Bank Syariah: Tak Dekat maka Tak Lekat
Bisnis | 2021-05-23 09:11:01Suatu waktu, teman saya bertanya via whatsapp,
Apa sih bedanya bank konvensional dengan bank syariah?
Hmm apa ya wkwk, akadnya udah beda si Jawab saya singkat.
Iya, bedanya dimana?
Teman saya terus mengejar sampai dia mendapat jawaban yang jelas.
Duh, kalau djelasin lewat wa bakal panjang, itu materi kuliah satu semester. Ngeles saya.
Harusnya, ketika seseorang itu memahami betul terhadap suatu hal, ia akan mampu menjelaskan dengan mudah dan sederhana bahkan hal rumit sekalipun. Seseorang akan semakin memahami jika dekat dengan hal tersebut. Pertanyaan teman saya tersebut akan mudah saya jawab jika saya paham. Namun, bagaimana saya bisa paham dan mampu menjelaskan jika dekat saja tidak?
Selayang Pandang Perbankan Syariah
Perbankan syariah lahir seiring tumbuhnya kesadaran muslim di Indonesia akan kebutuhan bertransaksi yang sesuai dengan prinsip Islam. Mereka sadar akan ketidakadilan skema perbankan konvensional, sistem kapitalisme dan bunga yang kian menjerat. Semangat tersebut didukung oleh berbagai pihak, seperti dari pemerintah, praktisi, dan akademisi. Dari pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai bentuk legalitas hukum dan kelembagaan. Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah atau hukum Islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti prinsip keadilan dan keseimbangan (adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim, dan obyek yang haram. Bank syariah sendiri terdiri atas Bank Umum dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Selain menjalankan fungsi terkait dengan perbankan, bank syariah juga menjalankan fungsi sosial seperti lembaga baitul mal, seperti menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (Wakif). Dalam pelaksanaannya, bank syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang menjalankan fungsi pengawasan syariah dan fungsi advisory (penasihat). Dewan Pengawas Syariah ini nanti yang menilai, memastikan dan mengawasi pemenuhan prinsip syariah atas operasional dan produk yang dikeluarkan oleh bank. Selain itu, Dewan Pengawas Syariah juga meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk yang belum ada fatwanya, melakukan review secara berkala terhadap mekanisme penghimpunan dan penyaluran dana bank serta pelayanan jasa bank.
Dengan adanya peraturan yang melandasi, menjadikan para praktisi perbankan khususnya perbankan syariah dapat dengan tenang untuk menjalankan praktik perbankan syariah di lapangan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah perbankan syariah di Indonesia yang terus mengalami pertumbuhan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah OJK, hingga Februari 2021 terdapat 197 bank syariah di Indonesia yang terdiri dari 14 Bank Umum Syariah, 20 Unit Usaha Syariah, dan 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Total aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah juga mengalami peningkatan. Tercatat per Februari 2021, total aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebesar Rp 587.513 (dalam miliar rupiah). Melihat semakin menggeliatnya ekonomi syariah khususnya di sektor perbankan syariah, mendorong para akademisi untuk terus melakukan riset untuk memberikan kontribusi terhadap perbankan syariah di Indonesia.
Menjawab pertanyaan teman saya di atas tentang perbedaan bank konvensional dengan bank syariah, berikut garis besar apa saja hal-hal yang membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah:
Bank Konvensional: 1. Bebas nilai, 2. Sistem bunga, 3. Besaran bunga tetap, 4. Profit oriented (dunia saja), 5. Hubungan debitur-kreditur, 6. Tidak ada lembaga sejenis Dewan Pengawas Syariah.
Bank Syariah: 1. Berinvestasi pada usaha yang halal, 2. Atas dasar bagi hasil, 3. Margin keuntungan, dan fee, besaran bagi hasil tergantung kinerja usaha, 4. Profit dan falah oriented (dunia dan akhirat), 5. Pola hubungan: Kemitraan (musyarakah-mudharabah), Penjual pembeli (murabahah, salam, istishna), sewa menyewa (ijarah), debitur-kreditur dalam pengertian equity holder (qard), 6. Ada Dewan Pengawas Syariah.
