang kemudian dikeluarkannya sangat-sangat jauh dari syariat Islam, bahkan lebih menghamba kepada kapitalisme yang diusung pengusa.

Sebab syariat Islam hanya dijadikan wacana dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan pedoman, pondasi hidup, standar perbuatan dan asas berpikirnya. Jelas saja hidup makin tak karuan. Fokus pemerintah terbelah-belah, ketahanan negara pada akhirnya menjadi pertaruhan, sebab militer kitapun sibuk dengan syarat perekrutan.

Sementara di depan mata , OPM yang jelas-jelas menunjukkan arogansinya karena ada dukungan negara besar di belakangnya menghina kedaulatan negeri ini, dengan membunuh warga sipil dan militer. Begitu mencolok mata tindakan mereka, tetap saja enteng tanggapan penguasa bahkan benar-benar abai.

Hal-hal yang demikian inilah semestinya yang menjadi fokus angkatan bersenjata kita. Menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Kebangkitan komunis kecil sekali peluangnya, sebab kini sudah tidak ada lagi negara pengusung mabda atau ideologi ini. Bahkan Rusia dan Cina kini semakin mengarah pada sistem kapitalisme. Sedangkan Korea Selatan atau Jerman bukanlah negara yang berambisi menguasai dunia dengan ideologi komunis mereka.

Musuh ternyata hari ini adalah kapitalisme yang berasaskan sekuler atau pemisahan agama dari kehidupan. Sistem ini begitu apik bekerja sama dengan sistem politik demokrasi, menguras seluruh kekayaan negeri-negeri Muslim dan senantiasa menciptakan krisis. Masyarakat rusak karena penerimaan sistem ini kepada paham kufur. Kriminalitas meningkat, agama jadi permainan.

Sungguh, tak akan tuntas persoalan ini, semakin lama yang ada justru akan makin terpuruk kedalam kenistaan. Sebab yang menjadi musuh justru Islam, padahal apa yang datang dari Allah SWT tidak mungkin salah kemudian memunculkan kehancuran. Ini hanyalah isu kotor yang disebarkan para pembenci Islam.

Jika Islam masih ada di hati, tidak adakah keinginan untuk merubah keadaan ini? Berkiblat pada sekulerisme justru akan mendapatkan azab Allah. Sedangkan tunduk, patuh dan terikat dengan hukum Islam akan mendapatkan pahala berlimpah dan hidup abadi di surga, insyaallah. Wallahu a'lam bish showab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image