Awal Mula Bank Syariah dan Keunggulannya Dibanding dengan Bank Konvensional
Eduaksi | 2021-05-23 21:18:34Bank merupakan perantara keuangan yang menyalurkan dana dari kelebihan dana (surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) pada waktu tertentu (Lukman Dendawijaya, 2009: 14). Bank memiliki fungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi, perbankan mendasarkan kegiatan usahanya pada kepercayaan masyarakat. Sehingga bank juga dikenal sebagai agent of trust. Selain berfungsi sebagai agent of trust, bank juga berfungsi untuk pembangunan ekonomi nasional (agent of development) guna meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional (Malayu SP. Hasibuan, 2005: 4)
Bank berperan penting dalam mendorong perekonomian nasional karena bank merupakan penghimpun dana dari surplus unit dan credit channel ke deficit unit, tempat menabung yang efektif dan produktif bagi masyarakat, serta memperlancar arus pembayaran bagi semua sektor perekonomian ( Malayu SP. Hasibuan, 2005: 3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, mengartikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau bentuk lain dalam rangka meningkatkan standar. dari kehidupan masyarakat luas. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terdapat dua jenis bank yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, kedua jenis bank tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bank konvensional dan bank dengan prinsip syariah.
Apa Itu Bank Syariah ?
Bank pada dasarnya adalah badan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain menjalankan fungsi intermediasi keuangan. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum Islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti asas keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), manfaat (maslahah), universalisme (alamyah). ), dan tidak mengandung benda gharar, maysir, riba, zalim, dan haram.
Selain itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanatkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan fungsi seperti lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang bersumber dari zakat, infaq, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan lalu menyalurkannya kepada pengelola wakaf(nazhir) sesuai keinginan. pemberi wakaf (wakif). Perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya berlandaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Perbankan syariah bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan fungsi dari perbankan syariah adalah:
1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat.
2. Bank syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial berupa lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang bersumber dari zakat, infaq, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan disalurkan kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang bersumber dari wakaf tunai dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan keinginan pemberi wakif (wakif).
4. Penyelenggaraan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sejarah Berdirinya Bank Syariah
Dalam sejarah ekonomi muslim, kegiatan muamalah seperti menerima aset, meminjamkan uang untuk konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan transfer uang yang dilakukan sesuai akad syariah sudah lazim dilakukan oleh umat Islam sejak saat itu. Nabi Rasulullah Saw yang dikenal dengan panggilan Al-amin ini dipercaya oleh masyarakat Mekkah untuk menerima simpanan hartanya, sehingga di saat-saat terakhir sebelum pindah ke Madinah, beliau meminta kepada Ali ibn abi Thalib ra untuk mengembalikan semua simpanan tersebut kepada pemiliknya.
Seorang sahabat Nabi Muhammad, Zubair bin al-Awwam r.a., memilih untuk tidak menerima penyetoran hartanya. Dia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair memiliki implikasi yang berbeda, yaitu yang pertama, dengan mengambil uang sebagai pinjaman, ia berhak menggunakannya; kedua, karena itu adalah pinjaman, dia wajib mengembalikannya secara penuh. Dalam riwayat lain disebutkan, Ibn Abbas r.a. juga telah mengirim barang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair r.a. melakukan transfer uang dari Mekah ke adik laki-lakinya Mis'ab bin Zubair r.a. tinggal di Irak.
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan peningkatan perdagangan antara Suriah dan Yaman yang setidaknya terjadi dua kali dalam setahun. Padahal, pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar keuntungan bagi mereka yang berhak. Dengan cek ini, mereka mengambil gabah dari Baitul Mall yang saat itu diimpor dari Mesir. Selain itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara'ah, musaqah, sudah dikenal sejak awal di kalangan Anda muhajirin dan ansar. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa ada individu-individu yang menjalankan fungsi perbankan pada zaman Nabi, padahal individu-individu tersebut tidak melakukan semua fungsi perbankan. Namun fungsi utama perbankan modern yaitu menerima setoran uang (deposito), menyalurkan dana, dan mentransfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam.