(Sumber: ojk.go.id)
Terkait dengan sistem bunga, tidak jarang masyarakat masih menganggap bahwa sistem bunga di bank konvensional tidak ada bedanya dengan prinsip bagi hasil pada bank syariah. Berikut perbedaan antara sistem bunga bank konvensional dan prinsip bagi hasil bank syariah :
Sistem Bunga:1. Asumsi selalu untung, 2. Didasarkan pada jumlah uang (pokok) pinjaman, 3. Nasabah kredit harus mengikuti perubahan suku bunga yang ditentukan sepihak oleh bank, sesuai dengan fluktuasi tingkat suku bunga di pasar uang. Bunga dapat meningkat/menurun sewaktu-waktu dan nasabah tidak dapat menghindar selama masa pembayaran angsuran kreditnya, 4. Tidak tergantung pada kinerja usaha. Meskipun jumlah keuntungan berlipat, bunga yang dibayarkan tidak meningkat, 5. Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam, 6. Nasabah harus tetap membayar bunga tanpa ada pertimbangan apakah nasabah mengalami untung atau rugi
Sistem Bagi Hasil: 1. Ada kemungkinan untung/rugi, 2. Didasarkan pada rasio bagi hasil dari pendapatan/keuntungan yang diperoleh nasabah pembiayaan, 3. Margin keuntungan untuk bank (yang disepakati bersama), ditambahkan pada pokok pembiayaan akan tetap sama hingga berakhirnya masa akad. Pembagian bagi hasil juga tetap sama, sesuai kad hingga berakhirnya masa perjanjian pembiayaan (untuk pembiayaan konsumtif), 4. Jumlah pembagian bagi hasil berubah-ubah tergantung kinerja usaha, 5. Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil, 6. Jika proyek memperoleh untung maka bagi hasil tergantung pada keuntungannya. Namun, jika proyek itu merugi, kerugiannya ditanggung bersama oleh kedua pihak.
(Sumber: ojk.go.id)
Kenapa Tidak Bisa Dekat?
Faktor mengapa masyarakat masih belum terlalu dekat dengan perbankan syariah bisa berasal dari internal atau eksternal. Faktor internalnya dapat disebabkan karena masyarakat masih enggan untuk berhijrah ke perbankan syariah. Entah karena tidak ingin ribet mengurus administrasi, sudah terlanjut nyaman, kewajiban dari instansi tempat mereka bekerja, pengalaman pribadi atau orang lain hingga persepsi bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Rahmanti (2019) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa terdapat dua faktor mengapa perbankan syariah masih disamakan dengan perbankan konvensional , yaitu karena faktor standar dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Bicara soal perbankan syariah, tentu tidak dapat terlepas dari yang namanya akuntansi syariah yang menjadi dasar pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. PSAK syariah belum sepenuhnya syari dan implementatif karena dinilai masih banyak mengadopsi standar dari akuntansi konvensional. PSAK syariah memang telah dibuat tetapi itu hanya menjadi standar langit bukan membumi . Sudah ada standarnya tetapi kurang implementatif di lapangan
Faktor selanjutnya adalah sumber daya manusia. Ini menjadi satu dari sekian faktor mengapa PSAK syariah belum sepenuhnya dapat diimplementasikan. Minimnya pengetahuan SDM tentang ekonomi syariah dan lemahnya pemahaman tentang muamalah di perbankan syariah, menjadikan praktik di lapangan menjadi setengah-setengah. Kalau dilihat dari jumlah penduduk muslim di Indonesia, harusnya tidak sulit mencari manusia-manusia yang dapat turut memajukan bank syariah di Indonesia tetapi kuantitas tidak selalu menentukan kualitas. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman dari para SDM yang berkecimpung di dunia perbankan syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan informasi yang diperoleh masyarakat menjadi tidak utuh.
Faktor internal lain yang dapat memengaruhi kedekatan dengan bank syariah adalah religiusitas. Religi atau religion berasal dari bahasa latin relegree atau relegare yang berarti berhati-hati, berpegang pada norma atau aturan secara ketat. Apabila agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka akan memengaruhi semua pikiran dan tindakannya. Setiap aktivitas dalam hidupnya disesuikan dengan prinsip dan nilai-nilai agama. Sebagai contoh, dalam memilih bank, mereka akan memilih menggunakan bank syariah daripada bank konvensional karena tidak ingin melakukan transaksi yang dilarang dalam Islam atau ingin menghindarkan diri dari perbuatan riba.
