Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edusastra Republika

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN HUMANIORA TOKOH WS RENDRA DALAM AUTOBIOGRAFI

Eduaksi | 2021-05-26 22:33:42

Penulis: Maria Astari Silitonga dan Prof. Dr. Rosmawaty Harahap, M. Pd.

Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang akrab dikenal dengan WS Rendra merupakan salah seorang penyair dan sastrawan Indonesia yang kerap menampilkan karya-karya fenomenal dalam ekspresi kritik terhadap pemerintah. Bakat seni Rendra sudah muncul sejak masih kecil. Sastrawan kelahiran 7 November 1935 ini suka menulis puisi, cerpen, esai, bahkan skenario drama dan mengirimnya ke berbagai media massa. Sewaktu SMP Rendra pernah menampilkan sebuah drama yang ia namakan “Kaki Palsu“. Di bangku SMA beliau juga pernah menampilkan sebuah drama dengan judul “Orang-Orang di Tikungan Jalan” dan menjadi juara satu di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta. Tampaknya sejak awal Rendra memang sudah mulai tertarik membahas persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya. Kemudian, pada 1952 puisi-puisi ciptaan Rendra mulai dimuat di sebuah majalah yang bernama majalah Siasat. Sejak saat itulah puisi-puisi Rendra kerap mewarnai kolom-kolom majalah. Pada tahun 1967, beliau mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah, Rendra melahirkan banyak seniman yang juga membawanya untuk fokus memunculkan tema sosial dalam sajak-sajaknya.

WS Rendra" />
WS Rendra

Pada masa Orde Baru, seniman yang dijuluki “Si Burung Merak” ini paling sering berurusan dengan pemerintah karena kritikannya terhadap pemerintahan. Puisi-puisi karya WS Rendra memang lebih mengarah pada kritikan terhadap realitas kemanusiaan yang kian menipis. Perhatiannya tercurah kepada persoalan orang-orang kecil, mereka yang tertindas, sering dihina, dan miskin. Beliau juga kerap membahas persoalan ketimpangan sosial, kebobrokan moral, dan kekejaman politik yang terjadi. Rendra tidak rela jika kaum durjana bermoral bejat, korupsi, pemeras, licik, dan pembohong menjadi pemimpin di negeri ini. Namun, puisi-puisi yang diungkapkan dengan gaya bahasa satir dan kritikan tegas tersebut bukan semata-mata ingin memprovokasi atau menambah bara api permasalahan, tetapi merupakan bentuk kepedulian beliau terhadap tanah air.

Sebagai penyair, tak jarang WS Rendra juga mengkritik para seniman yang hanya berbicara tentang keindahan, tetapi buta terhadap keadaan sekitar. Ia menyebut mereka dengan julukan “penyair salon” yang hanya bersajak tentang “anggur dan rembulan”. Menurutnya, penyair harus menggugat ketimpangan, ketidakadilan, serta kesewenang-wenangan pemimpin negara melalui karya-karyanya. Rendra sangat mengedepankan nilai-nilai humanis, sosial-politik, perjuangan, keadilan hidup, dan kesetaraan pada bangsa sendiri. Pemikirannya, ketika kesadaran kritis semakin matang, kemudian dipuncakkan oleh kesadaran nurani, penyair bukanlah penyair pengkidung kesyahduan bulan dan anggur, namun bisa turut andil mengubah bangsa kita. Dalam karya-karyanya, WS Rendra tak hanya sekadar memberikan kritik, namun kita dapat menemukan nilai-nilai kehidupan melalui gagasan positif dalam puisi gubahannya. Menurut Fraenkel dalam Wulandari S. 2010, nilai merupakan standar penuntun perilaku seseorang dalam menuntun apa yang indah, berharga efisien, atau tidaknya sesuatu. Dengan kata lain, nilai merupakan standar, patokan, atau pedoman bagi manusia untuk bertindak atau berperilaku dalam suatu interaksi.

Berikut nilai-nilai kehidupan yang dapat kita pelajari dari autobiografi WS Rendra.

Nilai Pendidikan

Pada era kekuasaan Orde Baru, pendidikan digunakan menjadi alat hegemoni kekuasaan oleh para pemimpin Negara. WS Rendra menggambarkan fakta kemunduran sistem penyelenggaraan

pendidikan oleh kekuasaan Orde Baru melalui karyanya yang berjudul “Sajak Anak Muda”. Melalui puisinya tersebut, Rendra menyatakan sikap menolak sistem pendidikan penyeragaman dan kepatuhan/ indoktrinasi. Menurutnya, sistem tersebut telah mengakibatkan pendidikan makin carut-marut dan tidak berkepribadian. Peserta didik menjadi robot yang hanya bisa menghafal namun tidak kritis, tidak percaya diri, dan tidak peka. Peserta didik hanya dibiasakan menghafal materi dan rumus-rumus asing yang tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah kehidupan di lingkungannya. Peserta didik menjadi gagap, penakut, pesimis, tidak peka, tidak acuh terhadap masalah kemanusiaan dan ketidakadilan, serta tidak mampu mengenali kepribadian orang di sekitarnya. Generasi yang dihasilkan oleh sistem pendidikan seperti ini menurut W.S. Rendra tidak akan berkontribusi dalam pembangunan peradaban yang lebih maju.

