Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karta Raharja Ucu

Naik Oplet di Jakarta, Bagaimana Sih Rasanya?

Sejarah | 2021-04-17 14:58:12
Semerawutnya jalanan di wilayah Senen, Jakarta dulu.

Prapatan Senen sudah semrawut sejak 1956. Kala itu belum muncul lampu lalu lintas seperti sekarang ini. Lihatlah polisi lalu lintas (polantas) yang harus rela berjam-jam menggerakkan kedua tangannya untuk mengatur kendaraan. Anggota Polantas ini berdiri di tempat yang ditinggikan dan diberi semen.

Rupanya sejak puluhan tahun lalu, disiplin orang Jakarta berlalu lintas sangat parah. Seperti juga sekarang yang tanpa mengenal malu melakukan pelanggaran lalu lintas, hal yang sama juga terjadi pada masa itu. Becak seenaknya menyerobot kendaraan di jalan protokol.

Di hadapan tempat polantas berdiri saat itu, masih tampak gedung-gedung atau toko-toko tua yang sebagian besar milik warga Tionghoa. Sekarang ini sudah dibongkar dan menjadi Atrium Senen, yang merupakan pusat perdagangan modern. Sedangkan di seberang kiri merupakan Pasar Senen, yang kini menjadi pertokoan.

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1950, penduduk Jakarta melonjak dengan tajam. Soalnya ketika Bung Karno, Bung Hatta dan para pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta (Januari 1946), penduduk Kota Gudek yang kini tengah mengalami musibah gempa, melonjak dari 170 ribu jiwa menjadi 600 ribu jiwa.

Setelah penyerahan kedaulatan, mereka kembali ke Jakarta. Di samping mereka yang hijrah ke Yogya, berbagai masyarakat di daerah-daerah juga ngendon ke Jakarta. Apalagi dengan dibangunnya banyak departemen.

Tampak beberapa mobil buatan Amerika dan Eropa, seperti merk Chevrolet, Buick, Oplet, Austin, Morris dan Fiat. Nama Oplet dari kata Opel sampai tahun 1970-an merupakan angkutan penumpang utama di Jakarta. Seperti juga mikrolet, para penumpang duduk saling berhadapan.

Kendaraan Oplet kemudian digantikan dengan Austin juga buatan Eropa. Sekalipun sudah digantikan Austin, tapi nama Oplet lebih populer. Naik Oplet, bukan naik ostin sebutan orang-orang ketika itu, Kini baik nama Oplet maupun ostin sudah tidak terdengar lagi sejak beroperasinya mikrolet awal 1970-an.

Salah satu toko paling terkenal di Pasar Senen ketika itu adalah toko Baba Gemuk. Dinamakan demikian karena si baba berperawakan gemuk.

Di Pasar Senen kala itu ada Rumah Makan Padang Merapi. Kita perlu mengangkat rumah makan ini, sekarang jadi jalan arteri, karena di sinilah tempat para seniman Senen ngumpul di malam hari. Rumah makan padang ini letaknya di Kramat Bunder berdekatan dengan bioskop Grand (kini Kramat).

Dewasa ini, Seniman Senen yang biasanya nongkrong sambil membicarakan sandiwara dan film tinggal SM Ardan, Misbach Yusa Biran, Ayip Rosidi dan Harmoko. Di antara yang telah meninggal adalah Wahyu Sihombing, Soekarno M Noer dan adiknya Ismed M Noer, Syuman Jaya, dan Wahid Chan yang digelari camar seniman Senen. Acara diskusi dan omong-omong dimulai sekitar pukul 22.00 WIB dan makin malam makin ramai hingga jelang shubuh.

Seperti dikemukakan SM Ardan, ketika itu hampir tidak ada membicarakan masalah politik. Karena antara kelompok kiri dan kanan tidak ada masalah kala itu. Karena tidak ada yang mempertentangkan ideologi. Baru pada 1960-an, para seniman PKI dengan Lekranya mulai mempengaruhi para seniman, termasuk seniman Senen untuk masuk dalam kelompok mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image