Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image hanief z.

Bank Syariah di Kalangan Millenial dalam Mengahadapi tantangan Krisis

Eduaksi | Tuesday, 25 May 2021, 20:38 WIB

Hasil konsensus Penduduk 2020 menunjukkan bahwa penduduk usia muda (0-14 tahun) turun dari 44,12% pada tahun 1971 menjadi 23,33% tahun 2020. Sementara, hingga 2020 didominasi generasi Z dan generasi milenial. Generasi Z adalah penduduk yang lahir pada kurun tahun 1997-2012, dan generasi milenial yang lahir periode 1981-1996. Dari hasil survei sepanjang Februari-September 2020 itu didapati jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total populasi berjumlah 270,2 juta jiwa. Sementara, generasi milenial mencapai 69,90 juta jiwa atau 25,87 persen.

Dari gambaran tersebut kita memahami, bahwa pada rentang usia – milineal – tersebut, seseorang biasanya punya kelebihan dari segi stamina, fisik, tingkat kecerdasan dan kreativitas. Untuk itulah, sebaiknya pemerintah, perusahaan, serta generasi di atas kelompok ini harus bisa mengelola dan memberdayakan mereka dengan sebaik-baiknya. Kehadiran milenial diberbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya diharapkan mampu menjawab tantangan sekaligus amanah konstitusi, yang mana menyatakan ”Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa .”. Berbicara kesejahteraan agaknya tidak perlu jauh-jauh dari ekonomi, terlebih dalam masa krisis Pandemi Covid-19. Tagline “Kesehatan Pulih, Ekonomi Bangkit” menjadi seringkali kita dengar baik itu via televisi, media sosial, radio, surat kabar, bahkan diangkat dalam obrolan-obrolan ringan tetangga hingga webinar daring. Dari tagline itu pula kita sadari bahwa ekonomi dan segala seluk-beluknya menjadi tujuan prioritas nasional saat ini, disisi lain kita juga harus merekonsiliasi hubungan kita dengan dunia perekonomian secepat mungkin.

Dalam mewujudkan arah kebijakan suatu perekonomian yang sehat maka diperlukan kehadiran perbankan yang kuat dan efisien, sejauh ini telah didukung oleh enam pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yaitu, struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang efektif, system pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang kuat, infrastruktur pendukung yang mencukupi, dan perlindungan konsumen.

Memang kalau kita menilik fungsi bank saat ini, selain memegang tujuan sebagai tempat penyimpanan deposito, tabungan, giro dan sebagai tempat meminjam dana, saat ini bank menjadi sebuah lembaga yang mengurus hampir seluruh perihal sosialisme dalam bidang ekonomi. Lebih jauh lagi, Menurut UU RI no. 10 Tahun 1998 tanggal 10 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Maka dari itu, seandainya taraf hidup rakyat banyak belum terpenuhi maka boleh jadi bank gagal dalam menjalakankan tugasnya.

Harus kita sadari, upaya pendirian bank muamalat yang menjadi bagian dari bank syariah pada 1998 justru dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan konvensional dengan syariah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Kegiatan operasional Bank syariah menggunakan prinsip bagi hasil (Mudharabah). Bank syariah tidak menggunakan bunga sebagai alat untuk memperoleh keuntungan maupun membebankan bunga atas pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan.

Lalu kita patut bertanya, sebagaimana besar pengaruh bank syariah dalam upaya mengembalikan suasana ekonomi yang kompetibel? Bagaimana peran dari generasi millennial – yang menjadi agen terkini dan harapan masa depan – terhadap perbankan syariah dan segala seluk-beluknya?

Menjawab pertanyaan pertama, perbankan syariah sebetulnya mampu dalam memanifestiskan segala kemampuannya untuk mencerahkan perekonomian syariah di kancah regional maupun nasional, kehadiran perbankan syariah yang hampir merata diseluruh wilayah Indonesia dilengkapi dengan tatanan digitalisasi yang memenuhi kebutuhan sementara, ini menjadi modal pertama kita. Namun, perlu ada rekoneksi kita dengan daerah Terdepan, Terpencil dan tertinggal (3T) – merupakan daerah yang paling terluar pada wilayah Indonesia. Daerah 3T tersebut menorehkan angka yang cukup besar yakni ada 122 wilayah, hal tersebutlah yang menjadi problema yang sangat aktual.

Kedua, kalau kita melihat secara produktifitas, peran dari generasi millennial – yang menjadi agen terkini dan harapan masa depan – terhadap perbankan syariah dan segala seluk-beluknya masih menjadi dilema. Mengapa? Harus kita akui ketertarikan masyarakat Indonesia secara umum terhadap bank syariah masih belum memuaskan, bahkan ketika kita hendak membangun perekonomian skala makro dengan penyertaan modal yang besar maka nilai sosialisme menjadi kabur, seolah-olah menjadi nilai kapitalisme. Lalu muncul pertanyaan yang lebih kritis, kemanakah kiblat perbankan syariah? Yang pada saat bersamaan juga muncul anggapan apakah kata “syariah” hanya menjadi embel-embel belaka, agar masyarakat tertarik?

Gambaran krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998, dimana telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan – dalam artian tidak jatuh terlalu dalam pada lubang kebankrutan dan masih berdiri dengan normal disertai perkembangan berkesinambungan sampai detik ini. Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Berbagai lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan, serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah. Tentunya, racikan strategi anti-negative spread tersebut harus kita analisis secara mendalam agar mampu memberi nilai positif terhadap krisis yang juga kita hadapi sekarang. Mulai dari analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, and threats), yang kemudian dikembangkan dengan menentukan strategi secara komprehensif dan spesifik diikuti dengan bagaimana pihak tersebut merealisasikan strategi tersebut

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image