Selanjutnya dari sisi faktor eksternal, bisa karena bank konvensional dianggap memiliki fasilitas yang lebih lengkap, memberikan pelayanan yang baik, kemudahan dalam bertransaksi, dan akses yang mudah bahkan tersedia cabang bank konvensional hingga ke pelosok desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini bank yang dekat dengan masyarakat terlebih yang tinggal di desa adalah bank konvensional. Mereka tidak perlu pergi ke kota untuk melakukan transaksi via bank. Kegiatan sederhana seperti tarik tunai dan transfer dapat dilakukan di ATM dekat rumah mereka. Sebaliknya, kita juga tidak dapat mengelak bahwa bank syariah belum menyentuh hingga ke akar rumput. Sosialisasi bank syariah melalui goes to campus atau seminar-seminar memang sudah dilakukan, tetapi buruh tani, pedagang di pasar tradisional tidak hadir di seminar itu. Disamping kebutuhan akan nasabah, hal terpenting adalah bagaimana bank syariah hadir di tengah-tengah mereka untuk membantu permasalahan yang ada, misal seperti pembiayaan. Setidaknya mereka tidak diberatkan oleh bunga dari bank konvensional atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) konvensional atau orang desa sering menyebutnya sebagai bank tithil. Bank syariah juga dapat menjadi solusi dari maraknya nasabah yang dirugikan karena pinjaman online. Apa akar permasalahannya? Bunga. Yang awalnya pokok pinjaman hanya 2 juta, beranak pinak menjadi puluhan juta bahkan para pelaku pinjaman online tidak segan menyebarkan data dan privasi nasabahnya.
Masih rendahnya akses dan pengetahuan masyarakat terhadap sektor perbankan syariah juga dapat menjadi penyebab terhambatnya proses PDKT masyarakat dengan bank syariah. Pertumbuhan lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah dari sisi kuantitas belum diimbangi dari sisi permintaan terhadap produk jasa keuangan syariah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diperoleh hasil dimana tingkat inklusi keuangan syariah di Indonesia baru mencapai angka 9,1 persen dari total indeks inklusi keuangan nasional sebesar 76,19 persen dan tingkat literasi keuangan syariah yang baru mencapai 8,93 persen dari total indeks literasi keuangan nasional yang mencapai 38,03 persen. Tingkat inklusi dan literasi yang masih rendah dapat menjadi salah satu penyebab masyarakat belum mengenal dan kurang berminat untuk menggunakan produk dan layanan perbankan syariah. Inklusi sendiri adalah akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan, baik berupa simpanan, permodalan/kredit, dan jasa lainnya. Kemudahan akses ke lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah setidaknya memberi manfaat kepada individu, lembaga keuangan, dan negara (Ahyar, 2019). Bagi individu, tingginya tingkat inklusi keuangan, tinggi pula akses permodalan sehingga dapat membuka peluang usaha. Bagi lembaga keuangan, inklusi keuangan mendorong penggunaan produk dan layanan jasa keuangan syariah. Bagi negara, inklusi keuangan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mengentaskan kemiskinan, mengurangi gap pendapatan, dan menstabilkan sistem keuangan. Para pelaku UMKM, khususnya industri produk halal juga turut terbantukan. Inklusivitas keuangan dapat dilihat dari berapa jumlah kantor layanan perbankan. Sedangkan untuk meningkatkan literasi masyarakat, dapat dilakukan upaya promosi dan sosialisasi tentang muamalah dalam Islam.
