Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karta Raharja Ucu

Bunga Krisan untuk Ibu (Cerpen Idul Fitri)

Sastra | 2021-05-13 01:36:47

Celebi baru saja hendak menutup toko bunga miliknya di pinggir jalan dekat taman kota. Satu vas dengan beberapa tangkai bunga dipegangnya karena hendak dibawa pulang ke rumah. Sore itu selepas Shalat Ashar, sayup-sayup suara orang mengaji terdengar dari pengeras suara masjid di seberang tokonya. Ramadhan memasuki hari terakhir. Esok, Lebaran menyapa.

Sore itu, Celebi ditegur seorang anak berusia sekitar 10 tahun. Tubuhnya kurus dengan rambut cepat dan pipi tirus. Anak itu memakai kaus merah yang sudah pudar warnanya. Belel kerahnya. Sementara celana panjangnya tak jauh berbeda nasib dengan kaus yang dipakai. Lusuh.

"Mas, masih bisa saya membeli bunga?" anak itu hati-hati menegur Celebi yang sedang menarik pintu toko.

Celebi melihat sekilas, lalu meneruskan aktivitasnya menutup pintu toko lalu mengunci dan menggemboknya. "Mau bunga apa, Dik?"

"Apa saja Mas. Untuk ibu saya," suara anak itu parau. Jemari tangan kanannya memegang ujung kaus.

"Owh, kalau buat ibu, bunga ini saja," Celebi memberikan tiga tangkai bunga krisan. Dua berwarna kuning, satu berwarna putih. Masih segar, belum ada yang layu.

"Kalau ini berapa harganya, Mas?"

"Itu sepuluh ribu saja, Dik."

Tangan kiri anak itu menggenggam bunga yang diberikan Celebi. Tangan kanannya lalu merogoh kantong celana. Ia hanya menemukan dua lembar uang seribu rupiah dan satu lembar dua ribu rupiah. Tak cukup.

Celebi melihat sekilas kegelisahan anak itu, lalu ia tersenyum. "Tak apa, Dik. Sudah itu buat adik saja. Mas juga sudah mau menutup toko, mau pulang ke rumah karena besok sudah Lebaran."

"Benar Mas? Wah terima kasih," ujung bibir anak itu tertarik. Ada senyum kebahagiaan di sana. Matanya berbinar gembira.

"Rumahmu di mana, Dik?" kini Celebi yang sudah rampung dengan urusan toko membalikkan badan.

"Di Desa Gumitir, Mas. Di dekat persawahan."

"Kamu mau pulang kan? Mari pulang bareng Mas. Mas juga lewat ke arah sana."

Celebi mengajak anak itu naik ke dalam city car warna merahnya. Vas bunga yang hendak dibawa pulang diletakkan di bangku belakang. Di dalam mobil, anak itu yang duduk di kursi penumpang depan lebih banyak diam. Beberapa pertanyaan yang diberikan Celebi tak dijawab dengan banyak patah kata.

"Bapak kamu kerja apa, Dik?"

Anak itu diam. Wajahnya terus melihat ke arah luar jendela.

"Ibu kamu pasti senang diberikan hadiah bunga. Kamu anak yang baik."

Mobil terus mengaspal melintasi jalan perbatasan kota dengan persawahan. Ketika sampai di sebuah kompleks pemakaman, anak itu meminta mobil diberhentikan. Jarak dari toko bunga Celebi dengan kompleks perumahan abadi itu hanya sekitar 3,5 kilometer.

"Mas tolong berhenti di sini. Ibu saya ada di dalam," anak itu menunjuk ke arah pemakaman. Ia turun dari mobil, sebelum mengucapkan terima kasih dan mencium tangan Celebi.

Celebi di balik kemudi hanya bisa diam. Sekeping hatinya remuk. Ia lalu keluar dan menghampiri anak itu sambil berlari kemudian memeluknya. "Sabar ya, Dik, sabar. Kamu anak sholeh, doakan ibumu mendapatkan surga."

Celebi lalu merogoh kantong kaus berkerahnya. Ada Rp 50 ribu di sana. "Ini Mas punya sedikit uang untuk kamu jajan ya," kata Celebi, "kamu yang sabar ya. Mas pulang dulu."

Anak itu bertambah senyum. Ia mengangguk lalu pergi berjalan ke dalam kompleks permakaman.

Celebi mendekati mobilnya. Melihat layar ponselnya, mencari foto ibunya. "Bu, maaf aku jarang menegok ibu. Hari ini aku akan datang."

Laki-laki yang memelihara jenggot dan kumis itu lalu masuk ke dalam mobil. Ia mengurungkan niat kembali ke rumah. Kini ia mengendarai mobilnya menuju sebuah rumah di seberang kota. Rumah orang tuanya. Saat jalanan lenggang menjelang Lebaran seperti sekarang, hanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai ke rumah orang tuanya dari tempatnya bertemu anak pembeli bunga.

Mobil memasuki halaman rumah orang tuanya. Rumah joglo dengan pekarangan seukuran lapangan bulu tangkis dan ditanami beberapa pohon sawo, mangga, serta kelapa. Mobil Celebi diparkir di samping pekarangan. Ia turun, membawa satu vas yang berisi beberapa tangkai bunga. Termasuk bunga sedap malam, bunga favorit ibunya.

Celebi tak langsung masuk ke dalam rumah. Ia melangkahkan kakinya ke halaman samping rumah. Ia mendekati pendopo bertiang kayu jati, di sana orang tuanya berada. Di bawah naungan pendopo Celebi mendekati orang tuanya. Melepas sepatu, lalu mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Bu, Pak. Celebi pulang," kata Celebi sembari mengelus dua buah nisan yang tertancap di atas tanah makam kedua orang tuanya.

***

Puluhan kilometer dari tempat Celebi berdiri, anak pembeli bunga sedang bercanda dengan adiknya di teras sebuah rumah yang menyatu dengan kompleks pemakaman. Mereka bermain mengumpulkan kembang kamboja lalu merangkainya.

Sementara tiga tangkai bunga krisan yang didapatkan anak itu dari Celebi kini digenggam seorang perempuan yang sore itu memakai kain batik dan baju lurik. Perempuan berkulit cokelat dengan hidung bangir itu duduk di sebuah kursi kayu sembari memerhatikan kedua anaknya bermain. Suami perempuan itu sudah lama tak pulang setelah merantau ke Kalimantan 5 tahun lalu.

"Parjo, terima kasih sudah memberikan ibu bunga."

Anaknya itu tersenyum. Ia senang bunga yang dihadiahi Celebi ternyata mampu mengembalikan senyum ibunya yang telah lama hilang. "Ini bu, untuk beli ayam dan ketupat. Ini hadiah dari mas penjual bunga," Parjo memberikan uang dari Celebi kepada ibunya.

BACA CERITA LENGKAPNYA DI SINI.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image