Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Diva Mu'zizat

Belajar Mendengarkan

Eduaksi | Thursday, 27 May 2021, 21:06 WIB
meme

Hari ini, aku memulai langkah baru di sebuah organisasi di kampus. Berbeda dengan organisasi di sekolah, organisasi kampus sangat berbeda di mulai dari inventaris yang segala ada, teman-teman yang berpikiran luas, dan kritik menjadi hal yang sering saya dapatkan. Jika di sekolahku semasa SMA aku dan teman-teman ku selalu bertukar pikiran untuk menghasilkan sebuah solusi, tidak ada yang menggurui, semua sama dan semua belajar. Sangat berbeda dengan bangku perkuliahan.

Banyak sekali teman yang suka berbicara, dan aku tentu sangat senang untuk menyimaknya berbicara. Selain mendapatkan ilmu baru, aku juga menjadi tahu karakter orang tersebut. Namun seiring berjalannya waktu ada hal yang memenuhi pikiranku dan membuatku tidak srek. Orang yang berbicara itu tidak pernah memberikan kesempatan bagi kami untuk berbicara. Dia terus mempresentasikan tentang dirinya dan segala pengalamannya, yang tentu pengalaman setiap orang berbeda. Sekalinya salah satu teman kami untuk berbicara, belum beres sudah di potong. Dan jika aku menyampaikan teoriku sampai beres, dia malah menyalahkan teori dan pendapatku dengan cara yang sangat halus. Dia menolak dengan kata "iya, pendapatmu itu bagus, tetapi...itu keren juga, tetapi ..."dia selalu memakai kata "tetapi" di belakang kalimatnya.

Aku pernah mendengarkan seorang alumni di SMA yang juga mengikuti organisasi di kampus dia berkata, Kata tetapi itu meniadakan kata-kata di depannya. Jadi, tidak perlu repot mengawali kata-kata kalau ada tetapi di tengahnya . Menurutku itu sangat masuk akal, contohkan saja "kamu tampan, tapi bau mulut , pakaianmu keren, tetapi punyaku lebih keren." Tuh , kan, benar kata di depannya hilang jadi tidak perlu lagi di anggap ada.

Di lingkungan organisasi ku saat ini, aku melihat manusia yang senang mendengar hanya demi menunggu kesempatan untuk mematahkan pendapat orang lain-supaya terlihat keren. Ada juga temanku yang senang di perhatikan tanpa tau caranya memperhatikan. Ada juga yang menghakimi, tanpa mau tau sudut pandang orang lain.

Dan semakin dewasa aku juga semakin menyadari betapa banyak manusia senang sekali menggurui dibandingkan dengan belajar. Padahal, aku rasa akan lebih banyak pelajaran yang akan kita dapatkan jika kita mau diam sejenak dan mendengarkan orang lain. Karena dengan mendengarkan kita dapat mengetahui apa yang teman kita rasakan, pengalaman hidupnya yang mungkin bisa kita ambil sebagai pelajaran. Dan menurutku jika kita memilih untuk tidak belajar kita sudah terlalu menjadi tua sekan-akan kita tidak lagi berkembang. Sungguh betapa ruginya jika kita merasa serba tahu, serba bijak, dan tidak mau mendengarkan orang lain. Padahal sejatinya ilmu pengetahuan kita dapatkan di mana saja dan dari apapun. Bahkan dari masalah pun kita bisa ambil pelajaran di dalamnya. Apalagi dengan teman-teman kita yang baru sudah pasti dengan pengalaman yang berbeda kita dapat mempelajarinya.

Aku selalu berusaha untuk menjadi sebaik-baiknya penyimak. Dunia ini terlalu luas untuk kta lihat, begitu juga manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Aku pernah membaca buku novel dan terdapat kata â ketika kita mau menurunkan keangkuhan, alam raya adalah guru dahaga dari pengetahuan . Akan lebih indah bukan jika kita berdiskusi, tanpa berdebat. Karena, bisa saja sebenarnya yang orang lain butuhkan dari kita adalah menjadi kawan bicara bukan lawan bicara.

Terlalu banyak perbedaan di antara kita dunia ini luas dan dihuni oleh banyak orang sejatinya berbeda. Mendengarkan satu sama lain merupakan hal penting selain menambah ilmu pengetahuan kita juga dapat menjadikan kita harmonis dalam lingkungan bermasyarakat. Jadilah pendengar yang baik jika kamu ingin menjadi pembicara yang baik.

*)

Muhammad Diva Muâ zizat

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial, FISIP UMJ

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image