Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agung Pratama Satria

Penentuan Hari Raya Idul Fitri dan Keberagaman di Indonesia

Agama | Sunday, 23 May 2021, 10:28 WIB
Sholat IED di Sunda Kelapa. 2012 Merdeka.com/arie basuki

Penentuan hari raya Idul Fitri atau tanggal 1 Syawal dalam penanggalan hijriah merupakan salah satu momen penting bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia juga menjadikan penentuan hari raya Idul Fitri momen yang ditunggu oleh masyarakatnya.

Melalui sidang isbat, pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementrian Agama bersama dengan organisasi islam lainnya menyepakati penetapan 1 Syawal dan juga bulan-bulan lain yang terkait dengan ibadah umat muslim. Namun lewat penentuan 1 Syawal juga kita dapat melihat keberagaman di Indonesia.

Perbedaan tanggal Hari Raya Idul Fitri di Indonesia

Menyinggung tentang keberagaman, Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim juga terdiri dari berbagai aliran. Aliran-aliran ini pun tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Beberapa contohnya seperti Tarekat Naqsyabandiyah yang berada di Kota Padang, Sumatra Barat, Jemaah An Nadzir dari Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya.

Dari aliran-aliran tersebut memiliki cara tersendiri dalam penentuan 1 Syawal, Jika umumnya yang digunakan pemerintah adalah Rukyat dan Hisab, pada beberapa aliran ini memiliki caranya tersendiri dalam penentuan kapan Hari Raya Idul Fitri berlangsung.

Dilansir dari Merdeka.com, Tarekat Naqsyabandiyah menentukan 1 Syawal dengan melakukan Rukyat dengan mata telanjang. Rukyat ini dilakukan tiga kali pada tanggal 8, 15, dan 22 lalu akan disesuaikan bentuk bulan yang terlihat dengan hisab mujit yang merupakan penanggalan Naqsyabandiyah.

Salah satu momen dimana terjadi perbedaan tanggal Hari Raya Idul Fitri terjadi pada tahun 2008. Dikutip dari Kompas.com, Pemerintah saat itu menentukan Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Oktober 2008. Namun Jemaah Al Muhdlor, Tulungagung, Jawa Timur menyatakan Hari Raya Idul Fitri pada tanggal 28 September 2008, sedangkan Jemaah Naqsyabandiyah pada tanggal 29 September 2008.

Perbedaan cara dan metode dalam penentuan 1 Syawal ditambah keberagaman tadi membuat sangat memungkinkannya terjadi perbedaan Hari Raya Idul Fitri ini.

Menghargai Keberagamaan di Hari Raya Idul Fitri

Untuk mayoritas umat muslim di Indonesia, dalam beberapa tahun kebelakang mungkin sudah jarang merasakan perbedaan Hari Raya Idul Fitri. Menurut data dari Lokadata, terakhir ada perbedaan Hari Raya Idul Fitri itu pada tahun 2011, dimana saat itu PP Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri jatuh pada tanggal 30 Agustus, sedangkan pemerintah dan Nahdlatul Ulama menetapkan Idul Fitri pada tanggal 31 Agustus.

Setelah tahun 2011, Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Islam yang cukup dominan di masyarakat cenderung menetapkan Hari Raya Idul Fitri khususnya pada hari yang sama. Namun bagi beberapa Jemaah di Indonesia, masih acap kali ditemukan perbedaan penentuan Hari Raya Idul Fitri.

Disisi lain, hal tersebut bukan suatu penghalang bagi masyarakat untuk saling menghargai. Seperti yang dilakukan Jemaah Al Muhdlor pada tahun 2008 lalu, mereka yang sudah menetapkan Hari Raya Idul Fitri dua hari lebih cepat dari pemerintah tetap melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya.

Perbedaannya adalah saat itu Jemaah Al Muhdlor tidak menggumandangkan takbir seperti pada umumnya, Sulthon kepada kompas.com mengatakan bahwa mereka tetap tidak ingin menimbulkan konflik di masyarakat.

Hal ini merupakan gambaran dari keberagaman di Indonesia bukan suatu penghalang bagi kita dapat menjalankan apa yang kita percayai. Titik pentingnya adalah saling harga menghargai satu sama lain, agar tidak terjadi kesalah pahaman antara satu sama lain karena yang masyarakat sama-sama tuju sebetulnya sama yaitu kemenangan dan kembali ke fitrah di Hari Raya Idul Fitri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image