Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Ramadhan Saat Tepat Mengokohkan Sikap Ber-tasawuf

Agama | 2022-04-22 03:28:11

Banyak perbedaan pandangan, pro dan kontra terhadap eksistensi tasawuf. Pro dan kontra merupakan hal yang biasa terjadi dalam suatu khazanah keilmuan. Namun, satu hal yang jelas keberadaan tasawuf telah diakui sebagai bagian dari khazanah keilmuan dalam dunia Islam. Malahan, selain dengan dunia filsafat, pada umumnya orang-orang Barat mengenal ajaran Islam dari sudut pandang tasawuf.

Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al Addawiyah, Ibnu Rusyd, Suhrawardi, Omar Khayyam, Imam al Ghazali, dan lain-lain merupakan sebagian tokoh-tokoh sufi yang dikenal di kalangan intelektual dan akademisi Barat. Di Indonesia sendiri, kedatangan Islam yang pertama diperkenalkan melalui ajaran tasawuf. Terlepas dari perbedaan pandangan, dakwah yang dilakukan para wali di Nusantara adalah dakwah Islamiyah melalui ajaran tasawuf.

Tasawuf merupakan pencarian kebenaran melalui perenungan falsafi terhadap dalil-dalil keagamaan. Tulisan sederhana ini tidak akan membahas tasawuf dari sudut pandang pemikiran filsafat , namun akan membahasnya secara singkat, dari sudut pandang akhlak pergaulan sehari-hari. Sebab bagaimanapun, muara akhir dari tasawuf adalah taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, baik melalui ketaatan ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah, maupun ibadah melalui hubungan sosial, bermasyarakat.

Dalam tulisan sederhana ini, secara praktis tasawuf itu merupakan sebuah akronim dari TAuhid, SAbar, Wara’, Ukhuwah, dan Faqih. Akhlak-akhlak yang terdapat dalam akronim tasawuf tersebut merupakan akhlak yang harus tertanam di hati dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Tauhid atau keyakinan kepada Allah merupakan landasan utama yang dapat menjadikan kehidupan kita ajeg. Tauhid sendiri merupakan keyakinan akan eksistensi Allah yang dibarengi dengan ketundukan terhadap segala titah dan perintah-Nya. Ketundukan yang lahir dari ketauhidan yang lurus akan melahirkan rasa takut jika melanggar titah dan perintah-Nya. Semaksimal mungkin orang bertauhid akan menanamkan rasa takut akan pembangkangan terhadap Allah, seraya mewujudkan akhlak yang baik terhadap sesama makhluk Allah.

Ketundukan dan rasa takut kepada-Nya yang lebih populer dengan sebutan taqwa merupakan wujud dari ketauhidan yang kokoh. Tanpa ketauhidan yang kokoh tak mungkin seseorang memiliki ketundukan melaksanakan segala titah dan perintah-Nya. Sementara akhlak yang baik, tawaduk, tidak merasa paling benar, menghormati dan menyayangi sesama makhluk Allah merupakan wujud nyata dari ketauhidan dan ketaqwaaan.

Wujud nyata lainnya dari ketauhidan adalah tumbuhnya sikap sabar dalam menjalani kehidupan. Sabar ketika melaksanakan segala titah dan perintah-Nya; sabar menjauhi segala hal yang dilarang-Nya; dan sabar ketika menghadapi penderitaan atau musibah. Kesabaran yang sesuai dengan perintah-Nya merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Sementara itu, sifat wara’ merupakan upaya seseorang untuk menjaga kesucian jiwanya. Sifat wara’ mengajarkan kepada setiap orang untuk memperhatikan segala ucapan, tindakan, dan perbuatannya agar tidak mengotori kesucian jiwa. Halal dan haram senantiasa menjadi perhatian orang yang berupaya menerapkan sikap wara’.

Hukum halal dan haram dari makanan yang dikonsumsi menjadi perhatian pertama orang yang bersikap wara’. Betapa tidak, derajat hukum makanan yang dikonsumsi selain akan mempengaruhi karakter seseorang, juga akan mempengaruhi tingkat kemabruran ibadah yang ia lakukan. Sesuap makanan haram yang masuk ke dalam perut kita, empat puluh hari ibadah kita tak akan diterima-Nya. Do’a kita tak akan di dengar apalagi dikabulkan-Nya.