Dalam keuangan Islam, bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram. Di sejumlah Negara Islam dan berpenduduk banyak orang Muslim mulai muncul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga Bank Alternatif non-ribawi. Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari berita bunga, Permintaan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul disebabkan oleh anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana kemudian Bank Islam tersebut akan membiayai operasi perbankan.
Konsep mengenai Bank Islam pertama kali muncul pada tahun 1940-an, dengan gagasan perbankan yang berdasar bagi hasil. Hal ini mempengaruhi pemikiran dari beberapa penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Penjelasan yang lebih rinci mengenai gagasan perbankan Islam yang ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A'la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).
Usaha modern pertama untuk mendirikan Bank tanpa bunga dimulai di Pakistan yang dikelola oleh dana haji pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses. Perkembangan berikutnya usaha pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini sebenarnya diterima dengan baik di kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Namun sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr mulai mengalami kemunduran, sehingga operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada tahun 1967. Ini menyebabkan prinsip nir-bunga pada Mit Ghamr mulai ditinggalkan, sehingga bank ini kembali menggunakan berdasarkan bunga. Pada tahun 1971, konsep nir-bunga kembali dibangkitkan pada masa rezim Sadat pendirian Bank Sosial Naseer. Bank ini Bertujuan untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang telah dipraktikan oleh Mit Ghamr.
Kesadaran Mit Ghamr ini menjadi inspirasi bagi umat Muslim di seluruh penjuru dunia, sehingga timbul kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Ketika OKI akhirnya terbentuk, terwujud Internasional mulai dilangsungkan, di mana salah satu agenda ekonominya adalah pendirian Bank Islam. Bank Syariah pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House.
Pada dunia internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan dan proposal pendirian Federasi Bank Islam. Inti yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan atau kerugian.Akhirnya terbentuklah Islamic Development Bank (IDB) pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negera Islam. Bank ini menyediakan bantuan keuangan untuk pembangunan negara-negara anggotanya, membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negaranya masing-masing, dan memainkan peran penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam. Sekarang, bank yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi itu telah memiliki lebih dari 56 negara anggota.
Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1970-an, usaha untuk mendirikan bank Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa Negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan bahkan mengubah seluruh sistem keuangannya menjadi sistem nir-bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut dapat digunakan tanpa menggunakan bunga. Di Negara Islam lainnya, bank nir-bunga berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Inisiatif pendirian Bank Islam di Indonesia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Untuk uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).
Pada tahun 1990 Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 - 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih dalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 - 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi kelompok meja kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1991 ditandatangani Akta Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia sebagai Bank Umum Syariah pertama di Indonesia
KEUNGGULAN BANK SYARIAH DIBANDINGKAN DENGAN BANK KONVENSIONAL
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki kesamaan, terutama dari sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, persyaratan umum untuk memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan lain sebagainya. Selain itu, antara bank syariah dan bank konvensional terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitu mengenai kontrak yang ditetapkan, aspek legalitas, struktur organisasi, bidang usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Berikut keunggulan bank syariah dibandingkan bank konvensional.
1. Akad dan aspek legalitas
Di dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan ketentuan syariat Islam. Di dalam perbankan syariah, apabila pihak pihak yang melakukan akad atau transaksi melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani, maka konsekwensi hukum yang akan diterima tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga kelak di hari kiamat. Semua hal dan pihak-pihak, baik barang, jasa maupun pelaku-pelaku yang terlibat dalam setiap akad transaksi perbankan syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan syariah sebagai berikut:
a. Rukun : penjual, pembeli, barang,
harga dan akad (ijab-qabul / transaksi).
1. Barang dan jasa harus halal. Karena itu segala bentuk akad / transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal / haram demi syariah.
