Tuhan di Nusantara
Agama | 2021-04-22 13:22:37Saya ingat lagi, beberapa tahun lalu sempat ditemani anggota suku Koroway di wilayah Mappi, pedalaman ujung timur-tenggara Papua, berjalan-jalan di hutan. Saat itu saya bertanya banyak soal bahasa rumpun suku Koroway-Kombay-Citak yang sampai saat ini masih tinggal di pokok-pokok tinggi.
Meski serumpun, bahasa ketiganya benar-benar berbeda secara signifikan. Misalnya, Suku Koroway menggunakan kata haem untuk menyebut rumah. Sementara Suku Kombay memakai kata kinafo, dan Suku Citak menyebut same.
Pada satu titik, petinggi suku yang bernama Ayob Yama itu berhenti. Dengan dia punya anak panah, ia tusuk selembar daun besar yang jatuh di tanah dan ditunjukkannya ke salah satu pohon besar. "Diam sebentar di sini, Adik," kata dia. Dia bilang, pohon itu ditunggui. "Siapa yang menunggu?" saya tanya. "Sesembahan suku kah?"
Kesimpulan itu saya ambil serampangan karena sejak sekolah diajari bahwa orang Nusantara dulunya menyembah batu dan pohon-pohon yang diimbuhi dewa-dewa dan arwah.
Ayob tertawa, "Siapa yang bilang kitorang sembah pohon?". Ia lalu menjelaskan bahwa sukunya dahulu menyembah yang mereka panggil Saifafu. "Apa bahasa Kombay dan Citak Mitak-nya?" saya penasaran. "Sama saja," ujarnya. Faktanya, dalam kosa kata asli ketiga suku, hanya nama pencipta tunggal itu yang seragam.
Ia lalu menjelaskan bagaimana alam semesta lahir dari "sini-nya" Saifafu sembari menunjuk ke isi kepalanya. "Dari otak (saya rasa maksudnya pikiran), seperti Tuhan Bapa," kata dia.
Beberapa hari kemudian saya di Pantai Parai, Biak Numfor, mendengarkan sekelompok remaja berlatih wor untuk acara keesokan harinya. Ada Tete Didimus, pelatih mereka di sana kala itu.
Tradisi tersebut semacam seni merapalkan mantra. Ia biasa dinyanyikan seorang pemandu dan kemudian diikuti sekelompok lainnya. Yang dirapalkan, seperti macapat-nya orang Jawa, tergantung keadaan baik lirik maupun nadanya.
Ada yang untuk kematian, kelahiran, pernikahan, perang dan damai. Dahulu, wor-wor tertentu bahkan dikisahkan punya daya magis menghabisi pasukan lawan dan membuat tenang lautan (orang Biak adalah suku dengan tradisi berlayar yang kuat).
"Wor ini dulu untuk upacara agama orang Biak," kata Tete Didimus. Penasaran, saya tanya kemudian, siapa dulu yang disembah orang Biak sebelum agama Kristen masuk?
Menurut Tete Didimus, namanya "Mangundi", pencipta alam semesta. Orang Biak juga tak pernah menyembah batu dan pohon. Mereka hanya percaya ada semacam roh berdiam di lokasi-lokasi tertentu, tak jauh berbeda dengan kepercayaan di Islam soal keberadaan jin. Artinya, Mangundi tak punya sekutu dalam penciptaan. Bahkan, menurut Tete Didimus, kata "Mangundi" secara harfiah artinya "Dia Yang Sendirian".
Lama kemudian, saya kira buku-buku pelajaran sejarah kita agak perlu dibenarkan. Setidaknya di pedalaman Papua yang jauh lebih murni dan tak tersentuh pengaruh luar ketimbang daerah lain, bahkan di pesisir seperti di Biak, sebentuk monoteisme sudah lama bercokol.
Bisa jadi begitu juga di berbagai daerah lain di Nusantara. Mendengar langsung perihal agama asli orang Papua tersebut, saya jadi percaya kisah bahwa orang Jawa sebelum kedatangan Hindu-Buddha juga mengetahui keberadaan Sang Hyang Taya, sosok pencipta tunggal yang tak tepermanai. Bahwa leluhur kita penganut animisme-dinamisme jangan-jangan propaganda kolonial untuk menekankan superioritas kultural.
Saat ini, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" lebih dekat konotasinya dengan menghargai banyak perbedaan. Tapi dalam Kakawin Sutasoma, Mpu Tantular barangkali punya ide yang sama sekali berbeda saat menulis kalimat itu pada abad ke-14.
Jika menengok terjemahan Soewito Santoso, kalimat itu adalah substansi dari upaya menjelaskan kepercayaan sinkretis Hayam Wuruk bahwa Siwa sang dewa agama Hindu dan Buddha adalah entitas tunggal. "Mereka (Siwa dan Buddha) memang berbeda tapi satu juga," kira-kira begitu terjemahannya. Nampak jelas tinggalan agama kuno Jawa dalam prinsip tersebut.
Ini perlu kajian dari yang jauh lebih pakar. Tapi, jangan-jangan, sebab sudah ada tinggalan tendensi-tendensi itu juga agama-agama samawi seperti Islam dan juga kemudian Nasrani mudah diterima di Nusantara. Meski barang impor, konsep inti agama-agama itu soal Entitas Pencipta Yang Maha Tunggal sudah ada di kenangan kolektif masyarakat Nusantara, kenangan tinggalan para leluhur.
Jika demikian, barangkali kita bisa berhenti menyebut agama-agama dari Timur Tengah itu sebagai agama "asing" karena sistem kepercayaan tersebut sedianya menegaskan agama asli orang-orang Nusantara. Wallahu alambisshawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.