Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karta Raharja Ucu

Pengadilan Zaman Belanda Pakai UU Hukum Adat & Hukum Islam

Sejarah | 2021-04-26 15:34:23
Pengadilan Belanda di sebuah gedung wilayah Meester Cornelis alias Jatinegara.

Di era Indonesia masih bernama Hindia Belanda, ada sidang pengadilan bagi warga pribumi maupun warga Belanda yang melakukan tindak kejahatan.

Salah satu tempat yang acap kali dijadikan tempat sidang adalah Meester Cornelis Regentschapwoning, di Meester Cornelis sebelum akhirnya berganti nama menjadi Jatinegara. Kantor pengadilan itu sering ditulis nama De Landraad in Meester Cornelis te Batavia atau Kantor Pengadilan Meester Cornelis.

Di zaman itu, sidang pengadilan memang berlangsung di rumah penguasa lantaran persidangan tidak berlangsung setiap hari. Gedung yang letaknya persis di seberang Stasiun Jatinegara itu kini sudah direvitalisasi.

UU Hukum Belanda di pengadilan saat itu disesuaikan dengan hukum adat yang berkaitan dengan hukum Islam. Karena itu pengadilan yang terdakwanya warga pribumi harus didampingi oleh seorang kadi yang menguasai hukum fiqih (agama Islam).

Coba tengok foto suasana pengadilan di gedung yang pernah menjadi markas Kodim Jakarta Timur tersebut. Terlihat empat tersangka duduk di ubin tengah diminta keterangan oleh hakim dan jaksa (tengah). Sementara di kursi kedua bagian kiri tampak seorang kadi bersorban dengan tekun mengikuti jalannya persidangan. Sedangkan di ujung sebelah kanan tampak wakil dari regent karena peristiwa terjadi di daerahnya.

Pengadilan di masa Kolonial memang tidak mengenal diskriminasi. Warga Belanda yang diadili juga harus duduk di ubin, tidak peduli pangkat dan jabatannya. Termasuk seorang residen, jabatan semacam bupati sekarang ini yang diisi warga Belanda.

Melihat busana yang mereka pakai, tiga orang yang diajukan sebagai terdakwa rupanya dari keluarga terhormat. Dalam struktur kolonial juga terdapat Asisten Residen. Contohnya adalah Max Havelaar yang menjadi asisten residen Lebak di Banten. Dia dibantu seorang kontrolir.

Pengadilan kolonial tidak mengenal pembela melainkan saksi dan tuduhan dibacakan dalam bahasa Belanda. Bila di pengadilan terdakwa tidak terbukti bersalah, dia akan dibebaskan.

Bila bersalah apalagi sampai melakukan pembunuhan, vonis hakim adalah hukuman gantung. Sementara ketua persidangan menanyakan terdakwa, "Amat , apa kowe (kamu, bahasa Jawa. kata kowe juga dipakai orang Belanda untuk menghina Pribumi karena artinya anak monyet) tau dan jelas itu semua tuduhan." Ketika dijawab si Amat, "Belum jelas tuan besar."

Lalu tuduhan dibacakan dalam bahasa Melayu oleh penerjemah. "Kowe tanggal sekian bulan sekian melakukan penganiyaan hingga korban meninggal dunia," kata penerjemah.

Apabila si tertuduh menyangkal atas perbuatannya yang dituduhkannya, maka sang kadi akan bertanya, "Apa kamu berani sumpah akan dikutuk Allah bila berdusta?" Biasanya si terdakwa tidak berani berbohong. Dan tentu saja jika memang melakukan kejahatan, tersangka akan mengaku.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image