PERJALANAN ILMU: PELAJARI, PAHAMI, AMALKAN, DAN DAKWAHKAN
Agama | 2022-04-17 13:47:34“Carilah ilmu mulai dari buaian ibu sampai liang lahat”. Kata-kata tersebut menjadi sebuah indikasi bahwa manusia memiliki kewajiban untuk mencari ilmu sepanjang hayatnya. Hakikatnya, Allah-lah yang menyuruh manusia untuk mencari ilmu, karena dengan ilmu itulah manusia akan menjadi makhluk yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepadaNya (Qs. Adz-Dzariyat: 56).
Diibaratkan sebuah cerita narasi, ilmu juga mempunyai perjalanan yang tersusun secara kronologis. Seseorang yang hendak mendapatkan ilmu, ia harus melalui beberapa tahapan, mulai dari mempelajarinya, lalu memahaminya, kemudian mengamalkannya, dan yang terakhir adalah mendakwahkannya. Selanjutnya yang tak kalah penting, di akhir kisahnya, ia harus mendapatkan pesan atau amanat yang akan dijadikan bahan untuk mengevaluasi diri.
Pelajari
Salah satu julukan manusia adalah makhluk idealis. Artinya, manusia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang ada, tetapi ia akan senantiasa berjuang untuk mengubah dan menyesuaikannya menjadi apa yang seharusnya. Hakikat inilah yang akan selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, mewujudkan, membuat atau merakit, dan mencipta. Maka dari itu semua, manusia dituntut untuk belajar, karena belajar adalah sebuah kebutuhan dan keharusan, bukan hanya sebuah keinginan.
Belajar adalah kunci utama pembuka ilmu pengetahuan, sekaligus titik awal perjalanan ilmu. Di dalam agama Islam, kegiatan belajar merupakan sebuah implementasi tindakan nyata dari ayat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan perantara pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al 'Alaq: 1-5).
Di dalam buku Pengantar Pendidikan (Penerbit Universitas Terbuka, 2016), pada bab “Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan” disebutkan bahwa ada tiga alasan mengapa manusia masih harus belajar. Pertama, manusia adalah makhluk yang “belum selesai”. Setelah diciptakan Allah, selanjutnya manusia berada dalam perjalanan hidup, mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Dengan Rahman dan RahimNya, Allah membekali manusia dengan akal dan segala isi bumi yang lengkap dengan fenomena alamnya (Qs. Ibrahim: 32-34). Tetapi, dengan “akal yang masih kosong” ini, manusia akan mengalami kebingungan mau diapakan dan dibagaimanakan isi bumi ini. Manusia membutuhkan ilmu untuk merakit benda dan mengolah isi bumi tersebut. Oleh karena itu, manusia harus belajar untuk mengisi akal pikirannya, sehingga ia mampu mengolah isi bumi dan beradaptasi dengan segala fenomena alamnya.
Kedua, tugas dan tujuan manusia adalah menjadi manusia, bukan makhluk lain. Meskipun manusia lahir dalam keadaan fithrah (suci), tetapi ia masih tetap memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya ingin menjadi apa atau siapa di masa depannya. Dengan demikian, maka bukan hal yang mustahil jika ada manusia yang memilih untuk tidak menjadi manusia baik sengaja, maupun tidak. Artinya, ia menurunkan martabat kemanusiaannya dengan cara tidak mewujudkan aspek-aspek hakikat manusia yang berakal.
Oleh karena itu, manusia harus belajar untuk mewujudkan diri sebagai manusia, makhluk yang berakal, bertanggung jawab atas tugas dan tujuan keberadaan dirinya sebagai hamba tuhan (Qs. adz-Dzariyat: 56) dan khalifah bumi (Qs. al-Baqarah: 30), bukan malah menurunkan martabatnya dari tingkat manusia ke tingkat yang lebih rendah: hewan, tumbuhan, atau benda.
Ketiga, perkembangan otak manusia bersifat terbuka. Manusia diciptakan dengan susunan yang terbaik dan dibekali dengan potensi untuk menjadi manusia. Namun, dalam kenyataan hidupnya, perkembangan manusia bersifat terbuka atau bisa memunculkan berbagai kemungkinan. Meskipun ia terlahir sebagai anak manusia, tetapi ada kemungkinan ia melanjutkan hidupnya memanusia, atau kurang memanusia, atau bahkan sama sekali tidak memanusia.
