Puasa Apa Adanya
Agama | 2021-05-05 17:15:05Ramadhan tahun ini saya merasa, lebih banyak membuang sisa sampah makanan dibanding bulan-bulan sebelumnya. Sebagai bulok (bujang lokal) saya merasa kewalahan sendiri, pasalnya tong sampah di dapur lebih sering penuh ketika Ramadhan dibandingkan bulan sebelumnya. Bahkan aktifitas membuang sampah yang biasanya saya lakukan seminggu sekali, saat ramadhan bisa tiga hari sekali. Dua kali lipat peningkatan aktifitas buang sampah yang saya lakukan.
Rasanya ada yang aneh dengan perilaku buang sampah saya ini. Sempat saya mengorek-ngorek tong sampah yang saya letakkan di dapur, maklumlah saya penasara, lagian yang makan di tempat ini cuma saya, kenapa bisa sebanyak ini.
Saat asik mengorek-ngorek sampah yang akan dibuang, saya dibuat terkejut ternyata sebagian besar adalah sampah sisa hidangan berbuka dan sahur. Apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya, manajemen persampahan saya bisa se-amburadul ini, padahal berat saya berkurang selama puasa.
Hingga pada suatu hari dalam perjalanan menuju kantor dengan motor sambil membawa kantong sampah, saya melihat bak sampah yang disediakan dipinggir jalan menumpuk. Dalam timbunan tersebut sekelebat terlihat sisa-sisa makanan. Ternyata saya tidak sendiri , gumam saya sambil menaruh kantong sampah yang saya bawa.
Sungguh tidak masuk akal, nalar berpikirnya kan seharusnya ketika berpuasa porsi makan umat manusia berkurang, sehingga berpengaruh pada volume sampah yang berada di TPA, setidaknya begitu. Tetapi justru hal berbeda terjadi pada setiap TPU yang saya lihat.
Seolah sampah yang didominasi oleh sisa makanan tersebut, sebagai representasi dari ke khawatiran akan rasa lapar yang berlebihan saat berpuasa. Hingga terbentuklah kecemasan dibalut dengan harapan yang berlebihan kepada semua hidangan berbuka puasa, agar dilahap habis, tapi nyatanya? Zonk!.
Harapan Berlebihan
Manusia merupakan makhluk omnivora yang gemar memamerkan cita rasa, dengan didukung kemajuan teknologi dibidang informasi, sifat pamernya semakin menjadi. Dorongan untuk menjadi lebih unggul dalam pamer cita rasa meningkat pesat. Akibatnya manusia semakin beringas dalam melakukan pemilihan makanan.
Tanpa disadari ketika saya akan pergi makan, yang dipikirkan pertama adalah rasa, kedua tempatnya apakah cocok untuk dipamerkan di akun media sosial atau tidak. Ini manusiawi pada era digital, dengan catatan pada batas normal.
Saya masih ingat betul, ketika saya dan beberapa teman berdebat hebat di teras rumah salah satu teman, ketika menentukan tujuan rumah makan, hingga saya juga turut urun rembuk dengan mengajukan daftar tempat makan, alhasil kami malah mendapatkan kebingungan masal. Harapan saya pada saat itu agar makan enak, murah dan bisa diabadikan pada akun media sosial.
Mendengar perdebatan itu, ibu teman saya muncul bak pahlawan, yang akan meredam keributan tak berfaedah itu, ia muncul dari dalam rumah, melalui dua pintu besar sambil berkata kalian, mau makan aja pakai ribut begitu, buat apa? toh ya nanti keluarnya sama.
Wah, saya terperanjat mendengarkan kata-kata itu, sedikit kasar, tapi mengandung sebuah makna kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Seorang ibu rumah tangga, yang muncul dari dalam rumah itu, benar-benar pahlawan, kami semua diam. Mungkin pemikiran teman-teman saya pada saat itu hampir sama dengan saya, benar juga ya kadang manusia ini harapannya terlalu berlebihan terhadap sesuatu yang tidak perlu. Singkat cerita kami akhirnya memutuskan untuk makan di angkringan.
Manusia memang unik perihal makan, ia sebagi pemuncak kasta tertinggi pada kerajaan alam semesta, merasa berhak memonopoli makanan yang disediakan oleh alam. Sehingga ia berhak mengolah dan memakan sesuka hati. Tidak salah, apabila Mahatma Ghandi dalam bukunya A Guide To Health mengatakan bahwa 99% pria dan wanita hanya makan untuk memuaskan cita rasa.
Harapan yang berlebihan, muaranya bukan kesehatan tetapi rasa puas sesaat. Bahkan Ghandi memberikan julukan kepada manusia yang berlebihan dalam hal memilih makanan untuk dimasukan ke dalam perut sebagai budak cita rasa.
Terkadang harapan yang berlebihan, muncul akibat dogma-dogma di masa kecil dengan dalih agar tahan saat berpuasa, seperti dogma masalalu yang menurut saya menyesatkan makan yang banyak agar puasa kuat, secara tidak sadar membentuk diri menjadi manusia yang rakus. Mungkin akan lebih indah, apabila diubah menjadi perbanyak memberi kepada sesama, dan makan secukupnya, agar kesempatan kuat dalam menjalankan puasa.
Sehingga tujuan berpuasa, untuk menjalani kehidupan manusia yang nelangsa , benar-benar didapatkan, semata-mata menjadikan diri lebih berempati terhadap sesama, dan mensyukuri nikmat yang telah diberikan, walaupun itu dengan segelas air putih saat berbuka.
Puasa Apa Adanya
Ramadhan sebagai cara memurnikan jiwa manusia, yang telah lama jauh dari Tuhannya, berbagai peristiwa terjadi sebelum bulan suci ini, membuat manusia pilu. Bahkan, sifat-sifat yang merusak budi terkadang hinggap tanpa disadari, tuduh menuduh, caci maki, hingga menghilangkan nyawa sesama, seolah sudah biasa.
Pemurnian jiwa manusia, akan dapat tewujud, apabila kembali pada hakekat puasa. Yaitu puasa apa adanya, bukan puasa yang diada adakan. Meminjam istilah dari Jalaluddin Rumi, perihal jalan kefakiran. Puasa mengajarkan hal tersebut pada umat manusia, untuk menitih jalan kefakiran.
Apabila manusia, dengan sadar masuk ke dalam jalan ini, maka dirinya akan menggapai segala cita-citanya. Jalan kefakiran adalah jalan yang akan membawamu pada menggapai cita-citamu, begitu pesan Rumi kepada manusia yang akan menapaki jalan kefakiran.
Puasa mengajarkan manusia, untuk menghormati mereka yang tidak bisa makan, dengan menjajal sebuah jalan yang biasa dijalanin para fakir miskin. Umat manusia diminta menjalankannya selama satu bulan. Terlebih, puasa kali ini terbantu oleh pandemi, yang mengakibatkan keterbatasan aktifitas. Seharusnya jalan kefakiran mudah sekali didapatkan oleh umat manusia.
Seperti halnya seorang fakir yang setiap hari menjalani jalan kefakirannya, dengan sabar. Ramadhan yang tinggal menghitung hari di tengah keterbatasan,akan dengan mudah mengembalikan manusia kepada hakikat manusia, apabila manusia menempuh cara puasa apa adanya. Sehingga jiwanya murni kembali.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.