Ini Cara Agar Bisa Dekat
Proses PDKT antara masyarakat dengan perbankan syariah harus dilakukan dua arah. Baik masyarakat maupun bank syariah, harus sama-sama aktif. Dari sisi masyarakat, khususnya para milenial harus proaktif mencara informasi tentang perbankan syariah. Semua informasi dapat diakses dengan mudah dan realtime melalui media sosial, bisa melalui Instagram, Twitter, atau website-nya langsung. Dari sisi perbankan syariah, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penetrasi pasar, pengembangan produk-produk syariah yang inovatif dan kompetitif, peningkatan kualitas pelayanan, peningkatan sosialisasi dan promosi, kerjasama dengan institusi dan akademisi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Jika kita kembali ke teori tentang perilaku konsumen, para pemasar, disini diperankan oleh bank syariah, mau tidak mau harus mempelajari perilaku konsumen yang tidak lain adalah nasabah mereka sendiri. Menurut Kotler dalam buku Panduan Riset Perilaku Konsumen karangan Bilson Simamora, perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, personal, dan psikologi. Berikut adalah faktor-faktor yang memengaruhi perilaku konsumen:
1. Faktor kebudayaan
Budaya menjadi penentu perilaku yang mendasar untuk mendapatkan nilai dan persepsi. Faktor kebudayaan dibagi lagi menjadi tiga, yaitu sub budaya dan kelas sosial.
a. Sub budaya
Sub budaya merupakan kelompok yang lebih kecil dimana tempat saling berbagi nilai dan pengalaman hidup. Sub budaya meliputi agama, ras, kelompok, dan letak geografis.
b. Kelas sosial
Kelas sosial merupakan pembagian masyarakat yang relatif lebih permanen dan memiliki jenjang berdasarkan nilai, minat, dan perilaku.
2. Faktor Sosial
Selain kebudayan, perilaku konsumen juga dapat dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kelompok rujukan, keluarga, peran dan status sosial.
a. Kelompok rujukan
Kelompok ini menjadi perbandingan dalam pembentukan perilaku seseorang. Secara langsung maupun tidak langsung, kelompok ini dapat memengaruhi seseorang yang berada di luar lingkarannya. Bank syariah berusaha untuk mengidentifikasikan seperti apa kelompok rujukan masyarakat yang dapat memengaruhi pilihan mereka terhadap sebuah produk perbankan.
b. Keluarga
Keluarga memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap perilaku seseorang. Pemasaran yang dilakukan oleh sektor perbankan syariah harus mampu memahami pola interaksi suatu keluarga sehingga dapat menetapkan strategi pemasaran yang terbaik.
c. Peran dan Status
Peran dan status dapat memengaruhi posisi seseorang dan tingkah laku mereka, termasuk memilih bank.
3. Faktor Personal atau Pribadi
Perilaku konsumen dapat dipengaruhi dari dalam diri konsumen itu sendiri, seperti usia dan tahap daur, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri.
a. Usia dan Tahap Daur Hidup
Seiring bertambahnya usia, berubah pula kebutuhan akan barang dan jasa yang dikonsumsi. Para pemain di perbankan syariah harus mampu melihat dan mengikuti setiap perubahan yang terjadi di masyarakat.
b. Pekerjaan
Jenis barang dan jasa yang dibeli oleh seseorang dipengaruhi oleh jenis pekerjaan. Para pelaku perbankan syariah dapat mengidentifikasi produk apa yang sesuai dengan jabatan atau pekerjaan mereka.
c. Keadaan Ekonomi
Kondisi ekonomi seseorang memengaruhi kepekaan mereka terhadap suatu produk. Mereka akan memerhatikan produk apa yang akan digunakan dan menyesuaikan dengan keadaan ekonomi.
d. Gaya Hidup
Gaya hidup seseorang menunjukkan kecenderungan terhadap suatu produk. Kemampuan mencermati gaya hidup masyarakat sekarang akan sangat membantu dalam memahami para nasabah dan bagaimana hal tersebut memengaruhi perilaku mereka.
e. Kepribadian dan Konsep Diri
Setiap orang memiliki ciri khas masing-masing. Ciri khas tersebut dapat memengaruhi perilaku mereka dalam membeli atau mengonsumsi suatu produk sebagai bentuk cara menciptakan citra diri mereka.
4. Faktor Psikologis
Keputusan konsumen untuk membeli barang dan jasa juga dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis, seperti motivasi, persepsi, proses belajar, kepercayaan, dan sikap.
a. Motivasi
Keinginan untuk membeli suatu produk barang dan jasa dapat berawal dari sebuah motivasi Teori motivasi Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan manusia itu berjenjang. Semakin penting produk tersebut, semakin termotivasi untuk memenuhinya. Sebaliknya, menurut Teori Motivasi Fraud, tidak semua orang menyadari bahwa psikologinya yang membentuk perilaku mereka. Ia menyadari bahwa itu hanya sebuah dorongan yang tumbuh seiring mereka beranjak dewasa.
