Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahmat Andriansyah

Perbankan syariah: Satu usaha sederhana menghindari riba

Eduaksi | Tuesday, 25 May 2021, 23:01 WIB
Logo Bank Syariah Indonesia (BSI)

Saya telah menjadi nasabah perbankan syariah sejak tahun 2003. Saat itu orang tua saya membuka rekening di bank tersebut untuk kepentingan pembayaran Ongkos Naik Haji ke salah satu penyelenggaraan perjalanan haji. Jadilah saya memiliki rekening tabungan Bank Muamalat Indonesia, bank syariah pertama di Indonesia. Sebelumnya saya menabung di rekening bank konvensional namun menggunakan atas nama orang tua.

Sebenarnya saat itu saya juga sudah memiliki rekening bank konvensional lain. Rekening yang merupakan mandat dari universitas, dimana saldo akan terpotong otomatis setiap semesternya sebagai uang pembayaran biaya pendidikan. Namun rekening ini lebih bersifat pasif. Saldo di rekening hanya akan ditambah saat masa pembayaran tiba.

Pada tahun 2005, saya kembali membuka rekening syariah, seiring dibukanya kantor cabang Bank Syariah Mandiri (BSM) di kampus. Kali ini saya datang sendiri. Prosesnya cukup mudah, hanya mengisi formulir pembukaan rekening, membawa KTP untuk difotokopi, dan (jika tidak salah ingat) saya membawa uang sekitar tiga ratus ribu rupiah sebagai saldo awal rekening tersebut. Pada waktu tersebut saya sudah mulai aktif melakukan pekerjaan sambilan di luar waktu kuliah. Rekening BSM inilah yang kemudian menjadi rekening aktif untuk transaksi sampai saat ini.

Sampai saat ini, tidak ada kendala berarti saat saya menggunakan rekening BSM sebagai akun aktif. Jaringan layanan cabang yang luas di hampir seluruh kota di Indonesia, bebas biaya penarikan uang melalui ATM Bank Mandiri, serta gratis transaksi melalui mesin EDC Bank Mandiri, yang semuanya memudahkan aktivitas saya.

Satu faktor pembeda ketika menggunakan rekening syariah adalah adanya rasa telah menghindari riba. Terlebih rekening syariah yang saya miliki merupakan rekening dari bank syariah yang berdiri sendiri, bukan unit usaha syariah dari bank konvensional.

Tentu saja konsep riba masih menjadi perdebatan. Masih ada sebagian pendapat bahwa setiap bentuk transaksi pinjam-meminjam dengan adanya kegiatan melebihkan pengembalian sudah termasuk riba. Oleh karena itu, terminologi yang saya gunakan di sini adalah menghindari riba.

Berdirinya bank dengan konsep syariah di Indonesia berasal dari proses yang panjang. Mengacu pada tulisan Nofinawati berjudul Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia termuat pada Jurnal Ilmiah Syariah Volume 14 Nomor 2, ide untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sudah muncul sejak tahun 1970-an. Ide ini juga muncul pada seminar nasional Hubungan Indonesia-Timur Tengah tahun 1974, serta Seminar internasional yang dihelat Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun realisasinya terhambat oleh: prinsip bagi hasil yang tidak sejalan dengan Undang-undang No.14 Tahun 1967 tentang Pokok Perbankan yang saat itu berlaku; Konsep syariah yang dianggap berkaitan dengan konsep negara Islam, dan; belum ada investor, mengingat saat itu masih ada pembatasan pembukaan bank asing di Indonesia.

Tahun 1988 ide muncul kembali seiring dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang meliberalisasi industri perbankan. Walaupun tidak ada produk hukum yang bisa dirujuk, hanya saja bank bisa menetapkan bunga pinjaman sebesar 0%.

Pada Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan lokakarya bunga bank dan perbankan, yang hasilnya kembali dikaji pada Musyawarah Nasional (Munas) IV MUI, selang beberapa hari kemudian.

Sebagai bentuk realisasi ide tersebut, pada tanggal 1 November 1991, berdiri BMI sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Bank ini berdiri sebelum Undang-undang No.7 Tahun 1992 yang memungkinan bank yang melakukan kegiatan berdasar prinsip syariah secara penuh.

Kemudian, pembeda antara bunga pinjaman (di bank konvensional) dengan nisbah (di bank syariah) adalah pada akad yang disepakati di awal perjanjian. Logika ini mengacu pada hadist, “Innamal A'malu Binniyat” (sesungguhnya amal tergantung pada niat). Sudah ada akad yang didasari pada hal non-ribawi.

Dasar ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa terdapat kasus angsuran yang lebih besar dibandingkan bank konvensional. Jumlah angsuran ini sebaiknya dibicarakan saat akad, dapatkah dinegosiasikan. Jika tidak, silahkan dipertimbangkan lagi apakah pembiayaan syariah tersebut tetap diambil atau tidak.

Bagaimanapun masyarakat membutuhkan lembaga perbankan. Kebutuhan mulai dari sekadar penyimpanan, sampai dengan transaksi keuangan lain. Untuk itu tentu saja dibutuhkan biaya untuk memelihara sistem tersebut. Karenanya, bank pun perlu mengambil biaya jasa dari transaksi dengan meminimalisir unsur riba.

Tahun 2021 ini, dunia perbankan syariah di Indonesia ditandai dengan merger tiga bank syariah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT Bank Syariah Mandiri (BSM), PT Bank BNI Syariah (BNIS), dan PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS) bergabung menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Jika diakumulasikan terdapat aset sebesar Rp.245,7 Triliun dengan modal ini Rp.24,7 Triliun. Bank baru ini sudah beroperasi sejak 1 Februari 2021 (https://www.cermati.com/artikel/sejarah-dan-perkembangan-bank-syariah-di-indonesia).

Mudah-mudahan dengan merger ini membawa kemajuan pada layanan yang diberikan. Salah satunya dengan pembaharuan teknologi inovatif. Bagaimanapun persaingan bank saat ini tidak hanya dengan bank lain, namun juga lembaga rintisan dibidang keuangan (fintech). Menjadi pekerjaan rumah bagi BSI untuk memberikan layanan kepada nasabahnya untuk dapat memenuhi kebutuhan keuangannya seperti hal-nya fintech lakukan. Dengan demikian, akan memudahkan nasabah seperti saya untuk melakukan pengembangan transaksi semisal pinjaman produktif.

#retizencompetition

Subtema: Pengalaman Kamu dengan Bank Syariah

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image