ANALISIS SWOT (STRENGTH, WEAKNESS, OPPORTUNITIES, AND THREATS) PEBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Eduaksi | 2021-05-23 19:16:34A. Pendahuluan
Menurut Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pasal 1 ayat 2, bank adalah sebuah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lain dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak dan ayat 3 menjelaskan tentang definisi bank umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan-kegiatan konvensional maupun secara syariah dalam kegiatannya memberikan jasa keuangan dalam lalu lintas pembayaran (UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan). Dalam undang-undang tersebut juga, dijelaskan bahwa Indonesia menganut dual banking system dalam sistem perbankan nasional dengan diakui kehadiran bank dengan prinsip syariah untuk beroperasi (Andini, 2020).
Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan UU Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953 (Latumaerissa, 2013). Bank Indonesia didirikan oleh Presiden Soekarno dalam rangka menasionalisasi perbankan di Indonesia yang dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasihat (Faqir, 2020). Pada tahun 1992 berdirilah Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia yang merupakan hasil kerja tim perbankan MUI yang ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 (Sudarsono, 2008). Beberapa alasan mendasar pendirian bank syariah adalah karena keinginan umat Islam dalam menjalankan kegiatan perekonomian berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah karena sistem yang digunakan oleh bank konvensional adalah sistem bunga, dimana hukumnya adalah riba.
Undang-undang yang mengatur kehadiran bank syariah di Indonesia adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara eksplisit undang-undang ini belum mengatur mengenai bank syariah, tetapi yang tertera adalah diperkenankannya kehadiran bank dengan prinsip bagi hasil, serta diikuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil (Permana, 2017). Perkembangan bank syariah pasca UU Nomor 7 Tahun 1992 sangat lambat, terlihat dari jumlah bank syariah yang tidak bertambah.
Kepercayaan kepada bank syariah terjadi pasca krisis ekonomi tahun 1997, dimana bank konvensional mengalami negative spread, sedangkan bank syariah berhasil melewatinya sehingga bank syariah harus diakomodasi lebih baik lagi dengan lahirnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang secara tegas menyatakan Indonesia menganut dual banking system dalam sistem perbankan nasional dengan diakui kehadiran bank dengan prinsip syariah untuk beroperasi, sebagai Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah dari bank konvensional (Arif, 2012). Pasca lahirnya undang-undang tersebut, perkembangan bank syariah semakin pesat, yang ditandai dengan lahirnya Unit Usaha Syariah dan Bank Umum Syariah.
B. Pembahasan
1. Pengertian Bank Syariah
Secara umum, bank syariah merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan utamanya (Sudarsono, 2003). Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan ini adalah upaya kaum muslim untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya dengan berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah dengan orientasi pencapaian sejahtera.
2. Karakteristik, Fungsi, dan Tujuan Bank Syariah
Menurut Soemitra (2009), karakteristik bank syariah diantaranya:
a. Penghapusan riba,
b. Pelayanan kepada kepentingan publik dan merealisasikan sasaran sosio-ekonomi islam,
c. Bank syariah bersifat universal yang merupakan gabungan dari bank komersial dan bank investasi,
d. Bank syariah akan melakukan evaluasi yang lebih berhati-hati terhadap permohonan pembiayaan yang berorientasi pada penyertaan modal karena bank komersial Syariah menerapkan profit-loss sharing dalam konsinyasi, ventura, bisnis atau industri,
e. Bagi hasil cenderung Mempererat hubungan antara bank syariah dan pengusaha, dan
f. Kerangka yang dibangun dalam membantu bank mengatasi likuiditasnya dengan memanfaatkan instrumen pasar uang antar bank syariah dan instrumen bank sentral berbasis syariah.