b. Persepsi
Persepsi dapat memengaruhi seseorang untuk bertindak. Dari persepsi, mereka akan melakukan proses memilih dan merumuskan tindakan.
c. Proses belajar
Seseorang akan mendapat pembelajaran dari pengalaman membeli atau mengonsumsi suatu produk barang atau jasa yang nantinya akan dijadikan dasar untuk melakukan konsumsi di masa mendatang.
d. Keyakinan dan Sikap
Keyakinan seseorang terhadap suatu produk barang dan jasa mampu memengaruhi sikap mereka. Semakin kuat keyakinan, maka semakin kuat pula dorongan untuk bertindak. Sebaliknya, jika seseorang sudah tidak yakin terhadap produk maka tidak akan ada tindakan.
Cara lain agar proses PDKT berjalan lancar, Bank Syariah perlu memerhatikan lokasi atau tempat dimana perusahaan menjalankan aktivitasnya. Perbankan diharuskan untuk terus proaktif (proactive strategy), guna merealisasikan proactive strategy, bank syariah perlu selektif dalam penentuan lokasi usaha. Lokasi usaha yang tepat dan strategis dapat memudahkan nasabah dalam melakukan transaksi dengan bank. Semakin dekat jarak bank syariah dengan rumah, akan memudahkan mereka dalam menjangkaunya sehingga mendorong masyarakat untuk terus menggunakan bank syariah.
Setelah lokasi, reputasi bank syariah yang baik akan memberikan kepercayaan kepada para nasabah. Reputasi dibangun dari rasa bertanggung jawab atas amanah yang diberikan kepada para praktisi perbankan syariah. Nasabah merasa aman dan terjamin ketika menyimpan dananya di bank syariah. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hadir untuk menjamin dana nasabah. Salah satu cara membangun reputasi yang baik juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pelayanan yang baik kepada para nasabah. Kemampuan dalam mengakomodasi kebutuhan nasabah dan menyelesaikan kendala yang terjadi akan menjadi nilai tambah bagi bank syariah.
Tingkat kesehatan bank juga tidak boleh dilupakan. Kemampuan bank syariah menghadapi risiko yang pasti terjadi dan kemampuan meningkatkan kinerja menjadi gambaran sehat tidaknya suatu bank syariah. Rentabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk menggambarkan efisiensi pengelolaan dana dan tingkat kinerja manajemen. Rasio yang dapat dipakai adalah Return on Asset (ROA) yang menunjukkan kemampuan bank menghasilkan keuntungan dari aktiva yang dimiliki. Apabila persentase ROA tinggi, menunjukkan kinerja yang baik. Sebaliknya, persentase ROA yang rendah menunjukkan keuntungan yang belum maksimal.
Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Februari 2021, diperoleh data bahwa pada tiga tahun terakhir, yakni tahun 2018, 2019, dan 2020, terjadi peningkatan rentabilitas (ROA) pada Bank Umum Syariah. Tahun 2018 sebesar 1,28%, tahun 2019 sebesar 1,73%, dan tahun 2020 sebesar 1,40%. Selama pandemi, tren ROA Bank Umum Syariah cenderung stabil bahkan hingga Februari tahun 2021, ROA Bank Umum Syariah terus meningkat menjadi 2,15%. Adanya tren peningkatan rasio keuangan rentabilitas (ROA) pada Bank Umum Syariah, membuktikan bahwa Bank Umum Syariah masih mengalami pertumbuhan bahkan saat pandemi. Kemampuan bank syariah bertahan, mengelola risiko, dan menjaga kinerja diharapkan menjadi daya tarik masyarakat untuk menggunakan bank syariah. Bila dibandingkan dengan ROA Bank Umum Konvensional (BUK) tiga tahun terakhir, ROA Bank Umum Syariah masih lebih kecil dari ROA BUK. Ditunjukkan dari data ROA BUK tahun 2018 sebesar 2,55% dan tahun 2019 2,47%. Namun, selama pandemi di tahun 2020, ROA Bank Umum Konvensional mengalami penurunan dari 2,49% pada Februari 2020 menjadi hanya 1,97% pada Februari 2021.
