Dilema Skema Baru KIP-Kuliah
Eduaksi | 2021-04-23 03:56:52Keputusan Kemendikbud bersama Komisi X DPR-RI untuk mengubah skema pendanaan Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-Kuliah) di tahun 2021 ini banyak disambut secara positif oleh para mahasiswa (Kumparan.com, 18/03/2021). Sebelum ada perubahan skema baru ini, setiap mahasiswa penerima KIP-Kuliah secara pukul rata memperoleh dana 2,4 juta rupiah per semester untuk biaya pendidikan, dan dana living cost (biaya hidup) 4,2 juta rupiah per semester.
Skema baru yang ditawarkan oleh Kemendikbud yakni berupa penentuan biaya pendidikan berdasarkan nilai akreditasi program studi mahasiswa bersangkutan. Dalam skema baru ini, mahasiswa penerima KIP-Kuliah pada program studi dengan akreditasi A akan mendapatkan beasiswa pendidikan sebesar 8-12 juta rupiah per semester, akreditasi B sebesar 4 juta rupiah per semester, dan akreditasi C sebesar 2,4 juta rupiah per semester.
Selain itu, dalam skema baru ini, bantuan biaya hidup mahasiswa juga akan dibagi menjadi lima klaster daerah, sesuai dengan indeks Survei Sosial Ekonomi Nasional. Dengan skema baru ini, maka mahasiswa dari klaster daerah 1 akan memperoleh bantuan sebesar 800.000 rupiah per bulan, klaster 2 sebesar 950.000 rupiah per bulan, klaster 3 sebesar 1,1 juta rupiah per bulan, klaster 4 sebesar 1,25 juta rupiah per bulan, dan klaster 5 sebesar 1,4 juta rupiah per bulan (Kompas.com, 19/03/2021).
Pertanyaan yang kemudian patut diajukan adalah: apakah skema baru ini akan mampu memperbaiki mekanisme penyelenggaraan KIP-Kuliah selama ini?
Sebelum adanya skema pendanaan baru ini, Kemendikbud memberikan bantuan pendidikan dengan tanpa mempertimbangkan beban kebutuhan kuliah dan biaya hidup mahasiswa. Imbas kebijakan sama-rata sama-rasa tersebut adalah banyak mahasiswa yang kelabakan mengatur anggaran keuangan, terutama bagi mahasiswa di kota-kota besar dengan biaya hidup yang lebih tinggi. Skema baru KIP-Kuliah yang kini telah mempertimbangkan lokasi kampus tentu patut kita apresiasi.
Namun demikian, skema baru KIP-Kuliah ini sejatinya bukanlah tanpa masalah. Jika ditelisik lebih mendalam, solusi yang ditawarkan Kemendikbud dengan penentuan biaya pendidikan berdasarkan nilai akreditasi program studi sebenarnya adalah sebentuk diskriminasi dan justru tidak memberikan rasa keadilan bagi dunia pendidikan tinggi. Dengan sistem baru ini, kampus-kampus besarlah yang akan paling diuntungkan. Hal ini karena kampus-kampus besar telah memiliki banyak program studi dengan akreditasi A. Sementara, kampus kelas menengah dan bawah dengan program studi berpredikat akreditasi B, C, atau bahkan belum terakreditasi, akan semakin terpinggirkan. Kebijakan ini sejatinya bertolak belakang dengan apa yang sering dilontarkan oleh Mendikbud, Nadiem Makarim, bahwa kelulusan tidak mencerminkan kesiapan bekerja dan akreditasi tidak menjamin mutu perguruan tinggi.
Terkait hal ini, hemat penulis, sebaiknya Kemendikbud membagi klaster penerima KIP-Kuliah berdasarkan kebutuhan mahasiswa dalam rumpun program studinya. Misalnya, kebutuhan mahasiswa rumpun ilmu sosial dan humaniora tentu berbeda dengan mahasiswa sains dan teknologi. Sangat mungkin bahwa kebutuhan dana mahasiswa rumpun sains dan teknologi akan lebih banyak dibandingkan mahasiswa dalam rumpun ilmu sosial dan humaniora.
Namun demikian, kebutuhan mahasiswa ilmu sosial dan humaniora tentu juga tidak bisa disepelekan. Pengeluaran mereka banyak pada buku referensi dan penelitian lapangan. Dengan demikian, bantuan biaya pendidikan seyogyanya menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing mahasiswa sesuai karakter kegiatan program studi, dan bukan semata berdasarkan peringkat akreditasi.
Selain masalah di atas, masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang nampaknya harus diselesaikan oleh Mendikbud, Nadiem Makarim. Pertama, perihal penerima KIP-Kuliah yang tidak tepat sasaran. Validitas database kemiskinan di beberapa daerah masih bermasalah. Padahal data tersebut digunakan sebagai acuan pemberian KIP-Kuliah (Sindonews.com, 2/03/2020).
Fakta di lapangan, masih banyak anak yang tidak beruntung secara ekonomi justru tidak mendapatkan kartu KIP-Kuliah. Padahal, mereka sangat ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebaliknya, tidak sedikit anak yang memiliki kartu KIP-Kuliah, justru enggan melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Kedua, transparansi penentuan KIP-Kuliah on going (susulan). Penerima KIP-Kuliah on going seringkali menjadi permainan oknum. Sejumlah pengelola KIP-Kuliah tidak transparan dalam menentukan nama-nama penerima bantuan. Misalnya, mahasiwa yang memiliki latar belakang organisasi yang sama memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan bantuan pendidikan. Kriteria yang diterapkan bukan berdasarkan kondisi objektif, melainkan karena kedekatan pribadi.
Ketiga, ketiadaan pengembangan soft-skill bagi mahasiswa penerima KIP-Kuliah. Pemerintah perlu lebih menekankan bahwa dana KIP-Kuliah seharusnya dapat dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan pengembangan soft-skill mahasiswa. Di kampus, mahasiswa idealnya tidak hanya belajar hard-skill keilmuan, tetapi juga memiliki kemampuan soft-skill seperti kecakapan berkomunikasi, kemampuan berbahasa asing, atau pengembangan skill kepimpimpinan.
Keempat, perlu alokasi uang buku. Fakta yang dialami oleh penulis sendiri sebagai penerima beasiswa KIP-Kuliah adalah bahwa bantuan yang diterima seringkali habis hanya untuk keperluan makan dan membayar kos. Nyaris tidak ada uang tersisa untuk membeli buku. Akibatnya, banyak buku kuliah penting yang justru tak mampu terbeli. Jadi, alokasi dana KIP-Kuliah seharusnya juga mempertimbangkan uang buku sebagai sarana penting proses perkuliahan di perguruan tinggi.
Penyelesaian masalah bantuan biaya pendidikan di perguruan tinggi sejatinya memang bukan semata pada persoalan dana. Perbaikan mekanisme dengan skema baru pendanaan KIP-Kuliah mungkin hanya menyelesaikan salah satu masalah saja. Tanpa upaya menyelesaikan masalah lain yang mengikuti skema KIP-Kuliah, maka ikhtiar pemutusan mata rantai kemiskinan melalui dunia pendidikan nampaknya hanya akan berhenti sekedar sebagai omong kosong dan retorika belaka.
Bingar Bimantara, mahasiswa S1 Ilmu Hukum, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Wakil KordinatorPengurus Ikatan Mahasiswa Bidikmisi KIP-Kuliah 2017-2018, dan tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Bidikmisi Surabaya-Madura (FKMB Suramadu).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.