Cahaya Maaf
Sastra | 2022-04-23 11:13:37Keindahan itu tentang menghafal al-Qur’an, shalat Tahajud berjamaah, menanam sayuran, mengembala kambing yang dilakukan selama menuntut ilmu di Pondok Pesantren. Itulah yang ada di benak Afif disepanjang perjalanan dari Washinton DC menuju Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Hatinya gelisah tak tenang, terkadang melihat birunya laut, terkadang memerhatikan perilaku penumpang pesawat yang kebanyakan bukan orang Indonesia. Hanya satu jawaban yang dapat memadamkan lukanya. Ia harus ke pondok pesantren Al-Huda Jombang, tempatnya menimba menamatkan hafalan Qur’annya. Dan menemui gurunya.
Di atas Samudra Pasifik, tangannya membuka buku kecil berwarna coklat yang di dalamnya terdapat hadist-hadist Rasul. Ia mulai membaca salah satu hadist di buku yang kertasnya sudah sedikit kusam. Ingatannya kembali pada ustadz Ahmad yang sangat ingin ia jumpai dan menjadi alasannya untuk kembali menjejakkan kakinya di Bumi Pertiwi yang terakhir kali disentuhnya 5 tahun.
Perjalanan Washington Dulles International Airport menuju Bandara Soekarno Hatta yang ditempuh 23 jam itu tak membuatnya melupakan shalat. Tiba di Bumi Pertiwi, ingatannya kembali pada peristiwa 15 tahun silam, ketika ia memutuskan memilih Univesity of Washington dan mengabaikan Al-Azhar University. Ia lebih memilih jurusan Economics dibanding jurusan Hadist. Ia menyesali keputusannya itu.
Ia tiba di Bandara Kota Pahlawan, Juanda. Di sana sudah ada yang menjemputnya. Lelah mendera pikiran dan hatinya hingga rasa kantuk tak kuasa ia bendung. Matanya terpejam, sambil membayangkan kenangan-kenangan di Pesantrennya dulu. Pesantren yang dialiri sungai, berpemandangan permai ladang hijau, dan dihiasi pohon-pohon rindang. Ia pun tertidur untuk sejenak di dalam mobil.
Mobil yang membawanya berhenti. Ia membuka matanya lebar-lebar. Matanya tertuju pada jalanan kecil. Jalan menuju pesantren yang dikelilingi pohon-pohon randu dipinggir-pinggirnya. Yang dulu ia tanam dengan santri-santri yang lain. Ia berhenti pada pohon randu dipertengahan jalan. Melihat kapuk isi randu yang berhiaskan rindu, bertebaran air matanya menetes. Di tempat itu pun dipenuhi ilalang, randu besar, dan buah juwet yang menjadi pertanda kala itu. Di mana ia harus bertengkar hebat dengan ustadz Ahmad.
Kakinya kembali melangkah pada tanah yang di atasnya ada rumput hijau indah seperti rumput yang ditemuinya di Washington.
Tiba di halaman pesantren yang tepat di depannya terdapat tulisan pesantren Al-Huda yang ukurannya tak lebih dari 1 x 2 meter, terbuat dari kayu yang sudah rapuh dimakan usia itu membuat hatinya berdetak. Matanya memperhatikan setiap detail tempat mencari ilmunya dulu.
Seketika itu air matanya menetes, melihat gedung yang dulunya terawat baik, kini menjadi gedung tua yang seperti sarang burung walet. Tak terawat, tak begitu dipedulikan. Di belakangnya masih terlihat, sungai yang tak berubah kejernihannya.
Setapak demi setapak langkah kakinya membawa ke sebuah batu besar dekat sungai yang dulu selalu menemaninya murajaah Qur’an. Dulu, ia selalu duduk di atasnya. Hembusan angin yang diringi bergugurnya daun-daun mengingatkan kembali ketika ia belajar ngaji waktu dulu.
Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menepuk pundaknya. Ia pun menoleh ke kanan.
