Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adis Setiawan

Peradaban Pendidikan Hari Ini, Setelah Hari Pendidikan

Eduaksi | Monday, 03 May 2021, 22:56 WIB

Oleh Adis Setiawan, Mahasiswa Manajemen Pendidikan

Yang saya rasakan hari ini, peradaban pendidikan kita seperti ada yang kurang tepat dari visi pendidikan. Tidak tahu kalau pendapat yang kalian rasakan bagaimana. Pada hari ini, ketika ada wabah bencana non alam.

Dengan adanya bencana, seharusnya ini bukan suatu yang menggagetkan. Karena nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, dan kitab suci al-Quran adalah kitab terakhirnya bisa jadi ini tanda-tanda masuk fase-fase terakhir kehidupan dunia. Wallahua alam.

Wabah ini datang dan memaksa secara tiba-tiba kita untuk mengurangi jumlah perkumpulan dengan banyak orang, termasuk tempat ibadah dan lembaga pendidikan seperti sekolahan yang juga ikut diliburkanbelajar dari rumah.

Demi mengurangi mata rantai penularan maka pemerintah menghimbau sekolahan diliburkan diganti belajar dari rumah. Sebetulnya tidak salah juga dengan belajar dari rumah, asalkan memang ingin memutus mata rantai penularan virus. Yang lebih penting lagi peradaban pendidikan tetap berjalan sesuai visi pendidikan di Indonesia.

Karena kebijakan belajar dari rumah situasi yang darurat maka pemerintah hanya memberi himbauan, sambil pelan-pelan memikirkan bagaimana metode pembelajaran untuk para calon kader bangsa di masa yang akan datang. Walaupun, bagi saya berpendidikan bukan hanya disekolahan saja karena berpendidikan tidak mengenal waktu, umur, kehadiran dan kurikulum wajibseperti pendidikan era sekolastik.

Pendidikan yang di kaitkan dengan waktu, umur, guru, kehadiran dan kurikulum wajib pernah di kritik oleh Ivan Ilich, beliau sebetulnya bukan bidang pendidikan tetapi beliau memang bidangnya ngritik. Ahli kritik yang membangun serta memberi saran jalan keluar peradaban pendidikan yang tidak sesuai tempatnya. Semua bidang beliau kritik, jadi bukan hanya bidang pendidikan saja yang di kritik.

Saya mau ikut memberi kritik terhadap pendidikan hari ini yang di sebut E-learning itu. Karena hal ini membuat saya kecewa sebagai mahasiswa, tapi tidak terlalu kecewa juga sih karena baru membayar setengah semesteran ee..aa. Tetapi, rasa kecewa tersebut bukan karena adanya belajar dari rumah. Ya kita tahu sendiri, sudah ada himbauan untuk belajar dari rumah.

Yang pertama kritik saya terhadap pendidikan E-learning yang menggunakan internet. Kenapa pendidikan hari ini harus membutuhkan kuota internet. Bagaimana bagi yang ekonominya kurang mampu karena berdiam diri di rumahsalah satu himbauandan tidak bisa membeli kuota internet.

Kenapa peradaban pendidikan kita hari ini jadi memisahkan antara orang yang mampu beli kuota dengan yang tidak mampu beli kuota. Padahal pendidikan adalah hak semua warga negara harusnya pemerintah menyukupi. Di masa pandemi ini ada beberapa kalangan yang ekonominya berkurang karena jual-beli sepi, misalnya. Tetapi masih kudu harus beli kuota internet untuk belajar.

Tidak salah juga menggunakan internet. Memang internet hari ini sudah menjadi kebutuhan. Bahkan teknologi kita juga sudah maju, tidak ada yang salah kita belajar menggunakan sarana internet. Kritik saya seharusnya lembaga pendidikan sadar minimal memberi potongan SPP atau memberi subsidi kuota internet agar bisa mengikuti belajar online kalau begitu bayar semesteran full juga tak apa-apa.

Yang kedua kritik saya, bukanya belajar online, tetapi justru menjadi tugas online. Mau protes dosenya memang seperti itu maunya, lama-lama bosen sendiri dengan tugas online. Hari ini peradaban pendidikan kok membuat yang ingin belajar jadi bosen memangnya seperti itukah peradaban pendidikan. Tidak salah juga dengan tugas online tetapi ha mbok kalau membuat soalnya di ganti, jangan di awali dengan kata "sebutkan jenis-jenis/macam-macam" Itu jenis soal hafalan. Kenapa saya bilang itu soal jenis hafalan karena jawabanya banyak butuh hafalan, karena tidak hafal makanya mahasiswa seperti saya jadi membuat kecurangan dengan cara mencari jawaban lewat google. Lho pendidikan kita kok hari ini jadi mengajarkan kita untuk nyontek lewat google atau kertas contekan.

Sebentar tidak salah juga dengan tugas online jenis hafalan, tetapi level mahasiswa itu harusnya bukan sekedar hafalan lagiwalaupun sebetulnya belum hafal juga hehe. Seharusnya sesuai perkembangan belajar secara kognitif level untuk hafalan itu sekitar umur 10 tahun kebawah. Kita tahu banyak ulama kita hafal al-Qur'an dibawah umur 10 tahun. Kalau mahasiswa seperti saya yang tiap hari kerja pulang malam mepet waktu masuk kuliah bahkan belum siap apa-apa dan sibuk nyari duit buat bayar semesteran kok di suruh hafalan pasti hilang semua hafal-hafalan itu. Saran saya kalau membuat soal yang jawabnya jadi sebuah pemahaman atau pendapat pribadi mahasiswa.

Kritikan ketiga, menurut saya banyak daerah yang jaringan internet belum di gunakan secara masif maka dengan adanya sekolah dari rumah mereka tidak menggunakan belajar online. Tetapi memberi tugas Offline dengan cara wali murid datang ke sekolahan mengambil tugas. Lagi-lagi tidak hanya belajar lewat online, offline pun juga isinya tugas. Tidak salah juga sebetulnya dengan tugas sekolahan, memang apakah peradaban pendidikan harus dengan tugas, tugas, dan tugas terus cara pembelajaranya. Tidak juga kan.

Kritikan berikutnya, memberi subsisdi kuota internet bagi para pelajar untuk belajar online. Justru ada lembaga bekerjasama dengan salah satu bimbel online membuat subsidi internetnya khusus agar bisa akses ke aplikasi bimbel online tersebut. Tidak salah juga dengan subsidi tetapi kenapa kuotanya harus khusus untuk aplikasi itu saja, kenapa tidak kuota internet yang biasa buat belajar secara online semua media yang dianggap menjadi pusat sumber belajar. Oh Iya lupa, apakah sampai sekarang pemerintah belum merekomendasikan aplikasi khusus untuk belajar secara online di negara ini.

Yang ada para sekolahan mungkin menggunakan aplikasi seadanya, sekolahan mau pakai apa bisa juga dengan mengandalkan beberapa platform untuk belajar. lebih hemat justru belajar lewat TV. Tapi ketika wali murid sibuk cari uang, apakah anaknya mau nonton TV yang isinya belajar dan belajar. Jangan-jangan justru nonton kartun hehe.

Lantas dengan peraturan baru pemerintah akan membuka sekolah tatap muka, apakah dengan bertatap muka sudah pasti mutunya terjamin. Kenapa tidak membuat suatu inovasi pembelajaran online lebih di maksimalkan, misalnya, membuat aplikasi belajar agar peserta didik tidak bosan. Dan juga perlu blended learning, saya kira ini kesempatan pendidikan kita akan lebih maju.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image