2. Harga barang dan jasa harus jelas.
3. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
4. Barang yang menjadi obyek transaksi harus sepenuhnya dalam kepemilikan yang sah. Tidak diperbolehkan oleh syariah melakukan akad / transaksi jual beli atas barang atau sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai, seperti yang terjadi pada transaksi short sale di pasar modal.
2. Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terjadi perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di Pengadilan Negeri, tetapi di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Lembaga inilah yang mengatur penyelesaian sengketa yang terjadi antara perbankan syariah dan nasabahnya. Lembaga ini didirikan atas kerjasama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Karena itu, BASYARNAS dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut perbankan syariah mengacu kepada hukum materi syariah. Penyelesaian sengeketa melalui BASYARNAS sesuai dengan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi: Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesain sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Maka jika dalam akad dituangkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal ini dimungkinkan terjadi sesuai dengan kesepakatan para pihak yaitu bank dan nasabah. Selain itu dengan amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, maka penyelesaian sengketa dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Hal ini dimungkinkan karena undang-undang tersebut secara eksplisit dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat menyelesaiakan sengketa ekonomi Islam. Hal ini juga dituangkan dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi: Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
3. Bisnis dan Usaha yang Dibiayai Perbankan Syariah.
Di dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari ketentuan dan petunjuk syariah. Karena itu, bank syariah tidak diperkenankan membiayai bisnis dan usaha yang diharamkan oleh syariah. Lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah tidak akan memperhatikan permohonan pembiayaan dari suatu usaha atau bisnis sebelum mendapatkan kejelasan dan kepastian akan beberapa hal pokok sebagai berikut:
a. Apakah obyek pembiayaan itu halal atau haram?
b. Apakah proyek yang akan dibiayai itu menimbulkan madharat atau tidak?
c. Apakah proyek yang akan didanai berkaitan dengan perbuatan zina / asusila lainnya?
d. Apakah proyek itu berkaitan dengan perjudian?
e. Apakah proyek yang akan dibiyai itu berkaitan dengan pembuatan senjata ilegal?
f. Apakah proyek itu dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung?
Mengenai jenis dan kegiatan usaha bank syariah diatur dalam Pasal 18-23 UU No. 21 Tahun 2008. sedangkan bagi Bank Syariah diatur dalam Pasal 24-26.12 Selain itu pula bank syariah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bank konvensional diantaranya adalah :
1. Kegiatan usaha dilakukan secara profesional, namun tetap realistis, seraya mengakui keterbatasan manusia yang tidak selalu dapat memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkannya.
2. Bagi hasil dalam perbankan syariah dilakukan dengan cara menetapkan porsi pembagian keuntungan ( nisbah ), baik antara bank dengan nasabah pemilik dana (liabiliteis) maupun dengan nasabah pengguna dana ( assets ). Sedangkan angka nominal yang akan diperoleh oleh para nasabah akan sangat tergantung pada realisasi hasil usaha.
3. Perbedaan dengan bank konvensional, pendekatan usaha yang dilakukan perbankan syariah adalah pada sisi assets terlebih dahulu, baru kemudian sisi liabilities. Artinya, tingkat produktivitas assets akan sangat menentukan return bagi para pemilik dana yang pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan sisi liabilities
4. Bank syariah tidak akan pernah mengalami negative spread. Kerugian hanya akan terjadi bila pendapatan dari transaksi bagi hasil dan jual beli maupun pendapatan lainnya operasional bank.
5. Pelaksanaan aktivitas usaha dilakukan atas dasar prinsip kesetaraan ( equality ). Keadilan ( fairness ) dan keterbukaan ( transparancy ).