Selanjutnya, fakta tentang kuatnya hegemoni kekuasaan dengan indoktrinasi militeristik terhadap

pendidikan dan daya kritis mahasiswa juga disampaikan oleh W.S. Rendra melalui “Sajak Pamplet Cinta”. Dalam sajak ini beliau menyatakan keprihatianannya terhadap kenyataan sosial dalam penyelenggaraan pendidikan yang sarat dengan campur tangan militer. Militer yang seharusnya melindungi rakyat, berubah fungsi menjadi alat kekuasaan yang bertindak represif terhadap mahasiswa atas nama menjaga stabilitas nasional. Mahasiswa yang bersikap kritis

terhadap kebijakan pemerintah, justru diintimidasi, diancam, diculik, disiksa, dan dituduh subversi. Tindakan represif kepada mahasiswa dimaksudkan agar mahasiswa takut dan patuh terhadap semua keputusan dan kebijakan dari kekuasaan Orde Baru (Salamah, 2017). Lebih lanjut, W.S. Rendra menyampaikan fakta pendidikan yang hanya berorientasi pada buku teks dalam kutipan puisi “Sajak Seonggok Jagung Di Kamar”. Melalui kutipan puisi ini W.S. Rendra menyampaikan fakta akibat sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada buku teks, hanya memberikan kecerdasan otak tetapi bukan kecerdasan hidup. Pendidikan justru menyebabkan peserta didik berpikiran sempit, miskin ide, dan minim keterampilan. Akibatnya, peserta didik tidak mengetahui cara mengatasi persoalan kehidupan dengan potensi yang dimilikinya. Terakhir, WS Rendra memberikan gagasan yang cukup keras pada sajaknya, untuk memberikan kritik pada orientasi sistem pendidikan di Indonesia selama masa Orde Baru.

“Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati

persoalan yang nyata.”

(Rendra, 1980: Sajak Sebatang Lisong)

Melalui kutipan puisi di atas, W.S. Rendra menyatakan gagasan pendidikan yang berbasis pada riset dan kebudayaan Indonesia. Beliau menunjukkan sikap dan komitmen yang kuat untuk menggagas sistem pendidikan yang bermakna bagi pembangunan peradaban dan memberikan bekal kecakapan hidup bagi peserta didik. Melalui kecakapan hidup, lulusan pendidikan dapat memiliki berbagai keterampilan dan pengetahuan untuk membangun daerahnya, sehingga berkontribusi dalam pembangunan peradaban yang lebih maju.

Nilai Humaniora

WS Rendra mengangkat tema kritik sosial/ protes sosial pada sebagian besar sajak-sajak yang dibuatnya. Pengungkapan tema tidak disampaikan secara gamblang, melainkan menggunakan bahasa metafora dan melalui simbol-simbol bahasa. Nilai-nilai humaniora terdiri atas nilai moralitas, simpati, empati, kasih sayang, kepedulian, kebersamaan, dan toleransi. Puisi-puisi Rendra merupakan salah satu sarana ampuh untuk memahami tentang moralitas agar manusia dapat memanusiakan manusia lain. Rasa simpati Rendra digambarkan melalui antologi puisinya yang berjudul Blues untuk Bonnie mengenai keadilan di negeri yang katanya negara hukum, serta kebohongan pemimpim dalam memimpin rakyat kecil yang masih banyak dijumpai kelaparan, kemiskinan, dan penindasan dimana-mana. Rendra menggambarkan rasa simpatinya lewat puisi yang memuat adegan percintaan, kekonyolan hidup, religiusitas, dunia perselangkangan, pemberontakan sosial, beberapa setting tempat di luar negeri, kegalauan jiwa, dan beragam lontaran-lontaran pedas Rendra terhadap para penguasa Orde Baru di Indonesia waktu lalu. Rasa empati Rendra digambarkan lewat puisi-puisinya, dengan nada protes yang mencoba memberitahu kepada semua orang, bahkan memberi tahu kepada semua orang yang ada di dunia ini bahwa apa yang diinginkan pemerintah melaui program-progam kerja yang mengarah pada masyarakat kecil hanyalah suatu kepalsuan belaka. Program-program yang selama ini digulirkan para politikus hanya untuk menambah kantong mereka sendiri. Para politikus bahkan tidak melihat keadaan rakyatnya secara langsung dan hanya bekerja dibalik bangunan yang mewah. Rasa kasih sayang yang digambarkan dalam antologi puisi "'Blues Untuk Bonnie” sanggup menggugah rasa humanis pembaca. Imajinasi pembaca dapat dibawa ke dalam alam atau suasana batin yang mendasar dan bersifat murnihumanisme, karena mengemban misi kebenaran dan kemanusiaan/ humanisme. Rasa kasih sayang yang murni-humanisme itu sanggup menggedor hati sanubari pembaca tentang kedirian kita sebagai manusia yang sering terbelenggu karena terjepit oleh berbagai keadaan buruk dan tidak manusiawi. Dalam puisi-puisi Rendra terdapat gambaran proses kepedulian membangun humanisme/ kemanusiaan dan kemasyarakatan. Rendra tidak malu memasuki tempat-tempat orang kecil seperti berdiskusi dengan para pelacur, para pedagangkaki lima (PKL). Rendra mengabarkan ketertindasan orang-orang yang tidak mampu bicara sehingga puisi -puisinya bukanlah suatu hiburan semata. Puisi-puisi Rendra menunjukkan sikap kepedulian karena mampu berbicara tentang realita dan ketidakadilan. Rasa toleransi dilukiskan lewat puisi-puisi yang digubah dengan memasukkan unsur kritikan yang ditujukan pada pemerintah supaya pemerintah mengetahui keadaan masyarakat kelas bawah itu seperti apa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image