Memupuk Cinta Sejati Kepada Allah, Menjauhi Cinta Palsu dan Semu
Agama | 2022-04-14 10:38:06Cinta tak pernah habis-habisnya untuk ditata dalam untaian puisi dan kata, apalagi jika kata cinta sudah disandingkan dengan asmara. Banyak orang yang tiba-tiba pintar merangkai kata bak pujangga karena rasa asmara yang membara di dada, dunia maya seolah-olah menjadi nyata. Sebaliknya ada orang yang jatuh lemas tak berdaya, dunia nyata nampak menjadi maya tatkala orang yang dipuja meninggalkannya tiba-tiba. Asa yang membara pun hilang seketika.
Sementara itu, sumpah setia merupakan pasangan serasi cinta. Rasa cinta menjadi hampa tatkala tak ada kata setia. Karenanya orang yang jatuh ke dalam kubangan cinta asmara, ia tak tanggung-tanggung berani sumpah setia demi kekasih pujaan. Tak jarang ia mengucapkan sumpah seiring sejalan, tak akan berpindah ke lain jiwa, sampai sumpah sehidup semati sampai lenyapnya alam raya.
Berikutnya, kata rindu merupakan hiasan utama cinta. Untaian cinta akan menjadi semu dan palsu manakala tak melahirkan rasa rindu. Malahan, hakikat utama dari cinta adalah tumbuhnya kerinduan. Sebab kerinduan merupakan perekat kuat keutuhan cinta. Kerinduanlah yang melahirkan kebahagiaan dari rasa cinta. Bukanlah seorang yang benar-benar pecinta jika hampa rasa rindu dan sendu di dada.
Penderitaan yang lahir karena cinta bukan menjadikan orang menjauh dari cinta, sebaliknya ia semakin mesra dan mengokohkan sumpah setia dengan sang pujaan. Dengan penuh keyakinan, banyak orang yang menancapkan tekad di dada, cinta yang tulus setia akan merubah penderitaan menjadi kebahagiaan.
Ada sebuah guyonan, meskipun terasa gombal tapi memang kenyataan. Orang yang jatuh cinta dan dimabuk rindu merupakan orang yang terkena “insomnia”, tak bisa tidur. “Ketika kau jauh dariku, aku tak bisa tidur karena merindukanmu. Ketika kau ada di sampingku, aku pun tak bisa tidur, aku tak rela memejamkan mata untuk meninggalkan menatap keindahan wajahmu.”
Demi kokohnya untaian dan ikatan cinta, sumpah setia demi cinta, sehati dan seraga tak bosan-bosannya diucapkan di hadapan sang pujaan. “Tanpa kehadiranmu di sisiku, sungguh seandainya aku bisa terbang mengangkasa, aku akan tetap merasa sedih tak ubahnya awan nan kelam”, demikian kata Jalaluddin Rumi, sang Sufi.
Itulah cinta. Seberat apapun suatu perbuatan akan tetap dilakukan demi sang pujaan. Tak peduli apapun yang terjadi meskipun harus menjadikan siang menjadi malam dan malam menjadi siang, hanya ada satu asa, sang pujaan harus tetap bahagia, tetap setia, dan tak berpindah ke lain jiwa.
Ajaran Islam tak melarang kita untuk jatuh cinta, bahkan kehadiran Islam ke muka bumi ini adalah untuk menebar rasa cinta kepada seluruh makhluk di seantero jagad. Rahmatan lil’alamin, menjadi rahmat, penebar kasih sayang kepada seluruh makhluk-Nya. Bukanlah seorang muslim sejati manakala belum mampu menebarkan rasa cinta di muka bumi.
Sayangnya, rasa cinta yang membara di dada kadang tak berimbang. Kita terlalu banyak menebar rasa cinta kepada makhluk, melupakan mencintai sang Pencipta Cinta. Kita sering terlena dengan kemesraan dan kerinduan, berduaan dengan sang pujaan di dunia fana melupakan “bermesraan” dengan sang Pencipta Cinta.
Kita bisa meleburkan jiwa menjadi satu dengan sang pujaan manakala rindu sudah menggebu di kalbu. Satu hari, satu pekan, satu bulan, bahkan satu tahun tak terasa manakala rindu dan cinta sudah menyatu dalam jiwa, padahal semua itu fana. Suatu saat akan segera meninggalkan jiwa.
Mari kita bertanya, sudah sampai dimanakah cinta kita kepada sang Pencipta Cinta? Atau jangan-jangan kita tak pernah “jatuh cinta” kepada sang Pencipta Cinta, Allah swt?