Ketika dilahirkan, manusia belum mempunyai spesialisasi tertentu. Kecerdasan dan keahlian tidak dibawanya langsung dari lahir. Semua itu harus ia peroleh dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya menuju kedewasaan. Begitupun juga dengan perkembangan sifatnya, manusia akan menjadi baik jika dididik dengan cara yang baik dan dibesarkan di lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, manusia akan menjadi buruk jika dididik dengan cara yang buruk dan dibesarkan di lingkungan yang buruk pula (Qs. Asy-Syams: 8-10). Oleh karena itu, manusia perlu belajar, bimbingan, dan latihan yang baik agar ia hidup sesuai dengan kodratnya dan mampu menjaga martabat kemanusiaannya.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia dituntut untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak bisa dengan sendirinya menjadi manusia. Ia harus belajar dan memerlukan pendidikan. Pernyataan Immanuel Kant yang menyebutkan bahwa “man can become man through education only” (manusia bisa menjadi manusia hanya dengan melalui pendidikan) sejalan dengan pepatah arab “laulal ‘Ilmu Lakaanannas Kal-Bahaaim” (kalau bukan karena ilmu, niscaya manusia akan seperti binatang).
Pahami
Ilmu tidak hanya sebatas dipalajari, namun perlu dipahami. Pemahaman tentang ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Rasulullah pernah mendoakan Ibnu Abbas agar ia diberikan kelebihan oleh Allah berupa pemahaman dalam urusan agama. Hal ini menjadi bukti bahwa Rasulullah menginginkan umatnya agar tidak hanya menjadi pencari dan pengumpul ilmu saja, akan tetapi beliau menginginkan umatnya paham akan ilmu yang dimiliki.
Otak manusia mampu menampung berbagai macam ilmu yang berasal dari hasil belajar inderanya. Ilmu yang baik dan buruk akan bercampur dan saling tumpang tindih di dalam otak. Dalam hal ini, maka sangat diperlukan proses pemahaman yang tidak hanya dilakukan oleh otak sebagai alat atau tempat berpikir saja, akan tetapi juga melibatkan hati sebagai alat atau tempat menyadari, sehingga ilmu bisa benar-benar dimengerti. Setelah ilmu dipahami baik buruknya, maka hati akan menyadari lalu memberikan komando kepada anggota badan untuk melakukan atau menghindari sesuatu.
Dengan demikian, “paham” merupakan jembatan yang menghubungkan antara “belajar” dengan “mengamalkan” (menerapkan, mengaplikasikan). “Paham” akan memilah hal yang baik dan buruk, salah dan benar, manfaat dan madharat. Selanjutnya, keputusan untuk mengamalkan atau tidak, tergantung dari pemahaman dan kesadaran hati. Bisa jadi seseorang banyak memiliki ilmu hasil dari proses belajarnya, namun dia belum paham dengan ilmunya itu. Hanya sekedar tau dan kenal, belum paham akan manfaatnya, sehingga ia belum beranjak kepada kesadaran untuk mengamalkan, menerapkan, atau mengaplikasikan ilmu ke dalam tindakan. Sebaliknya, seseorang yang memiliki ilmu, kemudian dia paham akan ilmunya itu, maka ia akan menyadari dan segera menerapkannya ke dalam aksi nyata.
Amalkan
Ahli ilmu adalah pejuang hebat. Dikatakan demikian karena proses untuk mendapatkan, memahami, dan mengakui ilmu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Butuh pengorbanan dan perjuangan yang konsisten. Melakukan pengamatan dan analisis serta uji coba ilmu agar bisa dikatakan sebagai ilmu yang bermanfaat.
Mengamalkan berarti mempraktikkan, menerapkan, mengaplikasikan. Tahap ini mungkin bisa dikatakan sebagai klimaks atau komplikasi (tahap puncak) dalam kisah perjalanan ilmu. Kemunculan konflik lahir batin dan berbagai reaksi serta respon diri sendiri dan orang lain biasanya akan menghiasi pengamalan ilmu ini. Namun, sesuai dengan prinsipnya bahwa ilmu tetap harus diujicoba dalam bentuk pengamalan agar kita tau seberapa manfaatkah ilmu tersebut.