Fungsi dan peran bank syariah tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) sebagai berikut:
a. Manajer investasi, syariah dapat mengelola investasi dana nasabah,
b. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya dan dana nasabah yang dipercayakan kepadanya,
c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya, dan
d. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank Islam juga wajib memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasi, dan mentr zakat serta dana dana sosial lainnya (Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, 2001)
Sumitro (1996) menjelaskan tentang beberapa tujuan bank syariah, diantaranya:
a. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islami, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha atau perdagangan lain yang mengandung unsur gharar. Jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
b. Menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
c. Meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang usaha yang lebih besar, terutama kelompok miskin yang diarahkan pada kegiatan usaha yang produktif menuju terciptanya kemandirian usaha.
d. Menanggulangi masalah kemiskinan yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam mengentaskan kemiskinan berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap, seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja, dan program pengembangan usaha bersama.
e. Menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
f. Menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank konvensional yang masih menerapkan sistem bunga.
3. Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah
Ada beberapa ciri-ciri bank syariah yang membedakan dengan bank konvensional yaitu sebagai berikut
a. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya tidak kaku dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
b. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindari karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir, sehingga yang dipergunakan adalah nisbah bagi hasil.
c. Dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan pasti yang ditetapkan di muka. Hal ini karena pada hakekatnya, yang mengetahui untung-ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanya Allah SWT. Tingkat keuntungan yang dipergunakan adalah tingkat keuntungan aktual. Apabila tingkat keuntungan aktual lebih kecil daripada tingkat keuntungan proyeksi, yang dipergunakan adalah tingkat keuntungan aktual tersebut.
d. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpanan dianggap sebagai titipan (al-wadiah), sedangkan bagi bank syariah dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sehingga pada Penyimpanan tidak dijanjikan imbalan yang pasti.
e. Terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi Bank Syariah yang bertugas mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu, manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam. Unsur Dewan Pengawas Syariah inilah yang membedakan struktur organisasi antara bank syariah dan bank konvensional.
f. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus, yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana tersebut diambil pemiliknya (Sumitro, 1996).
Perbedaan bank syariah dan bank konvensional menurut Antonio (2001) adalah sebagai berikut:
Bank Syariah
Bank Konvensional
Melakukan investasi yang halal
Investasi yang halal dan haram
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, dan sewa
Memakai perangkat bunga
Profit dan falah oriented
Profit oriented
Hubungan dengan nasabah wdalam bentuk hubungan kemitraan
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-kreditur
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DPS
Tidak terdapat dewan sejenis
Perbedaan Bank Syarian dan Bank Konvensional
No
Perbedaan
Bank Syariah
Bank Konvensional
1
Falsafah
Tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan ketidakjelasan
Berdasarkan bunga
2
Operasional
Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu
Penyaluran pada usaha yang halal dan menguntungkan
Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo
Penyaluran pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama
3
Aspek Sosial
Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang terutang dalam visi dan misi
Tidak diketahui secara tegas
4
Organisasi
Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah
Sumber: Arif, 2012
4. Analisis SWOT
a. Strength (kekuatan)
Perbankan syariah memiliki karakteristik yang menjadi dibandingkan dengan perbankan konvensional yang menjadi kekuatan untuk mampu menggerakkan perbankan syariah di Indonesia dalam rangka memperluas market share perbankan syariah.
1) Kesesuaian dalam prinsip syariah
Kelahiran bank syariah memberikan pemecahan masalah terhadap masyarakat, khususnya masyarakat yang religius untuk menghindari riba berupa bunga bank. Selain itu dengan kehadiran bank syariah telah menghilangkan kekhawatiran masyarakat dengan kondisi kedaruratan dimana umat muslim menabung di bank konvensional. Namun terdapat suatu kondisi yang menyebabkan masyarakat muslim terpaksa memiliki rekening ganda di bank konvensional dan bank syariah, hal tersebut masih diperkenankan.
Produk perbankan syariah, baik produk penghimpunan dana maupun produk penyaluran dana, dan akad muamalah sesuai dengan prinsip syariah. Akad pada bank syariah adalah terintegrasi, baik antara pihak bank dan nasabah penabung maupun dengan nasabah peminjam, sehingga apabila bagi hasil yang diberikan dari nasabah peminjam kecil, bagi hasil yang diberikan pun akan kecil pula.
