Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sapto Nugroho Hadi

Pengalaman dengan Bank Syariah, dari Coba-coba, Berlanjut Hampir Putus Asa, Berakhir Penuh Asa

Gaya Hidup | 2021-05-19 23:27:38

Hanya ingin berbagi pengalaman perjalanan mengenal bank syariah untuk #retizencompetition. Pertama kali saya mengenal bank dengan sistem adalah di awal tahun 2000-an. Saat itu saya sedang menimba ilmu di kampus IPB Bogor. Saat itu periode saya ingin mengenal lebih jauh tentang pengamalan beragama (islam), tidak hanya melulu soal ibadah, tetapi juga muamalat. Salah satunya saya ingin mencoba menabung di lembaga keuangan yang namanya bank syariah sebagai bentuk pengamalan ajaran agama islam.

Saat saya kecil sampai SMA, saya belum mengenal bank syariah. Bahkan bank konvensional sekalipun saya masih awam. Harap dimaklumi, saya lahir dan besar di sebuah dari di kaki bukit di Kabupaten Cirebon. Saat itu belum ada banyak bank yang berdiri di dekat tempat tinggal orang tua saya. Kalau menabung, dari uang sisa jajan atau beasiswa sekolah, paling saya mengunjungi kantor pos, yang lokasinya dekat sekolah. Tampak jadul banget ya saya...tapi memang begitulah saya saat itu. Pilihan menabung hanya dua, kalau enggak di celengan, ya...di kantor pos. Bank konvensional seperti bank BRI memang sudah ada, tapi tempatnya agak jauh, jadi sulit akses ke sana. Apalagi orangtua saya tidak punya kendaraan saat itu. Wong sekolah saja saya jalan kaki, menempuh perjalanan kira-kira 2 km.

Kembali ke masa saat saya kuliah di Bogor. Berbekal rasa ingin coba-coba, saya memberanikan diri membuka rekening tabungan di bank syariah. Seingat saya dulu nama banknya, Bank mandiri syariah. Tapi saat itu fasilitas bank syariah masih minim, mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) pun masih satu-dua. Karenanya, saya juga membuka rekening di bank konvensional, yang notabene fasilitasnya jauh lebih banyak. Maksud saya, bank konvensional digunakan untuk menerima transferan bulanan dari kakak di kampung, juga transferan beasiswa dari kampus setiap beberapa bulan sekali. Sementara bank syariah saya gunakan untuk menabung sisa uang pengeluaran, itu pun kalau ada, hehehe. Jadi saya bisa tenang lahir batin, bisa tenang kebutuhan ekonomi, juga tenang terkait kebutuhan rohani karena menabung di bank syariah.

Hubungan saya dengan bank syariah terus berlanjut, meski segala keterbatasan masih harus saya temui. Apalagi saat saya mulai bekerja di Batam, Kepulauan Riau di pertengahan tahun 2005. Untuk bisa ke ATM bank syariah, saya harus menempuh perjalanan lebih dari 15 km dari tempat tinggal sekaligus tempat kerja saya. Sebagai informasi, saya tinggal dan bekerja di Kawasan Industri Latrade Tanjung Uncang, sementara posisi bank BSM ada di Kawasan Industri Batamindo, Mukakuning. Padahal bank konvensional, bank yang digunakan perusahaan untuk membayar gaji saya, ATM-nya hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat kerja saya.

Saya berharap ada kantor cabang bank syariah di dekat tempat tingga saya atau paling tidak ATM-nya saja, sudah cukup. Tetap ternyata sampai delapan tahun kemudian, sepertinya harapan saya belum juga terwujud. Yang justru semakin menjamur adalah ATM-ATM bank konvensional. Sepertinya bank konvensional terus berusaha semakin dekat di hati pelanggannya, semakin memanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan. Sementara bank syariah, entah kepikiran atau tidak mau mendekatkan diri ke nasabahnya. Jangan-jangan boro-boro mau membangun banyak fasilitas, untuk bisa beroperasi saja nafas mereka sudah tersengal-sengal. Sejujurnya saya sudah hampir putus asa menjalani hubungan dengan bank syariah. Kalau bukan karena dorongan pengamalan ajaran agama, bisa pastikan saya sudah moved on dari dulu dari bank syariah. Saya anggap pergerakkan kemajuan bank ini super duper lambat dibanding bank konvensional!

Pertengahan tahun 2013, saya pindah tugas ke pulau jawa, tepatnya di kota purwokerto, provinsi Jawa Tengah. Saya putar haluan dari karyawan swasta menjadi Aparatur Sipil Negera (ASN). Saat pertama kali kerja di Purwokerto, saya belum memboyong isteri. Baru selepas satu tahun saya tinggal di kota mendoan ini, isteri saya ajak sekalian. Beruntung saat saya pindah memboyong isteri, saya sudah mulai mencicil rumah. Ini terbilang nekad! Bagaimana tidak, penghasilan saya 60 persennya sudah dipotong untuk bayar cicilan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah). Sementara isteri dari awalnya karyawan swasta berubah menjadi mengurus rumah tangga.

Berbicara terkait KPR. Saya punya pengalaman menarik. Asli ini kalau nggak kuat-kuat banget iman, mungkin saya sudah tergoda mengambil kredit rumah ke bank konvensional. Bayangkan, saat awal tahun 2014, cicilan KPR di bank syariah setiap bulannya Rp 2.025.000, padahal kalau bank konvensional paling di kisaran Rp 1,6 juta. Lumayan banget kan bedanya. Perbedaan 400 ribu bagi ASN yang baru memulai karir di kota yang jauh dari sanak saudara itu sangat berarti. Dalam benak saya, kenapa sih margin bank syariah bisa sebesar itu, sementara bank-bank konvensional berani menawarkan bunga yang jauh lebih kecil. Tapi untungnya, cicilan di bank syariah bisa flat, jadi saya bisa nyicil dalam jumlah sama setiap bulan untuk jangka waktu 15 tahun. Lumayan banget lah, meski di awal-awal cicilannya mahal, tetapi di tahun-tahun berikutnya saat penghasilan meningkat sementara cicilan tetap, saya bisa mulai bisa bernafas lega. Dan tersenyum, untung jadinya mengambil KPR di bank syariah, megap-megap di awal tidak apa, yang penting lega di pertengahan dan akhir.

Dari cicilan KPR inilah saya mulai terbuka. Bank syariah juga punya keistimewaan, selain berusaha taat aturan agama, juga beragam kemudahan dan fasilitas yang mulai banyak ditawarkan. Apalagi semenjak ketiga bank syariah besar di-merger pemerintah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), nilai kapitalnya yang jauh lebih besar diharapkan mampu menghadirkan kepercayaan lebih bagi konsumen untuk bisa menabung atau meminjam uangnya di sana. Saya berharap kehadiran BSI ini pertemanan saya dengan bank syariah terus bisa terjaga. Tapi tolong juga, BSI harus mampu bersaing dengan bank konvensional dengan menawarkan lebih banyak produk yang menguntungkan agar konsumen dari saya tidak sampai lari karena putus asa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image