Otak tempatnya berpikir dan hati adalah tempat menyadari. Kesadaran inilah yang membuat manusia bertindak tanpa harus dipaksa. Banyak orang yang tau, tapi belum sadar, sehingga tidak mengamalkan. Contohnya, setiap muslim tau bahwa shalat itu hukumnya adalah wajib, tapi ada sebagian mereka yang maremehkan kewajiban ini. Hal tersebut terjadi karena dia hanya sebatas tau shalat dari belajar singkat, belum sampai ke ranah paham dan sadar akan makna dan kewajiban melaksanakannya. Kemudian, tidak sedikit wanita yang tau tentang kaharusan menutup aurat, tapi mengapa masih ada sebagian muslimah yang tidak melaksanakannya. Hal ini terjadi karena posisi dia hanya berada di level tau, belum beranjak ke level paham dan sadar.
Oleh karena itu, hendaklah kita mempertunjukkan ilmu kita di hadapan Allah dan makhlukNya dalam bentuk pengamalan berupa ucapan dan perilaku yang baik. Ilmu yang bermanfaat akan menghasilkan amalan yang mashlahat dan menyelamatkan diri, sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat akan menghasilkan amalan yang madharat dan membahayakan diri.
Dakwahkan
Mendakwahkan berarti men-share, membagikan, atau menyebarluaskan ilmu dalam rangka mengajak orang lain agar berbuat hal yang sama dengan kita. Tahap mendakwahkan ini mungkin bisa dikatakan sebagai tahap resolusi (penyelesaian) dalam kisah perjalanan ilmu.
Setelah manusia mempelajari ilmu, lalu memahaminya, kemudian ia mengamalkannya dalam aksi nyata, sehingga merasakan manfaat dari ilmu tersebut, maka tahap selanjutnya adalah mendakwahkannya kepada orang lain.
Berbagi pengalaman baik dan buruk tentang apa yang pernah dialami akan jauh lebih berkesan di mata orang lain, dibandingkan dengan berbagi sesuatu atau ilmu yang kita sendiri belum pernah mengamalkannya, mempraktikkannya, atau mencobanya. Keinginan mereka untuk mengikuti amalan (gerakan) baik kita terdorong oleh cerita pengalaman kita yang nyata, bukan yang dikira-kira.
Mengenai hal ini, Ustadz Jamjam Erawan pernah memberi nasihat kepada santri Pesantren At-Tajdid Muhammadiyah Tasikmalaya mengenai macam-macam cara dakwah yang sederhana, yang bisa dilakukan oleh kita. Macam-macam cara dakwah tersebut adalah dakwah bil-lisan, bi-tulisan, bil-lukisan, bil-bingkisan, dan bil- kekuasaan.
Dakwah bil-lisan artinya berdakwah dengan pidato dan ucapan kita, bi-tulisan dengan opini dan status kita di media, bil-lukisan artinya berdakwah melalui seni, bil-bingkisan artinya berdakwah dengan cara memberi dan berbagi, dan bil- kekuasaan artinya berdakwah dengan posisi jabatan. Cara-cara dakwah tersebut akan menjadi syiar kebaikan diri yang selanjutnya diharapkan akan menjadi sebuah teladan bagi orang lain. Dengan demikian, kebaikan ilmu pun akan tersebar luas sehingga membangun keshalihan sosial.
Pesan dan Amanat
Setelah semua proses terjalani, maka saatnya kita mengambil pesan dan amanat yang tersirat di dalamnya. Pertama, semua langkah yang kita lakukan untuk memperoleh ilmu ini akan membuahkan tauhid yang mantap pada diri. Tauhid akan membawa manusia kepada fitrahnya, ia akan benar-benar mengerti dan sadar akan hakikat keberadaannya di dunia. Tauhid akan tercermin dalam akhlak perilaku manusia baik kepada Allah, maupun kepada orang lain dan makhluk lainnya. (Qs. ali-Imran: 190 - 194).
Kedua, tujuan mencari ilmu adalah menghilangkan kebodohan yang identik dengan kesalahan. Orang berilmu akan menjunjung tinggi kebenaran. Dia tidak akan mudah diperbodoh orang lain atau diperbudak dunia yang hina.
Ketiga, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (Qs. Fathir: 28). Ulama atau orang yang berilmu akan selalu menjaga diri agar tidak melakukan kesalahan karena ia takut akan azab Allah. Oleh karena itu, orang yang berilmu sejatinya akan menjadi ahli taat, bukan maksiat; rendah hati bukan tinggi hati; istiqomah dalam kebaikan; berkepribadian unggul yang berkarakter ulul albab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.