Pola pengawasan pada bank syariah terdiri dari dua pengawasan, yaitu pengawasan kinerja pengelolaan bank syariah, seperti aspek manajemen, dilakukan oleh dewan komisaris dan pengawasan pelaksanaan aturan syariat, dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Selain itu, produk yang akan dikeluarkan pun harus memperoleh fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sehingga seluruh akad produk dan penyaluran di bank syariah sesuai dengan prinsip syariat.
2) Sistem adil dan menentramkan
Sistem perbankan syariah lebih adil, baik dari segi penabung maupun peminjam, karena nasabah tidak perlu takut seperti pada krisis 1997, dimana banyak pengusaha yang bangkrut karena tidak bisa membayar bunga kredit bank yang tidak perduli keadaan perusahaan peminjam. Bank syariah menjalankan aktivitasnya berdasarkan pada sektor real dan bagi hasil, dimana apabila bagi hasil yang diberikan oleh peminjam besar, besar pula bagi hasil yang diberikan sehingga sistem ini lebih adil dan menentramkan penabung. Sistem bagi hasil juga memperhatikan kondisi perusahaan, dimana jika pendapatan usaha meningkat, hasil yang diberikanpun meningkat, begitupun sebaliknya. Pola kemitraan yang tercipta memberikan keadilan dan ketentraman, berbeda dengan bank konvensional dimana pola kemitraan yang tercipta berupa debitur-kreditur.
3) Tahan krisis
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 merupakan inflasi besar-besaran yang mengakibatkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi kepercayaan investor terhadap rupiah berkurang. Peristiwa ini merupakan konsekuensi dari lepasnya keterkaitan antara sektor moneter dan real, dimana uang tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi menjadi komoditas.
Hal ini berbeda pada sistem syariah, dimana uang hanya sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditas sehingga uang tidak akan menghasilkan nilai tambah kecuali dikonversi menjadi barang atau jasa. Karena itulah, perbankan syariah mampu melewati krisis ekonomi yang terjadi karena transaksi keunagan dilatarbelakangi oleh sektor real, bukan moneter. Keadaan ini melahirkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakui sistem perbankan syariah di Indonesia.
4) Mempunyai payung hukum perundang-undangan
Kendala dalam mengembangkan bank syariah karena tidak memiliki hukum yang mengatur perbankan syariah secara khusus. Namun, sejak lahirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008, perbankan syariah memiliki peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum melaksanakan kegiatannya.
Proses awal dimulai dari Undang-Undang No. 7 tahun 1992 yang mengakui bank dengan prinsip bagi hasil. Pada saat itu, perkembangan perbankan syariah sangat lambat. Selanjutnya, muncullah bank syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia yang tahan terhadap krisis ekonomi sehingga sistem perbankan syariah diakui dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Pada saat itu, sistem perbankan syariah terus berkembang. Kekhawatiran muncul karena tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur perbankan syariah, sehingga lahirlah Undang-Undang No. 21 tahun 2008 sebagai bentuk akomodasi sistem perbankan syariah.
b. Weakness (kelemahan)
Selain memiliki kekuatan, bank syariah di Indonesia juga memiliki kelemahan, diantaranya:
1) Jaringan kantor dan ATM yang masih rendah dan belum merata
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia, preferensi masyarakat terhadap bank syariah sangat tinggi. Namun, banyak yang mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk rendahnya keterjangkauan jaringan. Kelemahan tersebut dapat diatasi dengan office channeling, yaitu konter layanan syariah di bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah. Cara tersebut dinilai efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan, terutama bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam hal jaringan.
Bank umum syariah juga mengambil kebijakan bekerjasama dengan bank konvensional atau instansi lain dalam rangka memperluas pasarnya, seperti yang dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia yang bekerja sama dengan PT Pos Indonesia untuk memasarkan shar-e, sehingga memudahkan nasabah untuk melakukan transaksi di seluruh Indonesia. Selain itu, Bank Muamalat Indonesia juga bekerja sama dengan Bank BCA, sehingga kartu shar-e dapat digunakan di ATM Bank BCA.
