Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Radhi Mafazi

Perlukah Menghargai yang Tidak Mudik?

Info Terkini | 2021-05-10 19:39:35

Pelarangan mudik secara resmi diberlakukan oleh pemerintah sejak tanggal 06 Mei 2021, pintu-pintu perbatasan antar daerah di tutup serta diperketat penjagaanya, alat transportasi pengangkut penumpang dibatasi ruang geraknya. Hingga menimbulkan sebuah fenomena baru di tengah masyarakat. Fenomena yang mengguncang sisi kemanusiaan saya sebagai seorang perantau.

Pasalnya di tengah pelarangan mudik tahun ini, pemerintah melakukan penutupan perbatasan antar daerah, dengan membentuk posko-posko pencegatan. Seperti sebuah teori pelarangan kepada anak kecil, semakin dilarang semakin dilakukan. Pada akhirnya banyak sekali perantau yang nekat melakukan mudik dan terlibat adu mulut demi menerobos perbatasan yang dijaga oleh aparat.

Bahkan kalimat bijak bestari yang sering dijadikan bahan bakar para pemudik nekat, kini mulai sering seliweran di media sosial Mudik ga mudik corona tetap ada, ga mudik tahun ini, tahun depan orang tua belum tentu masih ada.

Weeh, saya yang tahun lalu tidak mudik sudah mempersiapkan diri lebih awal di tahun ini, dengan sedemikian rupa untuk menerima rasa sakit itu kembali. Rasa sakit yang muncul ketika sendirian di kamar kos mendengarkan lantunan takbir dari toa-toa masjid, diselimuti suasana khas malam idhul fitri menusuk hati. Ditambah lagi dengan melihat kalimat bijak yang dijadikan bahan bakar kenekatan itu.

Sungguh, tidak ada peri kemanusiaan bagi manusia yang dengan sengaja menimbulkan visualisasi rasa sakit hati melalui kalimat tersebut. Tak bisa dipungkiri memang itu adalah kalimat yang masuk akal. Terlebih bagi saya yang tahun lalu sempat bisa curi-curi waktu untuk pulang kampung, tetapi bukan saat lebaran.

Tetapi kawan, sauasana malam takbiran yang dibalut dengan kehangatan sosial dari keluarga tidak bisa tergantikan oleh apapun. Hingga pada akhirnya rasa sakit itu terus berlanjut, mudik antar daerah yang juga coba diterapkan ternyata juga tidak diindahkan.

Seolah saling menghargai antar sesama sudah sirna dimakan keegoisan, saya semakin yakin mudik di kalangan masyarakat nusantara sudah mulai menjauhi nilai-nilai luhur yang lekat dengan rasa kemanusiaan. Kembali ke kampung halaman, hanya sebatas rutinitas semata, yang menyebabkan hilangnya momentum penyembuhan batin.

Momentum Penyembuhan

Saya sedikit bisa merasakan kenapa mereka para perantau yang nekat melakukan mudik, dengan menerabas titik-titik perbatasan begitu gembira ketika bisa lolos dari hadangan aparat. Rasa sakit pada jiwa mereka mungkin sudah tidak tertahankan dibandingkan dengan saya.

Momentum pulang kampung, memiliki sebuah nilai dasar untuk penyembuhan luka batin, apabila dilakukan dengan benar. Dibuktikan dengan hasil penelitian seorang ilmuwan bernama Sheldon Cohen (Goleman,2017), yang meneliti tingkat kesembuhan pada pasien virus Rhino yang dikaitkan dengan keterikatan sosial.

Menariknya dari hasil penelitian Cohen ini bahwa ada hubungan yang kuat antara keterikatan sosial yang kuat dari pasien virus Rhino, dengan kesembuhan mereka. Hingga pada kesimpulan Cohen membuat rekomendasi pada pasien virus Rhino untuk membuat sekutu biologis.

Yaitu melakukan pertemanan yang intim pada orang-orang baru yang membuat dirinya terbuka. Tujuan hanya satu, agar saling menerima dan menghargai. Bahkan dari hasil lebih lanjut dari penelitian cohen menyebutkan bahwa manusia yang terintegrasi secara sosial , yaitu memiliki hubungan sosial yang intim terhadap oranglain, serta mengambil bagian secara luas dalam hubungan tersebut, akan pulih lebih cepat dari penyakit dan hidup lebih lama.

