Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Bagaimana Kabar Ibadah Ramadhan Kita Sampai Hari Ini?

Agama | 2022-04-20 21:27:40

Sungguh suatu keberuntungan jika rasa bahagia nan penuh rasa cinta senantiasa menyelimuti kehidupan spiritual dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Betapa tidak, apapun yang dilakukan dengan penuh rasa bahagia dan rasa cinta pada umumnya tak akan putus dalam melakukannya. Pun demikian dengan ibadah-ibadah selama bulan Ramadhan, tak akan putus dalam melakukannya jika dilakukan dengan penuh rasa bahagia dan rasa cinta.

Salah satu jaminan yang akan diberikan kepada orang yang berpuasa sendiri adalah rasa bahagia. Bahagia ketika berbuka dan merayakan Idul Fitri dan rasa bahagia kelak ketika bertemu dengan Allah, Tuhan Penguasa alam raya. Oleh karena itu, rasa bahagia ketika berbuka puasa dan ketika Idul Fitri yang tinggal beberapa pekan lagi harus benar-benar dijadikan jembatan untuk meraih kebahagiaan yang lebih besar, yakni bertemu dengan Allah kelak di akhirat.

Kebahagiaan ketika berbuka harus dijadikan energi untuk bermunajat pada malam-malam Ramadhan, terutama pada malam-malam menjelang akhir Ramadhan. Rasa takut dan harapan (raja’ dan khauf) harus benar-benar tertanam kuat di hati.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam salah satu karyanya, Madarij al Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Juz I : 507, mengatakan khauf atau rasa takut merupakan salah satu persinggahan dari orang-orang yang meyakini akan penyerahan diri dan permohonan pertolongan hanya kepada Allah.

Orang-orang yang benar-benar merasakan akan kelemahan dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya merasa takut jika ibadahnya ditolak Allah swt yang berarti ia akan menjadi orang yang rugi dan celaka. Karenanya setelah melaksanakan suatu amal atau ibadah ia senantiasa mengevaluasi pelaksanaannya seraya tidak henti-hentinya bermunajat, memohon ampun atas segala kekurangan dan kekhilafannya dalam melaksanakan ibadah dan menjalani segala kehidupan.

Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Tuhannya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Tuhannya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (Q. S. Al-Mu’minun : 57 – 61).

Ketika turun ayat tersebut, Siti Aisyah, r. a. bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah saw, tentang firman Allah, ‘dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut’, apakah dia itu orang yang berzina, minum khamar, dan mencuri?”

Rasulullah saw menjawab, “Bukan wahai putri Ash-Shiddiq, tetapi dia itu orang yang berpuasa, shalat, dan mengeluarkan sedekah, sedang dia takut amalnya tidak diterima.”

Sekarang, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri. Setelah memasuki pekan ketiga bulan Ramadhan ini, apakah di hati kita ada perasaan takut segala amal kita ditolak Allah swt?

Pertanyaan ini sangat penting selalu dimunculkan, sebab seperti yang dikatakan Abu Hafs yang dikutip Ibnu Qayyim Jauziyah, khauf merupakan pelita di dalam hati yang dengannya seseorang bisa melihat kebaikan dan keburukan. Dengan perasaan khauf yang tertanam di hati, kita akan dapat melakukan evaluasi terhadap kekurangan dan kelebihan dari ibadah Ramadhan yang tengah kita lakukan pada saat ini.

Jika terdapat kekurangan, maka dengan segera kita akan memperbaikinya dan menembusnya dengan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya agar dapat menjadi penutup atas kekurangan ibadah Ramadhan seraya tidak henti-hentinya memohon ampun kepada Allah. Setelah melakukan evaluasi atas segala amalnya, orang yang memiliki rasa khauf menyerahkan segala amal ibadahnya kepada Allah dengan penuh harap (raja’) Ia akan menerimanya.

Dengan kata lain ketika di hati seseorang sudah tertanam rasa khauf, ia harus berupaya menghidupkan sikap raja’, harapan besar akan karunia dan kebesaran Allah akan menerima segala amal dan memberikan ampunan segala dosa-dosanya.

Imam Ghazali mengumpamakan raja’ dan khauf itu layaknya sayap. Seekor burung akan dapat terbang tinggi manakala kedua sayapnya dapat bergerak sempurna. Pun demikian dengan diri kita akan tetap beribadah dengan penuh harap ibadah kita diterima-Nya seraya selalu berhati-hati agar diri kita tidak tergelincir kepada perbuatan dosa dan nista.

Ahmad bin ‘Ashim seperti dikutip Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Madarij al Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Juz II : 37 mengatakan seseorang yang memiliki sikap raja’ adalah seseorang yang jika dikelilingi dengan kebaikan, maka dia mendapat ilham untuk bersyukur seraya mengharap kesempurnaan nikmat di dunia dan akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di akhirat.

Segala ibadah Ramadhan kita akan melejit, melambung tinggi menembus langit dan diterima-Nya, menjadi hamba mulia yang dirindukan surga manakala ibadah-ibadah Ramadhan kita disertai sikap kehati-hatian dalam melaksanakannya. Bentuk kehati-hatian tersebut tertanam dalam sikap raja’ dan khauf.

Sekarang tinggal kembali bertanya kepada diri kita masing-masing, bagaimana kabar ibadah Ramadhan kita sampai hari ini? Apakah masih tetap semangat melaksanakan berbagai ibadah dan mengazamnya untuk tetap istikamah melaksanakannya sampai akhir Ramadhan?

Apakah ikhlas, lillahi ta’ala, ikhtisaban (bersikap hati-hati) tetap menghiasi segala aktivitas ibadah Ramadhan kita? Apakah raja’ dan khauf selalu tertanam di hati kita? Apakah kita sudah mengazam diri untuk tetap istikamah melaksanakan ibadah di luar Ramadhan seperti ibadah yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan?

ilustrasi : Apa Kabar Ramadhanu hari ini? (sumber gambar : www.wiz.or.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image