Tantangan Perbankan Syariah
Selain memanfaatkan peluang, perbankan syari'ah juga dituntut untuk menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks. Seperti yang telah dijelaskan, usia perbankan syariah di Indonesia masih tergolong muda, layaknya "sosok" remaja yang masih mencari "jati diri". Tantangan yang dihadapinya ringan dan mudah. Kalamuddinsjah, Regional Manager BMI Jawa Tengah / DIY, membangun perbankan syari'ah ibarat membangun jaringan transportasi kereta api yang harus dimulai dari membangun rel. Mengapa? Karena menciptakan landasan ekonomi syariah, maka harus dimulai dari awal. Berbeda dengan bank nasional yang sudah berdiri dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Pendapat Kalamuddinsyah ini menggambarkan betapa tantangan menghubungkan bank syari'ah di Indonesia masih cukup berat. Secara umum, tantangan berat yang harus diselesaikan adalah bagaimana membuat industri keuangan syari'ah menjadi mapan (mapan), yaitu perbankan syari'ah yang profesional, sehat dan terpercaya. Dalam hal klasifikasi terdapat berbagai tantangan yang datang dari dalam (internal), dan ada pula yang datang dari luar (eksternal). Tantangan dari dalam merupakan sejumlah tantangan yang harus diselesaikan, yang bersumber dari 'diri' bank syari'ah itu sendiri. Mengambil tantangan meliputi;
a. Pengembangan kelembagaan. Hingga saat ini, lembaga perbankan syari'ah belum berdiri. Beberapa hal masih perlu dibenahi terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang, regulasi, dan struktur organisasi. Hubungan bank konvensional dengan unit syari'ahnya (subsistem) perlu diperjelas agar sinergis. Sistem dual banking yang selama ini tidak perlu disempurnakan, apalagi belum adanya Wakil Gubernur khusus syari'at. Bahkan ke depan pun perlu dipikirkan keberadaan BCS (Bank Sentral Syari'ah).
b. Sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami 'sosok' bank syariah. Meminjam istilah Adiwarman A. Karim, setidaknya ada 3 kategori nasabah, yaitu loyalis syariah, loyalis konvensional, dan pasar terapung. Potensi pasar mencapai Rp. 720 triliun. Masalah dengan floating market adalah ada yang sudah tahu tapi tidak mengerti, sudah mengerti tapi tidak percaya, sudah percaya tapi tidak termasuk. Proses sosialisasi perlu terus dilakukan. Promosi yang gencar dan menarik dengan memanfaatkan berbagai media baik media antrian (event, seminar, brosur, spanduk, spanduk) maupun media (televisi, radio, surat kabar, majalah). Promosi lewat televisi sepertinya jarang terjadi. Padahal, promosi melalui media cukup efektif dalam menciptakan citra cabang dan kepedulian cabang. Yang perlu digarisbawahi adalah sosialisasi dan promosi harus mampu membentuk citra dan mampu merubah pilihan pasar dan mengapung pada bank syariah.
c. Perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas. Namun, jumlah perkantoran Islam yang sampai ke pelosok masih kurang. Rizqullah, pemuda BNI Syariah muda mengakui, "Salah satu yang terus tumbuh kembangnya bank syariah adalah jaringan yang masih terbatas." Tantangan ini dapat menyelesaikan masalah dengan mendukung pemerintah yang mengatur bank syariah, mengoptimalkan outlet di masing-masing bank konvensional dan bank asing atau dengan memungkinkan konversi bank-bank besar milik negara menjadi bank syariah.
d. Peningkatan Sumber Daya Manusia. Harus akurat, SDM perbankan syariah yang profesional, terpercaya, dan berkualitas belum tersedia secara jujur. Perbankan perbankan dengan kualifikasi syariah yang andal masih jarang. Tampaknya sebagian besar sumber daya manusia, terutama golongan menengah ke atas, masih merupakan hasil pendidikan ekonomi konvensional. Namun yang dibutuhkan tidak hanya menguasai ilmu ekonomi / perbankan modern, tetapi juga memahami fiqh (syariah) dan mampu berinovasi dalam menyelesaikan permasalahan 'pernak pernik' bank syariah yang sistemnya masih baru. Pelatihan, workshop, seminar, studi banding, serta berbagai pembinaan lainnya untuk meningkatkan kompetensi SDM harus mendapat perhatian serius.