Kriteria orang yang jatuh cinta kepada sang Pencipta Cinta sangat sederhana dalam untaian kata, namun memang berat jika diungkap dalam perbuatan nyata. “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu, dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q. S. Ali Imran : 31).
Mencintai makhluk-Nya, terutama Rasulullah saw merupakan wasilah bukti cinta kita kepada-Nya. Mengikuti segala titah dan perilaku Rasulullah saw merupakan bukti cinta kepada-Nya. Bukanlah cinta sejati kepada-Nya manakala kita tak mengikuti titah dan perilaku Rasulullah saw.
Ketaatan kita dalam beribadah, baik secara spiritual maupun sosial merupakan bukti nyata cinta kita kepada-Nya. Permasalahannya seberapa lama kita dapat menyediakan waktu untuk berlama-lama beribadah, berzikir, dan bermunajat sebagai pelepas “rasa rindu” kepada-Nya?
Pernahkah kita rela menderita “insomnia” ketika berzikir dan bermunajat kepada-Nya? Adakah keyakinan tertanam di hati kita, penderitaan melepas rindu melalui berzikir dan bermunajat kepada-Nya akan melahirkan kebahagiaan? Apa yang telah kita korbankan sebagai bukti cinta kepada-Nya?
Seperti diuraikan pada awal tulisan, pecinta sejati adalah orang yang rela berkorban apapun demi meraih cinta sang pujaan. Ia akan mengabaikan apapun, sekalipun harus menderita, yang penting rasa cinta ia dapatkan, dan tak bertepuk sebelah tangan.
Jika rasa cinta hampa dari pengorbanan, kata tak sesuai fakta, maka yang terjadi asa cinta hanya akan menjadi fatamorgana. Terasa indah di alam maya, tapi tak pernah menyentuh jiwa. Jadilah ia cinta palsu yang hanya menipu. Seolah membuai rindu tapi ternyata memberi sembilu.
Bisa jadi kita sering menyatakan cinta dan rindu kepada Allah dan Rasul-Nya, namun kata dan perilaku kita tak sesuai dengan perintah-Nya. Kita hanya memberikan cinta palsu kepada -Nya.
Kita hanya mencintai-Nya tatkala derita menyapa. Siang, malam, dan setiap saat kita menyebut nama-Nya demi sirnanya penderitaan yang tengah menerpa jiwa. Namun tatkala derita sirna, rindu, dan munajat kepada-Nya pun ikut pula sirna.
Imam Hatim al ‘Asham, seorang ulama Sufi berkata, “Barangsiapa yang mengaku cinta kepada empat hal, tanpa melakukan empat hal, maka cintanya tergolong kepada cinta palsu. Mengaku cinta kepada Allah, seraya melakukan segala yang dilarang-Nya; mengaku cinta kepada Rasulullah saw, seraya membenci kaum fakir, miskin, dan anak yatim; mengaku cinta surga, seraya berperilaku tidak jujur; dan mengaku takut akan azab api neraka, seraya tak pernah berhenti berbuat dosa.”
Sungguh berbahagia, sampai hari ini, Allah masih menganugerahkan rasa cinta di dada. Cinta kepada diri sendiri, keluarga, dan sebagainya. Alangkah akan bertambah bahagianya jika cinta kita kepada makhluk-Nya di dunia ini menjadikan diri kita semakin mencintai-Nya, yakni dengan melakukan ketaatan kepada-Nya, seraya berupaya menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Sungguh cinta seperti ini merupakan cinta sejati yang akan mengantarkan kita meraih sorga-Nya. Kita harus berlindung dari cinta palsu kepada-Nya sebagaimana yang telah disebutkan. Cinta palsu kepada-Nya hanya akan melahirkan sikap menipu, menancapkan sembilu ke kalbu, dan mengantarkan kepada penderitaan hidup di dunia dan akhirat semakin kelabu.
Ya Allah,
izinkan aku mencintai-Mu
seperti permohonan cinta tulus Nabi Peluruh Besi
Ya Allah,
izinkan aku mencintai para kekasih-Mu
yang telah Kau sediakan mereka sorga sebagai balas kasih
Ya, Allah
jadikan seluruh cintaku jembatan emas
yang bisa menyampaikan indahnya “bercinta” dengan-Mu
Ya Allah,
jadikan cintaku setulus cinta para kekasih-Mu
yang merindukan pelukan hangat maghfirah-Mu
(diadaptasi dari do’a Nabi Daud a.s, H. R. Abu Darda)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.