Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardhienus

Merger dan Penguatan Bank Syariah

Bisnis | 2021-05-23 20:42:12

Tahun lalu perbankan syariah Indonesia menancapkan tonggak baru dengan menyatunya tiga bank syariah milik bank BUMN, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), BRISyariah (BRIS) dan BNI Syariah (BNIS). Merger ketiga bank syariah itu menjadi angin segar bagi industri perbankan Indonesia. Memiliki bank syariah dalam skala besar sudah menjadi impian lama. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, sudah sepantasnya Indonesia memiliki bank syariah yang berada di jajaran papan atas industri perbankan.

Aksi korporasi bersejarah itu langsung mengubah lanskap perbankan syariah secara signifikan. Merger membuat mereka kian dominan di industri perbankan syariah. Cakupan bisnis pembiayaan pun semakin lengkap, mulai dari UMKM, konsumer, komersial hingga korporasi. Sementara jaringan kantor meluas terbentang di sepanjang wilayah Indonesia.

Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) posisi Desember 2020, dari total aset Bank Umum Syariah (BUS) yang mencapai Rp397,07 triliun, baik BSM, BRIS maupun BNIS menempati tiga besar secara berurutan dari empat belas BUS. Adapun porsi asetnya terhadap total aset BUS masing-masing bank yakni 31,96 persen (Rp126,91 triliun), 14,54 persen (Rp57,72 triliun) dan 13,84 persen (Rp54,95 triliun). Saat digabung, porsi ketiga bank syariah itu terakselerasi signifikan menjadi 60,34 persen (Rp239,58 triliun). Dengan total aset sebesar itu, praktis pembiayaan dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga mendominasi masing-masing 63,29 persen (Rp156,02 triliun) dan 65,02 persen (Rp209,91 triliun).

Apabila disandingkan dengan total aset bank umum secara keseluruhan yang tercatat Rp9.177,91 triliun, maka bank syariah hasil merger tersebut akan menempati urutan tujuh terbesar, menggeser Bank OCBC NISP. Porsinya mencapai 2,61 persen dari total aset bank umum. Tanpa merger, capaian paling tinggi diraih BSM yang menduduki peringkat lima belas, sementara BRIS dan BNIS masing-masing berada pada urutan dua puluh delapan dan tiga puluh. Jadi, peristiwa merger bank syariah itu telah membuat lompatan signifikan dalam industri perbankan kita.

Lalu, bagaimana dengan kinerjanya di tengah Pandemi Covid-19? Merujuk data publikasi Maret 2021, Kinerja Bank Syariah Indonesia (BSI), nama bank hasil merger, sungguh mengesankan. Ini ditandai dari laju penyaluran pembiayaan, penghimpunan DPK dan perolehan laba yang masih tumbuh positif. Hingga triwulan pertama tahun ini, pertumbuhan pembiayaan mencapai 14,74 persen secara tahunan (yoy) dari Rp138,64 triliun menjadi Rp159,07 triliun. Capaian ini jauh lebih baik ketimbang industri perbankan yang pembiayaannya anjlok minus 3,77 persen (yoy). Tingginya penyaluran pembiayaan BSI itu diiringi kualitas yang terjaga, terlihat dari rasio pembiayaan bermasalah yang mencapai 3,09 persen, menurun dari triwulan I tahun lalu yang mencapai 3,35 persen.

Derasnya kucuran pembiayaan BSI tersebut tidak lepas dari keberhasilannya memperoleh DPK yang hingga triwulan pertama 2021 telah tumbuh 14,30 persen (yoy) dari Rp179,79 triliun menjadi Rp205,51 triliun. Pertumbuhan tersebut didominasi oleh peningkatan dana murah (Giro dan Tabungan) sebesar 14,73 persen, sehingga menaikkan rasio CASA, yaitu porsi dana murah terhadap DPK dari 57,54 persen pada triwulan I-2020 menjadi 57,76 persen pada triwulan I-2021. Tingginya rasio CASA tersebut membuat biaya dana menjadi lebih rendah. Penyaluran pembiayaan yang tinggi diiringi dengan kualitas yang terjaga serta biaya dana yang rendah mendorong laba BSI tumbuh tinggi, yakni 12,85 persen (yoy) dari Rp657,20 miliar menjadi Rp741,64 miliar. Capaian ini jauh lebih baik ketimbang laba industri perbankan yang tumbuh minus 22,88 persen.

Kemampuan BSI menjaga kinerja yang tetap solid di tengah pandemi menunjukkan perbankan syariah sejatinya memiliki daya tahan. Namun, kinerja positif BSI belum mampu mengangkat kinerja industri perbankan secara keseluruhan. Ini tidak lepas dari porsi BSI dan BUS lainnya terhadap industri perbankan yang masih rendah, belum beranjak dari kisaran 5 hingga 7 persen. Oleh karena itu, aksi merger itu perlu diikuti dengan beberapa langkah strategis lainnya, seperti menguatkan permodalan dan meningkatkan kualitas SDM, literasi keuangan syariah serta daya saing.

Selain itu, untuk mengoptimalkan dan mengekstensifkan kontribusi perbankan syariah kita harus membangun ekosistem syariah. Bagi perbankan syariah, ekosistem besarnya adalah ekonomi syariah. Maka itu, kegiatan ekonomi syariah seperti industri produk dan jasa halal mesti lebih marak. Ekosistem syariah akan menjembatani kegiatan ekonomi syariah dengan perbankan syariah. Bila ekosistem tersebut terbentuk, maka perbankan syariah akan tumbuh dan berkembang. Karena pada dasarnya perbankan itu follows the trade, yaitu dimana ada kegiatan ekonomi, maka perbankan pasti akan ada di situ. Analoginya, untuk mendatangkan suara burung di rumah, kita tidak perlu memelihara burung dalam sangkar. Kita cukup membangun taman bunga di perkarangan rumah, maka burung akan datang dengan sendirinya.

Ekosistem syariah itu sendiri punya potensi kuat untuk terbentuk. Ada banyak faktor pendukungnya seperti besarnya jumlah penduduk muslim yang didominasi generasi milenial dan Gen Z, ribuan pesantren berdiri di sepanjang wilayah Indonesia dan berbagai organisasi masyarakat Islam yang aktif berkegiatan sosial. Selaku konsumen, pasti mereka membutuhkan produk dan jasa halal. Ini akan mendorong berdirinya industri produk halal (produsen). Apalagi Indonesia sangat berambisi menjadi pelaku industri produk halal global.

Pada sisi lain, potensi dana sosial masyarakat muslim ternyata sangat besar. Bahkan, menurut Baznas dana zakat dan wakaf diperkirakan bisa mencapai lebih dari Rp500 triliun. Semua itu membutuhkan layanan dan dukungan perbankan syariah. Jadi, dapat dikatakan bahwa ekosistem syariah merupakan prasyarat untuk menguatkan perbankan syariah. Dan untuk mewujudkan itu diperlukan sinergi antarotoritas, termasuk peran serta pelaku usaha dan masyarakat ekonomi syariah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image