2) Loyalitas nasabah
Nasabah pengguna bank syariah dibagi menjadi dua bagian, yaitu nasabah yang loyal dan nasabah yang tidak loyal. Nasabah loyal (nasabah emosional) merupakan nasabah yang menggunakan bank syariah berdasarkan aturan syariat yang digunakan sehingga tidak mempermasalahkan besar persentase bagi hasil yang diberikan bank syariah. Nasabah tidak loyal (nasabah rasional) merupakan nasabah yang masih memperhitungkan antara persentase bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah dengan tingkat suku bunga di bank konvensional, sehingga apabila tingkat suku bunga di bank konvensional lebih besar, ia bisa pindah menggunakan bank konvensional. Terdapat dikotomi antara nasabah emosial dan nasabah rasional, yaitu nasabah yang emosial merupakan nasabah yang rasional karena memperhitungkan dalam jangka waktu panjang, bukan hanya pendek, sedangkan nasabah rasional merupakan nasabah yang emosial karena hanya mengejar keuntungan jangka pendek.
Selain itu, masyarakat masih belum memahami perbedaan antara perbankan syariah dan perbankan konvensional yang menyebab masyarakat cenderung memilih bank konvensional. Bank syariah perlu melakukan melakuakn terobosan dalam menjelaskan kelebihannya kepada nasabah yang berujung pada meningkatnya loyalitas nasabah kepada bank syariah.
3) Minimnya dana pemasaran dan promosi
Minimnya pendanaan pemasaran pada bank syariah menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak mengerti cara untuk mengakses layanan perbankan syariah serta kurangnya promosi yang dilakukan. Hal ini masih kalah dibandingkan dengan bank konvensional dimana pendanaan pemasaran lebih besar, sehingga gaung perbankan syariah kalah dengan bank konvensional.
Berdasarkan hal tersebut, bank syariah dituntut untuk mengembangkan usahanya, baik dalam sosialisasi, instrumen, produk, pelayanan, dan kegiatan sosial agar memunculkan sentiment positif, yaitu dengan cara merancang strategi promosi yang memadai agar masyarakat mengetahui tentang perbankan syariah. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan seluruh bank syariah melalui logo iB (Islamic Banking) oleh Bank Indonesia sehingga memperkuat branding perbankan syariah di Indonesia serta sebagai nama produk agar lebih sederhana dan mudah diingat oleh masyarakat, seperti pada tabungan mudharabah dan tabungan wadiah.
4) Minimnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
Bank syariah tidak bisa dipandang sebelah mata lagi karena telah terbukti tahan krisis sebagai solusi ketahanan ekonomi nasional serta sebagai pelaksanaan kewajiban syariat Islam. Namun, kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat menyebabkan masyarakat tidak mengerti secara signifikan perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan bank konvensional.
Untuk itu, diperlukan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah agar lebih luas, seperti mendekati tokoh formal dan informal di suatu daerah yang memiliki massa dan pemberian edukasi di lingkungan kampus. Pemberian edukasi di lingkungan kampus merupakan strategi penting, karena mahasiswa merupakan pemimpin di masa depan sehingga mampu meneruskan perjuangan perbankan syariah.
5) Keterbatasan teknologi dan produk
Kelemahan lain perbankan syariah adalah keterbatan teknologi yang menyebabkan perbankan syariah kurang diminati serta produk yang ditawarkan belum dapat diakomodasi oleh perbankan syariah.
Memang tidak adil jika dibandingkan dengan bank konvensional yang telah lama berdiri, namun perbankan syariah diharapkan mampu dalam memenuhi kebutuhan nasabah, baik dari segi teknologi, produk, maupun kesesuaian dengan prinsip yang digunakan. Hal tersebut dapat dilakukan jika praktisi maupun akademisi memberikan perhatian lebih yang didasarkan pada rasa optimisme.
