Politik Identitas Penguatan Etnis Tionghoa
Politik | 2022-04-19 04:20:33Di era reformasi kita dihadapkan di dominasi politik identitas. berita SARA menjadi indera kepentingan politik. oleh sebagain pengamat politik, jika ini dibiarkan, maka akan bisa berujung di fasisme. banyak sekali kekuatan politik dan kelompok-gerombolan strategis pada rakyat berlomba-lomba memainkan sentimen agama, ras, etnis, serta jender buat menggolkan agenda-agenda politiknya.
Pemilu presiden 2014 merupakan gambaran kondisi politik paling vulgar tentang bagaimana politik identitas dioperasikan. Hal yang sama terulang pada pilkada DKI Jakarta. Mengapa politik ciri-ciri ini dominan dalam perbincangan publik kita? terdapat dua penyebabnya: Pertama, Absennya kontestasi ideologi menyebabkan seluruh kekuatan politik ini mengandalkan identitas sebagai daya tarik serta daya ikat konstituennya. ke 2, politik identitas ini juga terfasilitasi sang perkembangan kelembagaan politik pasca Soeharto, khususnya menggunakan maraknya pemekaran wilayah-wilayah baru hasil berasal kebijakan otonomi wilayah. pada daerah-daerah baru ini, politik identitas merupakan pondasi utama bagi setiap kontestan buat memenangkan pertarungan politik formal serta informal.
berdasarkan pandangan saya, saya sepakat menggunakan dua penyebab mengapa politik ciri-ciri ini mayoritas dalam perbincangan publik kita, Politik ciri-ciri merupakan sebuah alat politik suatu kelompok mirip etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya buat tujuan tertentu, misalnya menjadi bentuk perlawanan atau menjadi alat buat menandakan jati diri suatu kelompok tersebut. identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk menerima dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Dalam hal ini ada contoh permasalahan golongan etnis tionghoa yang memang Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda ketika masa penjajahan, mengharuskan orang Tionghoa buat tinggal di satu daerah eksklusif serta hanya boleh keluar dari area tersebut sesudah menerima kartu pass biar keluar. subordinat dalam bentuk politisasi identitas terhadap etnis Tionghoa tidak hanya terjadi di masa pemerintahan Hindia Belanda, namun terus dilanjutkan pada masa setelah kemerdekaan, tepatnya pada era demokrasi liberal, diterapkan sebuah aturan yang dianggap sistem benteng (Suryadinata, 1984) yg artinya kebijakan yg dikeluarkan pemerintah buat melindungi para importir nasional yang notabene nya merupakan importir pribumi asal importir asing, serta para pengusaha Tionghoa tidak masuk pada kategori importir nasional tadi
Politisasi ciri-ciri dilanjutkan sang presiden Soekarno pada masa Orde lama , yaitu saat timbul kampanye anti Guomindang (Kuomintang) pada tahun 1958 sebab campur tangan Taipei pada pemberontakan di daerah. Sekolahsekolah China yg ada hubungannya menggunakan Kuomintang ditutup, dan pada tahun 1965 sebuah perebutan kekuasaan yang melibatkan gerombolan komunis bisa digagalkan (Suryadinata, 1999).
Saya berpendapat bagaimana kuat nya politik etnis Tionghoa pada Indonesia pasca orde baru, terdapat dua hal krusial yg dapat dianalisa. Pertama, Orientasi politik dari etnis Tionghoa pasca orde baru dan kedua, penguatan ciri-ciri politik menggunakan keterlibatan etnis Tionghoa pada politik mudah pada Indonesia Hal ini sebagai salah satu nilai dasar asal multikulturalisme pada kehidupan demokrasi pada Indonesia menggunakan memberikan keyakinan bahwa etnis Tionghoa memiliki posisi yg sama menggunakan etnis-etnis lainnya yang ada pada bumi Indonesia. Mereka mempunyai kecenderungan hak-hak sosial dan politik
Pasca orde baru, kemandirian negara belum terdapat nya bukti konkrit , sebab kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh etnis Tionghoa beredar pada organisasi dan berfungsi dengan sempurna pasca orde baru/iklim reformasi.
.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.