Imam Nawawi dalam “Syarah Muslim, Jilid XI : 28” mengatakan, wara’ merupakan sikap kehati-hatian dalam ucapan, perbuatan, dan dalam mengkonsumsi makanan. Orang-orang yang bersikaf wara’ adalah mereka yang selalu hati-hati, meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat dan belum jelas hukumnya. Dengan demikian sikap wara’ adalah menjauhi perkara syubhat demi keselamatan agama dan kehormatan dirinya.

Selain bersikap wara’, keselamatan, dan kehormatan agama diwujudkan pula dengan menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan menjauhi sikap permusuhan. Wujud nyata dari menjaga ukhuwah adalah selalu mempererat tali silaturahmi, melakukan musyawarah dan mencari solusi jika terjadi suatu perselisihan. Sementara menjauhi sikap pemarah dan saling memaafkan merupakan puncak utama dari ukhuwah. Allah dan Rasul-Nya sangat mencintai orang-orang yang senantiasa memperat ukuwah.

Semua sikap yang telah dipaparkan tersebut, tauhid, sabar, wara’, dan ukhuwah akan terwujud manakala seseorang memiliki sikap faqih, paham terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu, rangkaian terpenting dari akronim tasawuf adalah faqih, paham terhadap seluruh ajaran agama.

Sementara itu, tak ada jalan lain untuk memperoleh sikap faqih selain dengan mencari ilmu. Karenanya, mencari ilmu, mencintai ilmu, mendalami, dan memahaminya merupakan ciri dari orang yang bertasawuf.

Seperti diyakini oleh semua, tak ada kata berhenti untuk mencari ilmu. Selama nafas masih mengalir di rongga-rongga jiwa, selama itu pula kewajiban mencari ilmu melekat pada jiwa kita. Ilmu pertama yang wajib dipelajari adalah mengenal Tuhan-Nya alias tauhid.

Rasulullah saw menjamin kehidupan yang mulia bagi orang-orang yang berjuang dalam memahami ajaran agamanya. Rasulullah saw sendiri pernah mendoakan Abbas, seorang sahabat, agar diberi kecerdasan dalam memahami agama.

Orang yang faqih terhadap agama merupakan orang yang melaksanakan ajaran “tasawuf”. Ia memiliki keyakinan yang kuat (bertauhid) dan berakhlak mulia. Tawaduk, sabar, wara’, dan selalu menjaga ukhuwah. Dengan demikian, akar dari tasawuf adalah bertauhid dan berakhlak mulia. Jika kita senantiasa menjaga keimanan dan mengimplementasikannya dengan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari, pada hakikatnya kita tengah bertasawuf.

Pada bulan Ramadhan ini semua orang sedang mempraktikan nilai-nilai tasawuf. Secara praktis semua orang yang berpuasa begitu yakin akan pengawasan Allah.

Bukti sederhananya, orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasanya tidak berani makan/minum, padahal makanan/minumannya tersedia, dan tak ada orang yang melihatnya. Ia sangat yakin meskipun tak ada orang yang melihatnya, Allah mengawasinya. Perilaku merasa diawasi Allah akan sangat berharga dan mulia jika terus dilakukan sepanjang kehidupan.

Demikian pula sikap sabar dan wara’ juga dilaksanakan orang-orang yang tengah berpuasa. Tingkat paling minimal sabar menanti datangnya waktu buka seraya sabar menahan lapar, dahaga, letih, lesu, dan sebagainya. Kemudian ketika datang waktu berbuka pun, ia begitu wara’. Tingkat paling minimal dari wara’ adalah tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman.

Ukhuwah atau persaudaraan sangat terasa selama bulan Ramadhan ini. Buka bersama, berbagi makanan menjadi perekat silaturahmi dan persaudaraan. Demikian pula dengan faqih atau memahami keilmuan agama juga dilakukan oleh orang-orang yang berpuasa.

Tingkat paling minimal dari faqih adalah mereka memahami syarat, rukun, dan segala hal yang berkenaan dengan pelaksanaan ibadah puasa. Lebih dari itu, orang yang mengikuti kajian keagamaan sebagai jalan untuk menjadi faqih begitu semarak pada setiap bulan Ramadhan tiba.

Alangkah indahnya jika ber-tasawuf menjadi kebiasaan dan sikap hidup dalam melakukan aktivitas keseharian kita, bukan hanya pada bulan Ramadhan saja.

Iluustrasi : tarian sufi (sumber gambar : https://republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image