Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Perjalanan Spiritual R. A. Kartini

Agama | Thursday, 21 Apr 2022, 08:46 WIB

Seperti halnya dengan remaja-remaja lainnya, pada masa remajanya R. A. Kartini pernah mengalami kebimbangan. Ia berusaha mencari jati dirinya menuju kedewasaan. Dalam kebimbangannya tersebut ia pernah meninggalkan kegiatan ibadah.

Beberapa tahun lamanya ia merenung, mencari, dan selalu mencari Tuhan yang diyakininya. Ia ingin lebih mengenal dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun karena tradisi, ia dipingit, tak boleh keluar rumah. Karenanya, ia tak sempat memperluas wawasan ilmu keagamaan, apalagi mendapatkan pembimbing spiritual yang dapat memperkenalkan dirinya kepada Tuhan.

Akhirnya, ia seakan-akan merasa putus asa untuk mendekatkan diri dan menemukan Tuhan, sehingga ia pernah berpikir negatif. “Untuk apa aku shalat setiap hari? Untuk apa pula aku melakukan ibadah puasa dan ibadah lainnya? Apakah guna semua itu?

Ia pun memutuskan mogok ibadah. Ia meninggalkan semua ibadah yang biasa ia lakukan. Kegiatan kesehariannya hanya makan, tidur, dan bermain. Namun hatinya tetap bergejolak, “Aku harus menemukan ketenteraman, ketenangan beribadah, dan mampu mendekatkan diri kepada Tuhan.”

Gejolak jiwanya sedikit mereda ketika bertemu dengan salah seorang pamannya yang juga menjabat sebagai Bupati Demak. Ia menjanjikan untuk mempertemukan dirinya dengan Kiyai Saleh Darat, seorang ulama berpengaruh pada waktu itu.

Singkat cerita, ia bertemu dengan Kiyai Saleh Darat. Dalam beberapa kali pertemuan ia berguru kepada Sang Kyai dan selalu berdialog tentang perjalanan spiritualnya.

Pertemuan-pertemuan dengan Sang Kiyai begitu berkesan dalam perjalanan hidupnya. Setelah memahami ilmu agama dari Kiyai Saleh Darat, ia begitu menyesal atas keputusannya dahulu berani meninggalkan semua kewajiban ibadah.

Sejak pertemuan dengan Sang Kiyai, R. A. Kartini merasakan kehidupannya semakin bermakna, ia begitu gembira mengahadapi kehidupannya setelah memahami makna hidup berasaskan ajaran agama Islam yang diberikan guru spiritualnya. Kemudian kegembiraannya ia tuangkan dalam sebuah surat atau catatan hariannya.

“Kiyai, hari ini aku menyadari betapa diriku ini sangat kecil dan tidak ada artinya dibandingkan dengan kebesaran dan keagungan Allah. Hari ini aku menyadari, diriku sangat berdosa karena sempat mogok ibadah, mogok dalam pengabdian secara langsung kepada Allah Yang Maha Mulia.”

Salah satu ajaran dari Kiyai Saleh Darat yang membuat R.A. Kartini sadar adalah keterkesanannya terhadap bacaan dan paparan isi surat Al-Fatihah yang disampaikan Sang Kiyai. Kesannya terhadap kedalaman makna dari surat Al-Fatihah tersebut ia tuangkan dalam surat atau catatan hariannya.

“Uraian tentang kandungan Al-Fatihah yang Kyai berikan telah menggugah kesadaran saya untuk segera bertaubat kepada-Nya. Saya sangat terkesan dengan uraian yang Kiyai berikan. Alangkah bermanfaatnya apabila ada kitab-kitab berbahasa Jawa yang menguraikan tentang Islam ataupun Al Qur’an yang dapat saya miliki, untuk saya baca dan saya amalkan, juga untuk saya sampaikan kepada teman-teman dekat saya.”

Pertemuan yang berkesan dengan Kiyai Saleh Darat tak lupa ia tulis dalam sebuah surat yang ia sampaikan kepada sahabatnya, E. C. Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902.

“Wahai sahabatku! Sanggupkah aku kiranya dengan sebenar-sebenarnya mengatakan betapa sentosanya dan senangnya rasa diriku karena sekarang ini telah aku dapatkan Dia (Allah). Karena kini aku tahu, bahwa senantiasa ada Tuhan yang dekat dengan aku dan menjaga aku. Tuhan itu akan menjadi penolongku, pembujuk hati, tempat aku berlindung dalam kehidupan pada saat yang akan datang.”

“Wahai sahabatku! Sangat benar gembira hati orang tua kami, karena aku yang tersesat (pernah mogok ibadah) telah kembali ke jalan yang benar. Sangatlah mengharukan hatiku, seorang tua di sini, karena girangnya, menyerahkan kepadaku semua kitab-kitabnya yang bernaskah Jawa. Maka aku pelajari, membaca, dan menulisnya. “

Itulah sekelimut perjalanan spiritual R.A. Kartini dalam menjalani kehidupannya. Ia berkeyakinan sekali bahwa ketenangan hanya akan dapat diraih melalui ketaatan dan kedekatan diri kepada Sang Pencipta.

Gerakan emansipasi yang ia cetuskan merupakan buah dari kepeduliannya kepada khalayak, khususnya kaum wanita sekaligus sebagai tanggung jawab sosial seorang hamba Allah. Dengan gerakannya ia berharap kaum wanita dapat hidup sejajar dan menjadi mitra setia kaum pria. Dia menginginkan kaum wanita mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria tanpa meninggalkan kodratnya sebagai ibu dari anak-anaknya dan sebagai pendamping suami.

Betapa luhur cita-cita R. A. Kartini dalam mencetuskan gerakan emansipasinya. Karenanya sangatlah elok jika kaum wanita pada saat ini tidak memutarbalikkan makna dan hakikat emansipasi. Apabila seorang wanita melanggar kodrat kewanitaan, meninggalkan peran keibuan, bermoral jelek, meskipun nampak maju bukanlah emansipasi, tapi merupakan gerakan mundur yang dapat menghancurkan kehidupan generasi mendatang dan bangsanya sendiri.

Kiranya sepakat apabila dikatakan, wanita merupakan sumber pertama kemajuan suatu bangsa, sebab para pelopor pembangunan, pemimpin, teknorat, dan lainnya terlahir dari rahim-rahim kaum wanita. Karenanya menjaga keimanan dan moral baik bagi kaum wanita mutlak diperlukan. Apabila moral kaum wanita jelek, hancurlah kehidupan suatu bangsa.

“Kepribadian generasi mendatang sangat bergantung kepada kepribadian kaum ibu/wanita. Karena itu, apabila Anda menginginkan mereka menjadi pemimpin-pemimpin yang baik, bermoral/berakhlak baik, maka ajarkanlah kepada mereka apa kepemimpinan itu, dan apa moral atau akhlak mulia itu.” Demikian nasihat J. J. Rousseau seorang filosof Perancis.

Ilustrasi : gerakan emansipasi RA. Kartini (sumber gambar : https://republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image