“Fif,’ ujar laki-laki yang menggunakan songkok putih itu.
“Zaki? Kamu Zaki?”
“Iya Fif, aku Zaki?” Mereka pun berpelukan.
“Apa kabar kamu Fif setelah sekian lama kita tak bertemu?”
“Kabarku baik Zak, tapi tak sebaik dulu ketika aku bertemu denganmu semasa menimba ilmu. Jadi kenapa kamu di sini?”
“Aku sama sekali tak menyangka kita akan bertemu kembali di Pesantren ini Fif. Aku sekarang ngajar di sini. Mengamalkan ilmu agamaku. Tapi, bukannya kamu telah sukses di Amerika. Namamu sering masuk di media massa dan TV nasional. Lantas, apa yang membawamu kembali ke sini?”
Dahi Zaki menciut. Ia berpikir, Afif seperti orang-orang asing yang hendak membeli sawah-sawah di dekat pesantren ini. Atau dia kembali hanya untuk menertawakan pesantren yang semakin ringkih ini. Pikirannya yang tadinya benderang. Kini bergejolak dan penuh dengan serabut-serabu awan hitam. Dengan kekayaannya dia bisa melakukan apa saja, pikirnya.
Baru beberapa detik pikirannya sudah melambung kemana-mana. Mereka saling bertatap-tatapan yang sekarang jauh berbeda kala mereka sama-sama mencari ilmu. Yang dulu sama-sama santri memakai sarung. Kini Afif berpenampilan rapi dengan jas hitam dan dasi merah jambunya dan menggunakan sepatu pantopel hitam yang mengkilat. Sedangkan, Zaki tak ada yang berubah sama sekali pada dirinya. Ia masih sama, songkok dan sarung menjadi ciri khasnya, hanya aja, kharismanya kini semakin nampak. Maklum saja, Zaki sudah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Pesantren ini.
“Permintaan maaf dan kebahagiaan.”
“Kebahagiaan apa yang kau maksud Fif, bukankah dengan kesuksesanmu kau sudah amat bahagia?”
“Kau tau Zak, aku hidup sukses di Washington, berangkat pagi dan pulang malam. Waktu untuk mendekatkanku pada Allah SWT kurang dan tersita untuk urusan dunia. Aku sama sekali tak merasakan hal yang menjadi dasar hidup di dunia ini, kebahagiaan sesungguhnya.”
“Lalu untuk permintaan maaf, apa maksudmu?”
Untuk beberapa saat percakapan berhenti sejenak, Afif merenung kembali. Kedua tangannya saling bercengkrama. Lalu ia dekatkan kemulutnya dan mulai mengucapkan kata-kata.
“Aku sudah melakukan kesalahan besar Zak. Kesalahan yang luar biasa besar. Harusnya aku memilih Al-Azhar bukan Washington. Aku harusnya memilih akhirat, bukan dunia. Harusnya kudengarkan kata-kata ustadz Ahmad dulu. Aku malah mengatakan bahwa ia tak suka jika santrinya sukses ke Amerika. Kau tahu Zak, entah darimana datangnya kata-kata yang kuucapkan dulu. Kusalah-salahkan ustadz Ahmad dulu. Cacianku pasti sudah sangat menyakiti beliau,” ujar Afif. Kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutnya itu disertai derain air asin yang menetes dari matanya yang tak kuasa ia bendung.
“Tapi setelah berbelas-belas tahun kenapa baru sekarang Fif, kamu ke sini?”
“Sebenarnya lima tahun yang lalu aku telah ke sini. Tapi aku tak berani masuk pesantren ini. Kala itu, aku belum sesukses sekarang.”