Luarbiasa bukan? Niat suci agar hidup lebih lama di tengah keterbatasan gerak, kini sirna. Berbagai peristiwa yang jauh dari kata kemanusiaan, menjadi sajian sehari-hari. Hingga saya harus selektif dalam memilih informasi dengan tujuan besar, agar bisa bertahan hidup lebih lama, atau setidaknya menjaga sisi kemanusiaan saya.

Pantaskah Dihargai?

Mungkin sedikit egois, ketika saya harus menyamakan keadaan ini. Saya juga tidak bisa serta merta menyalahkan mereka. Tetapi, fenomena ini menjadi begitu rancu dan menjadi racun yang menghancurkan sisi kebaikan manusia, setelah di masak matang-matang oleh Ramadhan.

Semuanya sirna demi sebuah gengsi tradisi, akibat kalimat bijak bestari yang disalah tafsirkan begitu saja. Mungkin saya bukan seorang yang paham betul tentang ilmu agama. Tetapi layaknya manusia, peristiwa spiritual seperti suasana Ramadhan dan Idhul fitri yang berbeda dari hari-hari lainnya saya rasakan.

Pada tahun lalu, ketika tidak dapat mudik setelah shalat magrib bersama isteri, pada malam Idhul Fitri niat hati ingin menumpahkan air mata, saat sedang memfokuskan diri sambil melantunkan takbir tetiba dari terdengar suara sesenggukan dibelakang saya.

Ealah ternyata keduluan sama dek bojo, yasudah biarkan dia menangis gumam saya waktu itu. Kadang hidup ini keras, mau nangis juga harus mengalah. Memang yang namanya luka, pasti selalu ada obatnya entah bagaimana nanti ini akan saya temukan.

Dengan niat suci menemukan penawar lara, yang menjalar di tanah rantau. Saya berinisiatif mengikuti agenda mudik secara virtual di Jogja. Ya, itu adalah kampung halaman saya, yang kata orang-orang Tuhan menciptakan Jogja ketika sedang jatuh cinta.

Tetapi bagi saya sendiri, Tuhan menciptakan cinta tanpa syarat untuk saya di Jogja. Keluarga yang berada disana pasti juga menunggu, dan berharap saya dapat pulang. Jangan, gampang mengatakan virtual-virtual, kalau jarak antara kalian dengan keluarga hanya beberapa ratus kilo. Dan didukung jaringan internet yang ciamik.

Ritual mudik yang kini tinggal kenangan, adalah salah manusia sendiri. Pelajar penting bagi saya, kalau membenci secukupnya saja. Apabila ia hilang, yang di sisakan hanyalah luka. Banyak dari manusia yang tidak bisa menghargai sebuah moment spesial.

Seperti halnya saya, ketika mudik malah memilih kelayapan, dan kulineran. Memuaskan nafsu semata, moment spesialnya hilang begitu saja.

Oleh sebab itu, layaknya manusia yang memiliki sifat kemanusiaan sebagai pembeda antara manusia satu dan lainnya. Akan lebih afdhal bila saling menghargai, apabila hal ini masih diperlukan.

Atau malah saya butuh dihargai karena tidak berharga atau merasa berharga, jijik sekali. Terakhir saya ingin mengutip satu paragraf dari Mark Manson dalam bukunya yang berjudul Everything is F*cked perihal diri yang merasa berharga

Kelak, kamu dan semua orang yang kamu cintai akan mati. Dan dalam sekelompok kecil orang, selama waktu yang cukup singkat saja, hanya sedikit kata-kata atau tindakanmu yang masih berpengaruh. Inilah kebenaran yang menggelisahkan tentang kehidupan. Dan semua yang kamu pikirkan dan kerjakan, hanyalah untuk menghindari kenyataan itu. Kita adalah debu kosmik yang tidak berguna, saling bertabrakan yang merasa sok penting. Kita mencari-cari tujuan kita. Kita bukan apa-apa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image