Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image hanief z.

Menakar Kesiapan Perbankan Syari’ah dalam Menatap Tatanan Era Baru; Perspektif Antropologi

Eduaksi | Tuesday, 25 May 2021, 23:54 WIB

Dalam upaya memberi sumbangsih besar pada sistem dan pola ekonomi nasional sekaligus upaya mempertahankan kelanggengan kehidupan lingkungan pada masanya, Tim Perbankan MUI mendirikan bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) – sesuai akte pendiriannya – berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan konvensional dengan syariah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Kegiatan operasional Bank syariah menggunakan prinsip bagi hasil (Mudharabah). Bank syariah tidak menggunakan bunga sebagai alat untuk memperoleh keuntungan maupun membebankan bunga atas pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan.

Dilihat dari aspek bahasa sendiri Bank berasal dari kata bangue (bahasa Perancis) dan dari kata banco (bahasa Italia) yang berarti peti / lemari atau bangku. Peti/ lemari dan bangku menjelaskan fungsi dasar dari bank komersial, yaitu : pertama, menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping function), kedua, menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (transaction function). Sedangkan pengertian Bank Syariah atau bank Islam dalam bukunya Edy Wibowo adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bank ini tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan dalam Qu’ran dan hadits.

Seiring berjalannya waktu, hadirnya perbankan syariah ternyata belum mampu menyemai sistem baru yang benar-benar clear dari praktik riba, sehingga praktiknya belum sempurna berlandaskan ajaran Islam. Sempat muncul sentiment dimasyarakat bahwa perbankan syariah hanya persoalan label saja. Praktiknya dilandasi sistem perbankan konvensional, namun menggunakan label “syariah” atau “islami”. Inilah kenyataan yang harus diterima masyarakat muslim, akibatnya tingkat kepercayaan terhadap perbankan syariah masih tergolong minim. Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya muslim-pun, angka partisipasi terhadap perbankan syariah baru 5%. Kenyataan ini menjadi problematika serius karena akhir-akhir ini muncul pertanyaan bernada menggugat, “apakah sudah islami sistem dalam perbankan syariah dan segala seluk-beluknya?”

Pada saat yang bersamaan kita juga dihadapkan pada krisis ekonomi sebagai dampak riil dari pandemi. Tahun 2021 digadang-gadang menjadi momen pemulihan ekonomi, namun gelombang Covid-19 yang kini melanda sejumlah negara menyurutkan optimisme itu. Kini label "pemulihan" disematkan untuk tahun 2022, yang diyakini pemerintah mampu membawa laju ekonomi tanah air kembali ke level 5%. Akibatnya, karena manusia memiliki sifat adaptif-kreatif, maka konsep tatanan baru atau new-normal muncul sebagai upaya rensponsif terhadap pandemi. Singkatnya adalah tatanan, kebiasaan, dan perilaku baru yang berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Tatanan baru diharap menjadi titik balik ekonomi nasional agar kembali pulih. Sebagai konsekuensinya, sektor usaha atau bisnis diwajibkan pemerintah untuk membentuk tim kebersihan khusus, membuat panduan untuk bekerja dari rumah, melakukan pembatasan tempat kerja, hingga melakukan pelacakan pegawai terpapar corona (tracking and tracing).

Pada tulisan yang sangat singkat ini, akan dipaparkan prediksi kesiapan perbankan syariah menghadapi tatanan baru yang begitu dinamis dari sudut pandang antropologi. Mengapa? antropologi berusaha mengajak kita mencari sisi yang mengherankan dari manusia, yaitu dari pemikiran / mind, karena dari pemikiran tersebut manusia mampu mengendalikan hidupnya, lebih jauh lagi manusia mampu mencipta, makin menjadi menarik karena wujudnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga bentuk tempat tinggal pada zaman baru amat jauh.

Pertama, bagaimana kesiapan perbankan syariah dalam beradaptsi dengan budaya masyarakat? Yang terlebih dahulu dipahami adalah kesadaran kolektif kita mengenai globalisasi yang begitu kuat, sehingga menyebabkan salah satunya adalah new-morality, moralitas baru yang menjadi dilema menyebabkan kebobrokan moral dan budaya baik bangsa, motivasi melakukan tindak pidana korupsi, hubungan seksual, peremajaan dini, dan yang paling berkaitan dengan ekonomi adalah praktik syariah namun mengarah kepada perilaku sosialisme dan kapitalisme.

Dalam ilmu antropologi dikenal ekologi budaya, menuntut seseorang beradaptasi dengan cepat. Contohnya, Agar tercipta keserasian dengan ekosistem maka organisme harus mempunyai kemampuan potensial untuk beradaptasi atau menjadikan dirinya sebagai bagian dari ekosistem. Ernest Walase dan Hoebel (1952) pernah meneliti kehidupan ornang-orang Comache, Meksiko. Mereka melakukan pengembaraan dari daerah Great Basin (Lembah Besar) menuju Great Plains (Daratan Besar) di bagian barat Amerika Serikat. Mulanya orang-orang Comache di daerah asalnya, hidup dengan pola berburu dan meramu dari tanaman liar dan binatang buruan kecil, dengan menggunakan peralatan, seperti tombak sederhana. Dalam cara hidup demikian, mereka terus melakukan pengembaraan untuk mencari sumber hidup yang lebih baik. Sepanjang pengembaraan, merek dipimpin oleh kepala suku yang biasanya mahir berburu tetapi juga dapat melaksanakan fungsi sebagai dukun dan penasehat spiritual (shaman). Tatkala tiba di Great Plains, mereka melihat bahwa di daerah ini tersedia persediaan kebutuhan hidup yang lebih baik, seperti binatang bison-bison yang berlimpah jumlahnya. Mereka tidak terbiasa membunuh binatang besar karena mereka tidak mengenal senjata yang dapat membunuhnya. Situasi baru ini menimbulkan kebutuhan akan tersedianya sarana yang lebih memadai sehingga mereka dapat bertahan hidup di antara orang-orang berkulit putih. Dengan dipimpin kepala suku mereka. orang-orang Comache suku Indian ini berusaha merampok untuk mendapatkan senjata dari orangorang kulit putih.

Kedua, melalui pendekatan antropologi-psikologi dikenal istilah psikologi empiris, yakni pendekatan sekaligus pengamatan atas hal-hal yang pernah terjadi / pengalaman. Atas dasar itulah psikologi empiris menyatakan bahwa pembawaan tak berpengaruh. Dari hal ini kita belajar, dari krisis ekonomi akibat flu spanyol, perang dunia, penjajahanan kita berusaha mengungkap strategi aplikatif yang dilakukan. Lebih spesifik, bagaimana perbankan syariah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan sistem bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan sistem syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan. Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis.

Dengan dua upaya itulah semoga perbankan syariah bisa menjadi role-model dalam mengarungi tatanan baru pasca pandemi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image