Di gubuk tua dekat sungai, mereka pun saling bercakap-cakap mulai dari percakapan tentang pekerjaan, hal-hal sepele, hingga ke percapakan yang mengupas pesantren yang dulu tempat mereka memperoleh ilmu. Dari Zakilah, Afif mengetahui bahwa pesantren ini, kini dalam tahap kritis. Santri-santri yang dulu mencapai lebih 600 orang, kini tak kurang dari 100 santri. Alasannya, karena ustadz Ahmad menderita struk dikakinya. Hingga sekarang ia harus menggunakan kursi roda kemana-mana. Untuk membiayai itu, ustadz Ahmad harus menjual beberapa sawah yang dimilikinya. Pesantren sudah semakin ringkih di makan usai. Hanya beberapa walisantri yang masih mempercayakan pendidikan anaknya di sini.
Alluhu Akbar Allahu Akbar
Gema Azhan di masjid Pesantren menghentikan percakapan mereka. Dan langsung menuju masjid. Kehadiran Afif di tengah-tengah santri tentu saja membuatnya menjadi pusat perhatian. Sebab, menurut Zaki, Afif adalah salah satu alumni tersukses di pesantren Al-Huda itu. Tak jarang, ketika mengajar, ustadz-ustadz pengajar pondok selalu menceritakan kisah sukses Afif kepada para santri.
“Kamu siap Fif untuk bertemu dengan ustadz Ahmad?”
“Iya siap.”
“Minta maaflah yang tulus ke beliau.”
Mereka tiba di depan pintu rumah ustadz Ahmad yang masih berada di dalam lingkungan Pesantren. Terdengar suara ngaji ustadz Ahmad. Saking merdu dan indahnya suara mengaji itu sampai terdengar dari luar di mana mereka berpijar. Ustadz Hadi, anak sulung ustadz Ahmad membukakan pintu. Air mata Afif tak lagi dapat bisa dibendung, ketika melihat kondisi gurunya, ustadz yang mengajari ilmu dunia dan akhirat itu.
Mereka berbincang-bincang dan menunggu di ruang tamu. Tak ada yang berani menyela, ketika ustadz Ahmad sedang mengaji. Afif diijinkan oleh ustadz Hadi untuk memasuki ruangan tengah, di mana terdapat banyak sekali foto-foto. Air matanya kembali menetes kala ia mendapati fotonya ketika memenangkan olimpiade Matematika dan tahfidz nasional terpampang indah paling depan. Foto ketika ia menghadiri acara di TV pun tak luput dari ruangan itu.
“Bah, ada tamu,” panggil ustadz Hadi.
Dengan kursi roda yang sedikit karatan itu, ia sedikit demi sedikit menuju ruang tamu. Namun, Afif langsung menghampiri dan menyalaminya, lalu mencium kaki gurunya itu.
“Ustadz Ahmad afwan. Afwan ustadz. Saya dulu khilaf. Saya dulu tidak tahu diri. Saya dulu benar-benar orang yang tidak tahu terima kasih ustadz,” ujar Afif dengan wajah memelas, disertai dengan nada sayu, dan kucuran air mata.
“Ustadz sudah memaafkanmu Fif. Sudah berdiri saja, jangan mencium kakiku!” ujar laki-laki paruh baya itu. Sementara Afif tak mau berdiri dan tetap mencium kakinya.
“Ustadz Ahmad benar, kebahagiaan tidak dapat diukur dari materi yang kita punya. Saya menyesal ustadz. Harusnya saya dulu memilih Al-Azhar dan mendalami ilmu agama. Lalu mengamalkannya bukan Washington,” ujar Afif disertai derai air mata yang masih menetes. Kini, ia bertekad meninggalkan dunianya di Washington demi kembali ke Kota Santri untuk mencari akhirat yang begitu ia rindukan.
Wildan Pradistya Putra kelahiran Kediri, Jawa Timur merupakan Guru Bahasa Indonesia di Thursina International Islamic Boarding School (IIBS) Malang. Ia sudah menjadi guru sejak delapan tahun yang lalu. Aktif menulis esai, cerpen, dan puisi. Selain mengajar, ia juga aktif membina siswa dalam menulis tulisan fiksi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.