Blended Learning, Angin Segar Juga Pesona yang Menyesakkan
Eduaksi | 2021-05-10 02:42:21Akhir-akhir ini istilah blended learning menjadi topik perbincangan yang cukup hangat dibicarakan. Sepintas lalu, blended learning membawa pesona tersendiri bagi dunia pendidikan, terutama setelah setahun pandemi Covid-19 melanda dunia.
Pesona blended learning, seolah membawa angin segar dalam menghadapi proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Bahkan dinilai menjadi salah satu alternatif pembelajaran yang sedang dipersiapkan menghadapi era baru pasca pandemi.
Lantas, bagaimana dengan kesiapan dunia pendidikan di Indonesia, lebih khusus lagi kesiapan sekolah-sekolah untuk beradaptasi dengan metode yang memesona ini?
Cukup Menyesakkan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama (Balitbang Kemenag) merilis laporan hasil Survei Pelaksanaan Belajar dari Rumah pada Masa Covid-19 di Madrasah dan Sekolah. Survei yang dilaksanakan secara daring pada Mei 2020 itu memfokuskan responden siswa dan orang tua.
Dari survei itu diperoleh responden siswa 32.579 orang dan orang tua sejumlah 18.280 orang. Hasil survei tentang kesulitan yang paling dihadapi dalam pembelajaran dari rumah selama Covid-19 diperoleh data 17% menyatakan bahwa orang tua tidak terbiasa mendampingi anak belajar di rumah. 21% orang tua menyatakan keterbatasan biaya, dan yang paling besar persentase tentang keluhan sarana prasarana yang terbatas sebesar 35%.
Dari responden siswa diperoleh data tentang kesulitan yang paling dihadapi dalam pembelajaran dari rumah sebanyak 22% karena keterbatasan pembiayaan, 28% disebabkan sarana prasarana yang terbatas, 33% tidak terbiasa belajar di luar kelas, dan 14% menjawab alasan lainnya, sementara mereka yang menyatakan keterbatasan dukungan orang tua sebanyak 3%.
Mengenai media yang paling sering digunakan anak untuk belajar dari rumah diperoleh hasil terbesar 73% penggunaan handphone. Sementara yang menggunakan perangkat laptop/komputer hanya 8%. Sisanya, 9% menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS), 7% buku, dan 3% televisi. Radio dan surat kabar tidak ada yang menyebut penggunaannya dalam pembelajaran dari rumah (0%).
Kesediaan waktu khusus orang tua dalam mendampingi anak dalam pembelajaran di rumah diperoleh hasil 66% orang tua selalu mendampingi anaknya, 33% menyatakan kadang-kadang, dan 1% menyatakan tidak pernah.
Sementara dari survei kegiatan belajar mengajar jarak jauh di tengah pandemi Corona (COVID-19) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) diperoleh hasil 87% aktivitas guru hanya sekedar memberikan soal dan tidak memanfaatkan teknologi di era digital ini. Aktivitas dengan buku teks posisinya hanya 40%. Selain itu, Kemdikbud melalui Plt Pusdatin Kemendikbud menyebut rata-rata siswa tidak bisa memahami pelajaran dalam kondisi kegiatan belajar jarak jauh. Siswa juga tidak berkonsentrasi secara penuh jika belajar di rumah.
Potensi learning loss atau kehilangan kompetensi belajar siswa akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) pun diperoleh dari hasil survei Kemdikbud. Terdapat 20% sekolah secara nasional menyatakan sebagian siswa tidak memenuhi kompetensi. 20% inilah yang diduga mengalami learning loss, kata Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) Kemendikbud.
Penelitian-penelitian serupa juga dilakukan oleh beberapa lembaga survei. Tanoto Foundation yang melakukan survei terkait PJJ kepada 332 kepala sekolah, 1.368 guru, 2.218 siswa, dan 1.712 orang tua, menemukan fakta terdapat tiga masalah utama orang tua mendampingi anak belajar dari rumah (BDR). Pertama, orang tua kurang sabar dan jenuh menangani kemampuan dan konsentrasi anak (56%) untuk anak SD/MI dan 34% untuk SMP/MTs. Kedua, orang tua kesulitan menjelaskan materi pelajaran ke anak untuk SD/MI (19%) dan SMP/Mts (28%). Ketiga, orang tua kesulitan memahami materi pelajaran anak untuk SD/MI (15%) dan SMP/Mts (24%).
Penelitian lain dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di sejumlah daerah menunjukkan fakta adanya kejenuhan dalam menjalani PJJ, baik bagi pendidik maupun peserta didik.
Bagaimana Meramu Pembelajaran ke Depan?
Konsep pembelajaran campuran atau blended learning yang saat ini trending diperbincangkan memang sungguh menggiurkan. Memberikan angin segar untuk dunia pendidikan khususnya seperti saat ini kala pandemi masih melingkupi. Namun cukup menyesakkan ketika dihadapkan pada kenyataan sebagian sekolah, guru, peserta didik dan/atau orang tua peserta didik.
Sebetulnya metode blended learning atau pembelajaran campuran ini bukanlah barang baru dalam dunia pendidikan. Blended learning sudah dimulai sejak ditemukan komputer. Bahkan sebelum itu juga sudah terjadi adanya kombinasi pembelajaran.