e. Peningkatan modal. Tantangan ini masih dirasakan oleh bank syariah di Indonesia. Ungkapan Ma'ruf Amin perlu direnungkan, "jika bank syariah bersedia melakukan sindikasi untuk mendanai proyek besar, mereka tetap tidak bisa." Pernyataan seperti ini ironis, tetapi itu adalah kebenaran. Para pemegang saham (stakeholders) bank syariah perlu menambah modalnya, agar kapasitas pengambilan risiko meningkat. Besar kecilnya kapasitas pembiayaan suatu bank syariah sangat bergantung pada kemampuan permodalannya. Tampaknya perlu juga untuk mendesak pemerintah menempatkan dana besar di bank syariah.
f. Peningkatan layanan. Perbankan syariah perlu terus meningkatkan kualitas layanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat dan murah tentunya menjadi trade mark bagi bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah dan cepat dalam pengerjaan, serta murah (administrasi). Begitu pula upaya untuk memudahkan akses informasi dan penarikan uang atau tabungan harus ditingkatkan. Penggunaan internet online dan tersedianya fasilitas ATM di berbagai lokasi yang strategis dan mudah dijangkau merupakan suatu keharusan. Ketujuh, bimbingan dan pengawasan. Dalam operasionalnya di lapangan, bank syariah harus terus dibina dan diawasi secara terus menerus. Dibina agar lebih berkembang, diawasi agar tidak timbul penyimpangan. Pengawasan terhadap bank syariah di daerah, termasuk bank konvensional yang membuka syariah perlu dilakukan secara ketat dan hati-hati. Tidak terkesan formalitas identitas syariah, praktik dan sistemnya tidak berbeda dengan konvensional.
Sejumlah tantangan di atas, merupakan tantangan dari dalam (internal). Bisnis perbankan adalah industri yang menjual kepercayaan. Berbagai tantangan internal tersebut perlu segera diselesaikan agar masyarakat semakin percaya diri dan mau berpartisipasi secara aktif. Selanjutnya ada tantangan yang datang dari luar dan tidak kalah pentingnya untuk diselesaikan.
Pertama, kerangka hukum yang tidak memadai. Tantangan ini mendesak, karena akan menghambat upaya pengembangan bank syariah. RUU perbankan syariah yang saat ini sedang disusun perlu diperjuangkan agar diundangkan. Aturan mengenai pasar modal syariah, surat utang negara syariah, obligasi syariah dan aturan lainnya sangat penting. Intinya, semua aturan tersebut akan memberikan ruang yang lebih luas bagi pelaku usaha syariah.
Kedua, dukungan pemerintah belum sepenuhnya. Pemerintah mendukung keberadaan perbankan syariah, namun pada tataran kebijakan (political will) dan keseriusan (good will) belum optimal. Para menteri, gubernur, bupati belum memberikan tempat yang layak. Di BI (Bank Indonesia) tidak ada Deputi Gubernur khusus syariah. Selayaknya, Dewan Syariah Nasional dan para bankir syariah melakukan lobi dan pendekatan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar dukungan konkrit dan nyata bagi perbankan syariah dapat terwujud.
Ketiga, sinisme komunitas. Tak pelak, masih ada orang yang memandang mereka dengan senyum sinis. Ada mispersepsi, seolah bank syariah itu eksklusif (untuk muslim), sistem bagi hasil kurang menguntungkan dan prosesnya sulit. Bank syariah perlu mempromosikan diri secara simpatik dan menarik. Berusaha merubah pola pikir dan yang terpenting mampu menghadirkan bank syariah yang profesional, berkualitas dan menguntungkan.
Tantangan dari luar bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi. Berbagai tantangan diharapkan dapat memotivasi setiap insan perbankan syariah untuk terus belajar dan berkarya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.