Kisah Dr Mueen, Dokter Spesialis Gaza Lulusan Indonesia
Info Terkini | 2021-05-16 19:57:53Anak bule berhidung mancung itu disapa Ziyad. Dia satu dari sembilan anggota sebuah keluarga asal Gaza, Palestina, yang saya jumpai di Hotel Syariah, Solo, Jawa Tengah, pada 2018 lalu. Selain punya wajah menggemaskan, Ziyad pun tergolong anak yang energik. Dalam sesi makan malam itu, dia selalu berhasil menarik perhatian dengan segala polah tingkahnya.
Makan malam itu menjadi momentum terakhir Ziyad merantau bersama keluarganya di Nusantara. Ayah Ziyad, dr Mueen Al Shurafa, baru saja menyelesaikan studinya di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo. Dr Mueen sah menyandang titel spesialis anastesi di belakang namanya. Sebuah profesi yang masih langka di daerah sepadat Gaza.
Malam itu, dr Mueen bercerita mengenai banyak hal. Dari masuk ke Tanah Air pada 2012, sempat gagal masuk tes PPDS di Universitas Indonesia (UI), hingga kegalauannya untuk melanjutkan program serupa di Universitas Sebelas Maret. Yang terakhir ini, dia merasa pendidikan PPDS di Indonesia amat sulit. Tidak ada waktu istirahat. dr Mueen harus mulai masuk kelas pukul 06.00 pagi kemudian dilanjutkan dengan sesi jaga di kamar operasi dari pukul 08.00 hingga 20.00. Beruntung rencana untuk menyerah kandas. Dia tak mau mengecewakan sponsor yang telah mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk studinya.
dr Mueen sebenarnya bisa memilih tidak kembali ke Gaza. Dia dapat hidup enak dengan gaji melimpah karena statusnya sebagai dokter spesialis anastesi. Ditambah lagi, anak-anaknya, termasuk Ziyad, sudah betah tinggal di Solo. Mereka bahkan punya makanan favorit selama tinggal di Indonesia. Nasi Padang. Ditambah, salah satu anak gadis dr Mueen yang sudah beranjak remaja memilih tidak ikut dalam sesi makan malam perpisahan. Besar di Gaza dengan perang dan konflik berkepanjangan, anak gadis itu sudah amat nyaman tinggal di Indonesia. Dia berat untuk terbang meninggalkan Solo esok paginya.
Tapi, apa yang dikatakan dr Mueen saat saya menyodorkan pertanyaan itu kepadanya? Berikut kutipan lengkap dokter Mueen yang sudah fasih berbahasa Indonesia. Kutipannya sempat dimuat di Islam Digest Republika edisi 9 September 2018 lalu,
Alhamdulillah target saya memang balik lagi. Bukan target saya untuk hidup lebih bagus. Saya merasa bangsa Palestina minta dokter bantu di sana. Itu kalau saya mau kerja tinggal di Indonesia bisa. Tapi, BSMI (donor) yang membiayai saya untuk masuk PPDS bukan untuk target sendiri saja. Tapi, untuk balik lagi Palestina. Di kasih saya direct, tapi indirect untuk bantu mereka. I give you the money but many people can get benefit from you. Saya harus go back. Walaupun hidup di Gaza pasti sulit. Anak saya ada yang enggak mau ikut acara malam ini. Dia mengeluh sakit. Saya tahu ini psikologi. Dia enggak mau ikut karena acara ini jadi perpisahan kita mau balik lagi ke Gaza.
Selepas kepergian dr Mueen, saya sempat kembali berbincang dengannya via telepon pada 2019 lalu. Kala itu, Gaza sedang mengalami krisis air dan listrik. Ditambah, krisis finansial yang dialami otoritas setempat. Pegawai pemerintah termasuk dr Mueen tidak mendapat gaji yang layak. Mereka harus rela gajinya diutang pemerintah. Sebagai hiburan, mereka dapat melihat saldo sebelum terutang di rekening mereka. Meski demikian, saya tidak menangkap keresahan di suara dr Mueen. Di sela kesibukannya di kamar operasi, dr Mueen mengungkapkan, dia bersyukur masih bisa hidup layak bersama keluarganya. Padahal, dia adalah seorang dokter spesialis yang mestinya mendapat gaji di atas rata-rata.
Â
Lepas lebaran ini, rasa kemanusiaan kita bergidik. Puluhan anak tewas akibat rudal-rudal Israel. Hingga Sabtu (15/5), setidaknya ada 31 anak Palestina dibunuh. Eskalasinya pun kian meningkat. Total warga sipil Palestina yang tewas mencapai 132 orang hingga Sabtu. Ingatan saya pun berputar kepada senyum Ziyad dan sosok dr Mueen. Saya mencoba menghubunginya tapi belum ada jawaban.
Saya berhusnudzon karena pastilah dr Mueen sedang sibuk menolong para korban di kamar operasi. Maklum saja, jumlah dokter spesialis di Gaza tidak banyak. Mereka bahkan belum memiliki sekolah atau program pendidikan untuk dokter spesialis sendiri. Jika hendak menempuh spesialis, mereka mesti pergi ke luar negeri, persis seperti yang dilakukan dr Mueen.
Di Palestina, ada sekitar 2.500 dokter yang bertugas. Kebanyakan masih berstatus dokter umum. Dr Ashraf Abu MHadi, seorang perwakilan Kementerian Kesehatan di Gaza pernah mengatakan kepada saya jika Gaza butuh banyak dokter spesialis bedah vaskuler. Dia mencontohkan, selama aksi Great Return March pada 13 Maret 2017 sampai Januari 2018, ada 26 ribu orang cedera. Separuh dari mereka luka karena amunisi. Demonstran lainnya cedera di bagian tubuh. Belasan ribu pasien harus antre di rumah sakit. Mereka berpacu dengan waktu. Sementara, mereka tidak memiliki kapasitas dokter spesialis yang mumpuni.
Saya merasa ini menjadi peran yang mesti dimaksimalkan Pemerintah RI. Bukan hal yang baru karena beasiswa dari Kementerian Pendidikan juga sudah menyentuh warga Palestina. Pada 2018 misalnya, ada tujuh orang yang mendapat beasiswa untuk studi di Indonesia. Tidakkah suatu kehormatan besar bagi bangsa ini dapat melahirkan dokter pejuang seperti dokter Mueen yang berdiri di garis depan pertempuran sebagai tenaga medis? Semoga setelah perang ini reda, kita bisa menambah kuota beasiswa kedokteran untuk mereka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.