Secara tradisional, pembelajaran awalnya berupa pertemuan tatap muka dan interaksi antara guru dan murid. Setelah ditemukan mesin cetak maka guru memanfaatkan media cetak seperti buku, poster, koran, majalah, dan lain sebagainya. Pada saat ditemukan media audio, sumber belajar dalam pembelajaran mengombinasi antara pengajar, media cetak, dan audio. Media audio ini pernah menjadi media pembelajaran yang cukup ngetop di eranya. Penggunaan tape recorder, kaset, hingga beragam teknologi lanjutan yang menemukan berbagai format audio untuk menyampaikan materi pembelajaran. Selanjutnya, ketika teknologi menemukan perangkat audio visual seperti film, televisi, VCD, dan DVD, dunia pendidikan pun kemudian beradaptasi menggunakannya untuk proses belajar dan mengajar.
Namun terminologi blended learning ternyata lebih nyata kemunculannya setelah berkembangnya internet dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga sumber belajar dapat diakses secara luring (offline) maupun daring (online). Hingga kini pembelajaran berbasis blended learning dilakukan dengan menggabungkan pembelajaran tatap muka, teknologi cetak, teknologi audio, teknologi audio visual, teknologi komputer, teknologi m-learning (mobile learning), dan e-learning (electronic learning).
Berbagai lembaga pendidikan, baik swasta maupun negeri melakukan proses pembelajaran dengan menggunakan media elektronik khususnya perangkat komputer dan internet sebagai sistem pembelajarannya.
Untuk memahami pengertian tentang blended learning ini salah satunya adalah Semler (2005) yang mengatakan bahwa:
Blended learning combines the best aspects of online learning, structured face-to-face activities, and real world practice. Online learning systems, classroom training, and on-the-job experience have major drawbacks by themselves. The blended learning approach uses the strengths of each to counter the others weaknesses. (Pembelajaran campuran menggabungkan aspek terbaik dari pembelajaran daring, aktivitas tatap muka terstruktur, dan praktik dunia nyata. Sistem pembelajaran daring, pelatihan di ruang kelas, dan pengalaman kerja memiliki kelemahan besar tersendiri. Pendekatan pembelajaran campuran menggunakan kekuatan masing-masing untuk melawan kelemahan yang lain).
Carmen, (2005) mengungkapkan lima kunci untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan blended learning, yaitu:
1. Live Event. Pembelajaran langsung atau tatap muka (instructor-led instruction) secara sinkronous dalam waktu dan tempat yang sama (classroom) ataupun waktu sama tapi tempat berbeda (virtual classroom).
2. Self-Paced Learning. Yaitu mengombinasikan dengan pembelajaran mandiri (self-paced learning) yang memungkinkan peserta belajar kapan saja, di mana saja dengan menggunakan berbagai konten (bahan belajar) yang dirancang khusus untuk belajar mandiri baik yang bersifat text-based maupun multimedia-based (video, animasi, simulasi, gambar, audio, atau kombinasi dari semuanya). Bahan belajar tersebut, dalam konteks saat ini dapat disampaikan secara online (melalui web maupun melalui mobile device dalam bentuk: streaming audio, streaming video, dan e-book) maupun offline (dalam bentuk CD, dan cetak).
3. Collaboration. Mengombinasikan baik pendidik maupun peserta didik yang kedua-duanya bisa lintas sekolah/kampus. Dengan demikian, perancang blended learning harus meramu bentuk-bentuk kolaborasi, baik kolaborasi antar teman sejawat atau kolaborasi antar peserta didik dan pendidik melalui tool-tool komunikasi yang memungkinkan seperti chatroom, forum diskusi, email, website/webblog, dan mobile phone.
4. Assessment. Dalam blended learning, perancang harus mampu meramu kombinasi jenis penilaian baik yang bersifat tes maupun non-tes, atau tes yang lebih bersifat otentik (authentic assessment/portfolio). Disamping itu, juga perlu mempertimbangkan ramuan antara bentuk-bentuk assessmen online dan assessmen offline. Sehingga memberikan kemudahan dan fleksibilitas peserta belajar mengikuti atau melakukan penelitian tersebut.
5. Performance Support Materials. Jika kita ingin mengombinasikan antara pembelajaran tatap muka dalam kelas dan tatap muka virtual, perhatikan sumber daya untuk mendukung hal tersebut siap atau tidak, ada atau tidak. Bahan belajar disiapkan dalam bentuk digital, apakah bahan belajar tersebut dapat diakses oleh peserta belajar baik secara offline (dalam bentuk CD, MP3 dan DVD) maupun secara online. Jika pembelajaran dibantu dengan suatu Learning/Content Management System (LCMS), pastikan juga bahwa aplikasi sistem ini telah terinstal dengan baik dan mudah diakses.
Dari uraian di atas, perlu kiranya kita persiapkan dengan sungguh-sungguh keterlibatan semua pihak dalam merancang pembelajaran di masa yang akan datang. Kesiapan yang tidak melulu pada sarana dan prasarana, tetapi menyiapkan semua aspek pendukung lain. Bahkan amat penting mempersiapkan SDM Guru dan Tenaga Kependidikan agar lebih meningkatkan lagi kompetensi mereka.
Dalam rangka mempersiapkan tahun ajaran baru nanti, mari kita turut serta serentak bergerak wujudkan merdeka belajar. Serentak artinya seluruh elemen pendidikan dan stakeholder terkait untuk ikut terlibat bergerak. Jangan biarkan generasi bangsa hilang hanya karena efek pandemi Covid-19.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.