6) Minimnya sumber daya manusia
Bank syariah kekurangan sumber daya manusia yang menguasai aspek fiqih tentang perbankan syariah dan pengetahuan manajemen perbankan. Hal ini terlihat dari sibuknya bank syariah pada jargon how to Islamize our banking system dan melupakan how to Islamize the people involved in the banking industry, karena kesadaran terhadap prinsip-prinsip syariah belum sepenuhnya dimengerti. Permasalahan ini dapat dipecahkan melalui pendidikan perbankan syariah melalui kurikulum sekolah dasar hingga sekolah menengah akhir serta perguruan tinggi, khususnya pendidikan berbasis ekonomi syariah. Selain itu, internal perbankan syariah juga memberikan edukasi dan pelatihan kepada karyawan untuk meningkatkan pengetahuan tentang perbankan syariah itu sendiri. Penyiapan terhadap sumber daya manusia di bidang keuangan, khususnya di bidang perbankan syariah membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak.
c. Peluang
Peluang yang dapat diraih oleh perbankan syariah setelah lahirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu:
1) Perluasan Market Share perbankan syariah
Adanya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dapat menjadi peluang bank syariah dalam memperluas market share yang dimiliki, yaitu karena (1) Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pengkreditan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, sementara bank konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7), (2) Apabila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) yang terjadi antara Bank Syariah dengan Bank Non-Syariah bentuk badan hukumnya wajib berubah menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2), dan (3) Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila Unit Usaha Syariah telah mencapai aset paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induknya, atau 15 tahun Sejak berlakunya UU perbankan syariah (Pasal 68 ayat 1).
Selain itu perkembangan bank syariah lebih cepat yaitu dimungkinkannya warga negara asing dan atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b), pemilikan asing dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di Bursa Efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian, banyak faktor pendorong yang menjadi peluang untuk mengembangkan perbankan syariah.
2) Aktivitas usaha Bank Syariah yang lebih banyak dan beragam
Banyak usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah yang tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional karena jasa bank syariah merupakan kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank. Usaha tersebut lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) bank konvensional. Usaha tersebut antara lain menjamin penerbitan surat berharga, penitipan untuk kepentingan orang lain, menjadi wali amanat, penyertaan modal, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun, menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang.
Selain usaha komersial, bank syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitul Mal, yaitu badan yang menerima dana dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat (Pasal 4 ayat 2). Dapat pula menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
3) Sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi
Perbankan syariah di Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan kemampuan dalam bidang ekonomi syariah yang tidak hanya menguasai tentang ilmu manajemen perbankan, melainkan juga menguasai ilmu fiqih. Hal tersebut menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan yang sudah ada dalam penyempurnaan kurikulum ekonomi islam, terutama di ruang perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dalam mengembangkan kajian ekonomi Islam harus mmampu dalam menciptakan sumber daya yang memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang fiqih ekonomi dan operasional perbankan syariha serta kemampuan bahasa dan penguasaan ilmu terapan. Dengan demikian, sumber daya manusia yang dihasilkan memiliki kompetensi yang sama walaupun berasal dari perguruan tinggi yang berbeda.
4) Peluang pasar yang cukup luas
Kuantitas penduduk dapat dijadikan sebagai objek pengembangan bank syariah dan pangsa pasar. Jumlah penduduk muslim yang tinggi juga dapat dijadikan sebagai objek islamisasi ekonomi sehingga akan meningkatkan kesadaran pada ekonomi Islam. Peningkatan kesadaran ekonomi Islam berdampak pada nasabah bank syariah akan meningkat sehingga bank syariah dapat dapat berkembang secara cepat dan efektif.