Selain rasio Return on Asset (ROA), rasio lain yang juga dapat digunakan adalah Capital Adequacy Ratio (CAR) yang merupakan rasio kecukupan modal yang dimiliki perusahaan untuk menanggung risiko dari setiap aktiva produktif yang berisiko. Semakin tinggi CAR, semakin baik pula kemampuan bank untuk menanggung risiko. Nilai CAR yang tinggi menunjukkan kemampuan bank membiayai kegiatan operasional dan memberikan profit yang cukup besar. Rasio modal yang tinggi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat karena mereka merasa terlindungi dari risiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi kepercayaan deposan kepada bank, semakin meningkat pula pendapatan yang diperoleh bank.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah Februari 2021 yang dikeluarkan oleh OJK, menunjukkan tren yang makin meningkat selama tiga tahun terakhir. Tahun 2018 CAR Bank Umum Syariah sebesar 20,39%, tahun 2019 20,59%, dan tahun 2020 sebesar 21,64%. Hingga Februari 2021, CAR Bank Umum Syariah naik 2,67% menjadi 24,31%. Seperti ROA, CAR juga menunjukkan adanya peningkatan bahkan saat pandemi. Bila dibandingkan dengan CAR Bank Umum Konvensional (BUK) tiga tahun terakhir, CAR Bank Umum Syariah masih lebih kecil dari CAR BUK. Ditunjukkan dari data CAR BUK tahun 2018 sebesar 22,97% dan tahun 2019 sebesar 23,40%. Selama pandemi di tahun 2020, CAR Bank Umum Konvensional cenderung stabil bahkan naik dari 22.33% pada Februari 2020 menjadi 22,85% pada Februari 2021.
Mujaddid & Wulandari (2017) menyebutkan beberapa faktor baik internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan rentabilitas perbankan syariah melambat. Faktor internal yang dapat memengaruhi rentabilitas yang pertama adalah permodalan yang belum memadai. Modal yang terbatas akan menjadikan bank syariah kurang mampu mengembangkan usaha, seperti membuka kantor cabang baru, infrastruktur dan layanan. Kegiatan operasional akan menjadi kurang efisien. Faktor internal kedua adalah adanya pembiayaan yang bermasalah. Adapun faktor eksternal yang dapat memperlambat rentabilitas adalah inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB).
Last but not least, sestrategis apapun lokasinya, sebaik apapun reputasinya, dan sebagus apapun produk dan layanannya, tidak akan terlalu berpengaruh jika tidak dikenal oleh masyarakat. Oleh karena itu, promosi harus terus dilakukan agar masyarakat kenal dan mengetahui tentang produk tersebut.
Penutup
Mengetahui dimana letak kekurangan yang menyebabkan adanya jarak antara masyarakat dengan perbankan syariah akan memudahkan untuk melipat jarak tersebut. Persepsi masyarakat akan bertahap berubah dalam memandang bank syariah. Tidak lagi menyamakan dengan bank konvensional dan menganggap beda hanya pada tulisan syariah yang ditulis dengan gaya kearab-araban. Selain itu, usaha mendekatkan bank syariah dengan masyarakat tidak dapat dilakukan secara individual dan parsial. Perlu adanya sinergi antara semua stakeholder, seperti pemangku kebijakan, praktisi, dan akademisi. Dan yang perlu kita pahami dan sadari bersama bahwa ketika kita berusaha dekat dan menggunakan bank syariah bukan hanya mencari keuntungan tapi lebih dari itu, yaitu keberkahan.
Referensi
Ahyar, M. K. (2019). Analisis Pengaruh Inklusi Perbankan Syariah terhadap Pembiayaan UMKM Sektor Halal di Indonesia. Al-Tijary, 5(1), 1936. https://doi.org/10.21093/at.v5i1.1716
Mujaddid, F., & Wulandari, S. (2017). Analisis Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Rentabilitas Bank Syariah dii Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam, 8(2), 202218. http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jei%0Ahttps://journal.uhamka.ac.id/index.php/jei/article/view/838
Rahmanti, V. N. (2019). Mengapa Perbankan Syariah Masih Disamakan Dengan Perbankan Konvensional? IMANENSI: Jurnal Ekonomi, Manajemen Dan Akuntansi Islam, 1(1), 6274. https://doi.org/10.34202/imanensi.1.1.2013.62-74
www.ojk.go.id
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.