Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhamad Shadam Ghifari Heryanto

Arti Penting Merger Bank Syariah Indonesia (BSI)

Eduaksi | Friday, 14 May 2021, 14:10 WIB

Seperti yang kita ketahui, bahwa merger Bank Syariah Indonesia (BSI) dilakukan pada awal Februari 2021 Masehi. BRI Syariah, BNI Syariah, hingga Mandiri Syariah bergabung menjadi satu lembaga keuangan syariah.

Dahulu, BRI Syariah dikenal sebagai Bank Syariah yang mengutamakan hutang untuk pembiayaan UMKM, Mandiri Syariah dikenal sebagai Bank Syariah yang mengutamakan hutang untuk perusahaan skala besar dan BNI Syariah dikenal sebagai Bank Syariah yang mengutamakan pembayaran sekolah maupun kampus. Penggabungan beberapa anak usaha Bank Pelat Merah ini, diharapkan dapat melayani pelanggan dari berbagai sektor.

Proses perampingan Lembaga Keuangan (Bank) sangat baik untuk jangka panjang. Dengan adanya gabungan dari 3 bank tersebut, maka aset yang dikelola lembaga keuangan akan semakin besar serta pengelolaan dan peningkatan ekonomi bisa menjadi lebih terpusat. Peristiwa perampingan Bank juga memudahkan masyarakat dalam bertransaksi di Kantor Cabang Pembantu maupun jaringan ATM yang tersedia. Karena, sebelum proses penggabungan 3 bank ini, masyarakat tampak kesulitan untuk bertransaksi secara luring.

Sekarang sudah memasuki era kerjasama, bukan era merintis dari bawah. Maka, penggabungan yang dilakukan BSI, bisa menjadi momentum agar Bank Syariah memiliki daya saing di kancah domestik, tentu saja dengan tetap menjalankan prinsip syariah. Bank Syariah sudah waktunya untuk bersatu, tidak berjalan sendiri-sendiri. Hal ini agar masyarakat tidak bingung untuk memilih Bank Syariah yang sudah luas jangkauan nya.

Tantangan Bank Syariah yang paling utama yaitu nasabah yang menggunakan fasilitas Bank Syariah. Melihat pangsa pasar yang dilihat di berbagai portal berita, masih berkutat sekitar 5-6%. Padahal, masyarakat muslim di Indonesia paling banyak di dunia secara statistik. Maka, setelah merger 3 bank ini, perlu adanya langkah strategis yang diterapkan oleh BSI agar bisa menjangkau seluruh masyarakat. Misalkan, mengajak para pengusaha untuk membayar upah karyawan menggunakan BSI, mengajak masyarakat menabung dengan prinsip Wadi'ah yad Dhamanah yang bebas biaya admin dan tanpa ada imbal hasil, bekerjasama dengan berbagai toko ritel untuk pengadaan EDC, dan lain sebagainya.

Saya rasa, dengan ada nya Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai hasil dari penggabungan 3 Bank, tentu saja belum cukup. Langkah selanjutnya, tentu BSI harus bisa mengakuisisi Bank Pembangunan berbasis syariah yang dimiliki oleh tiap provinsi (Contoh: BJB Syariah, Bank Kalsel Syariah), serta mencaplok BPR yang dimiliki oleh tiap pemerintah Kabupaten / Kota. Mengapa saya memberikan saran seperti itu? Karena, menurut saya pribadi, lembaga keuangan lebih tepat dijadikan secara terpusat. Dengan tujuan, pengelolaan keuangan serta perencanaan ekonomi bisa lebih terarah dan mudah dipantau. Dengan pola sistem ekonomi terpusat, maka perencanaan keuangan di daerah bisa lebih difokuskan kepada sektor riil ketimbang sektor moneter.

Saya mengamati secara sekilas, di daerah saya sudah terlalu banyak lembaga keuangan baik Konvensional maupun Syariah yang diharapkan bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun kenyataan nya tidak seperti itu, fenomena membludaknya lembaga keuangan yang di daerah menjadikan masyarakat cenderung bersifat hedonisme. Kredit konsumtif terlalu masif digunakan oleh masyarakat daerah yang minim literasi keuangan. Sebaiknya, peningkatan ekonomi di daerah lebih difokuskan pada sektor riil agar aksesibilitas dan ketimpangan yang terjadi di daerah bisa segera teratasi.

Maka, dengan hadirnya BSI tentu harus bisa menjawab tantangan pemerataan pembangunan yang berada di daerah dengan mengedepankan prinsip syariah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image