d. Tantangan
Tantangan bank syariah yang dihadapi diantaranya:
1) Meningkatkan kemurnian bank syariah sesuai syariat Islam
Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan berdampak pada jati diri, eksistensi, keunikan serta kekecewaan dari nasabah didalamnya. Sistem syariah yang dijalankan harus sesuai dengan prinsip Islam. Jika terjadi penyimpangan, maka bank jati diri, eksistensi, dan keunikan akan hilang dan munculnya kekecewaan dari nasabah. Dampak dari perkembangan teknologi dan sosialisasi telah meningkatkan pengetahuan pengguna perbankan syariah sehingga lebih kritis dan memaksa perbankan syariah melakukan purifikasi dalam kegiatan usahanya, walaupun hal tersebut sudah diatur oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), adanya fatwa halal dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI serta pengawasan dari Bank Indonesia.
2) Potensi pemilikan bank syariah oleh asing
Tantangan yang berasal dari asing diantaranya adalah pembebasan pemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) serta pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 13 ayat 1). Tantangan tersebut merupakan tantangan besar bagi warga negara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan syariah.
3) Kualitas sumber daya manusia yang belum merata
Sumber daya manusia perbankan syariah saat ini masih kurang sehingga diambil dari perguruan tinggi umum. Hal tersebut menjadi dikotomi karena perguruan tinggi agama lebih menekankan pada aspek fiqih dan kurang pada aspek praktisnya. Sedangkan pada perguruan tinggi umum lebih menekankan pada aspek praktisnya dan kurang pada aspek fiqihnya.
4) Permodalan yang belum kuat
Kekuatan permodalan perbankan syariah masih belum kuat sehingga belum mampu mendukung ekspansi pasar. Salah satu penyebabnya yaitu usia perbankan syariah yang masih muda dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga pemerintah harus membantu industri perbankan syariah agar tumbuh setara dengan pertumbuhan perbankan konvensional.
C. Penutup
Sebagai negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar, sudah sepatutnya kita mengetahui tentang ekonomi Islam, yaitu tentang perbankan syariah. Pengetahuan akan perbankan syariah sangat penting disamping menjalankan aktivitas ekonomi, juga sebagai bentuk pengamalan terhadap syariat-syariat Islam. Namun, masih banyak masyarakat, khususnya pada golongan muda yang belum memahami tentang perbankan syariah sehingga cenderung menggunakan bank konvensional. Pemilihan bank yang dilakukan oleh seorang muslim harus berdasarkan pada syariat, yaitu menghindari riba yang dilakukan oleh bank konvensional, kecuali dalam keadaan terpaksa. Untuk itu, diperlukan usaha, baik dari masyarakat, pemerintah maupun pengelola untuk memberikan edukasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan perbankan syariah, khususnya kaum muda karena kelak akan menjadi pemimpin. Karena kitalah kaum muda yang akan meneruskan perjuangan dan perkembangan perbankan syariah di masa mendatang.
Sumber Rujukan
Andini, W. 2020. Perubahan Sistem Operasional Bank Konvensional Ke Sistem Syariah Berdasarkan Undang-Undang No 10 Tahun 1998. Al-Adalah: Jurnal Syariah dan Hukum Islam. 5(2).
Antonio, M., S. 2001. Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Arif, M., N., R., A. 2012. Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis. Bandung: Pustaka Setia .
Faqir, A., A. 2020. Sejarah BI, Berdiri untuk Gantikan Bank Sentral Belanda di Indonesia. Online: (https://www.merdeka.com/uang/sejarah-bi-berdiri-untuk-gantikan-bank-sentral-belanda-di-indonesia.html). Diakses 20 mei 2021.
Latumaerissa, J., R. 2013. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta Selatan: Salemba Empat.
Permana, A. A. 2017. Pengaruh Inflasi, Non Performing Finance, dan Return on Asset Terhadap Pertumbuhan Aset Perbankan Syariah di Indonesia. Thesis. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Soemitra, A. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Sudarsono, H. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.
Sumitro, W. 1996. Azaz-Azaz Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait BMUI Dan Takaful Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim pengembangan perbankan syariah IBI. 2001. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.