Bermimpi Jadi Seorang Poliglot
Gaya Hidup | 2021-04-16 20:52:19Wie geht's dir?, ujar saya mengulangi kalimat singkat yang sebelumnya diucapkan seorang tutor Bahasa Jerman di channel Youtube-nya. Ketika bibir belum kering seusai mengucapkan kalimat Wie geht's dir? atau Apa kabar kamu? dalam Bahasa Jerman, tiba-tiba seorang teman menghampiri saya, yang sedang tenggelam belajar Bahasa Jerman lewat smartphone.
"Ya ampun. Belajar bahasa apa lagi sih lo? Emangnya enggak ada kerjaan ya belajar bahasa orang lain terus," begitu celetuk temen sekantor saya, yang enggak perlu saya sebut namanya.
Mendengar celetukan teman saya tersebut, jujur saya agak sedikit kesal sih. Dikarenakan mood yang sedang tidak oke karena pekerjaan yang numpuk, saya pun tidak menggubris pertanyaan teman saya itu. Bukannya pergi meninggalkan saya yang sedang konsentrasi belajar Bahasa Jerman, teman saya malah makin menjadi-jadi, bahkan sedikit mengejek saya.
"Woi, jawab kali pertanyaan gue. Lo belajar bahasa baru karena dapat pacar baru ya?," kata teman saya yang super menjengkelkan itu. Karena kuping saya mulai panas dengan pertanyaan dia yang annoying, akhirnya saya buka suara.
Dengan panjang kali lebar saya jelaskan mengapa saya belajar Bahasa Jerman. Teman saya itu akhirnya pergi setelah mendengar penjelasan saya. Setelah dia pergi, saya pun kembali belajar di meja kerja kantor sambil menunggu pekerjaan kelar.
Sebetulnya, bukan cuma satu atau dua orang saja sih yang bertanya kepada saya kenapa tertarik belajar bahasa asing. Mungkin karena salah saya juga sih yang acapkali membuat status di Whatsapp atau media sosial dengan berbagai bahasa. Terkadang Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Bahasa Italia, Bahasa Spanyol, atau bahasa lainnya.
Bagi kebanyakan orang mungkin kebiasaan saya meng-update status dengan bahasa gado-gado gitu aneh. Tapi, buat saya itu justru kenikmatan tersendiri sekaligus cara saya belajar bahasa asing.
Bayangkan saja, hanya untuk membuat status saja terkadang saya harus mikir dulu loh. Saya harus mengecek apakah grammar yang saya pakai itu betul atau salah. Hahahaha. Maklum saya bukanlah seorang ahli bahasa, saya ini masih belajar setiap harinya.
Membuat status dengan beragam bahasa asing itu secara tidak langsung merupakan salah satu cara saya mempraktikkan materi belajar bahasa. Bahkan, kalau otak lagi kusut, saya mencurahkan isi hati di media sosial dengan campuran empat atau lima bahasa sekaligus. Jadi, orang lain kesulitan mengartikan curahan hati saya di media sosial, hahahahaha.
Berbicara seputar ketertarikan saya mempelajari bahasa asing, sebetulnya tidak ada alasan spesifik sih. Sejak duduk di kursi sekolah menangah pertama (SMP), saya memang mulai menyukai bahasa asing, tepatnya Bahasa Inggris. Masa-masa SMP itu boleh dibilang bersamaan dengan masa tumbuh kembang saya sebagai anak baru gede alias ABG.
Ketika saya ABG itu, saya menyukai boyband asal Irlandia bernama Boyzone. Boyband yang namanya melejit lewat lagu daur ulang dari Bee Gees berjudul "Words" itu sukses mencuri hati saya. Saya kepincut dengan vokalis utamanya yang bernama Ronan Keating. Sejak jatuh hati dengan Si Kasep itu, saya pun ingin tahu apa sih isi lagu yang dia nyanyikan dan isi wawancara yang dia lakukan bersama teman-temannya di Boyzone.
Petualangan saya mempelajari bahasa asing pun dimulai. Setiap hari saya mengartikan lirik lagu yang dinyanyikan Boyzone dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Sambil mendengarkan lagu di radio, saya memegang album Boyzone yang berisikan beragam lirik lagu dan kamus terjemahan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.
Seiring waktu, saya pun hapal di luar kepala semua arti lirik lagu-lagu yang dinyanyikan Boyzone. Karena sudah memahami semua isi lagu-lagu Boyzone, saya pun mulai mengartikan lagu-lagu asing yang dibawakan boyband atau penyanyi lainnya yang wara-wiri di channel musik MTV.
Melihat kebiasaan saya yang mengartikan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, mama saya ketika itu menawarkan saya belajar Bahasa Inggris di tempat kursus kenamaan. Mama bilang saya memiliki bakat menguasai Bahasa Inggris. Tanpa pikir panjang, saya pun menerima tawaran menarik mama saya.
Selama les Bahasa Inggris, jujur saya tidak merasa sedang belajar. Saya justru menikmati hari demi hari proses belajar Bahasa Inggris. Apalagi saat itu saya berpikir kalau seseorang yang bisa Bahasa Inggris itu kesannya hebat banget dan berpeluang jalan-jalan keliling dunia. Hahahaha, maklumlah pikiran sempit ABG pada masanya.
Menahun sudah saya mempelajari Bahasa Inggris. Saya tidak hanya belajar Bahasa Inggris di sekolah atau tempat les, tapi lewat lagu-lagu berbahasa Inggris, film Hollywood, serial TV, artikel atau berita yang menggunakan bahasa penyatu dunia itu. Alhamdulillah kemampuan saya memahami Bahasa Inggris semakin membaik, meskipun masih jauh dari sempurna. Hasil belajar saya juga sangat bermanfaat ketika saya sedang sedang dapat tugas kantor di luar Indonesia atau ketika melancong ke luar negeri.
Hobi saya menjelajah dunia juga secara tidak langsung membuat saya tertarik menguasai bahasa asing. Singkat kata, setelah pulang liburan dari Italia, saya pun memutuskan mempelajari bahasa Negeri Piza tersebut. Beragam alasan yang membuat saya memutuskan belajar Bahasa Italia di Istituto Italiano di Cultura (IIC) di Menteng, Jakarta.
Jujur ya, kelas pertama saya belajar di IIC itu membuat otak saya mau pecah rasanya. Hahahaha. Sumpah susah banget. Perintilan Bahasa Italia benar-benar membuat saya harus memeras otak agar bisa menguasai bahasa Negeri Spageti itu. Sulitnya mempelajari Bahasa Italia sekaligus menjadi tantangan tersendiri yang harus saya taklukkan. Saya berjanji kepada diri sendiri bisa berbicara Bahasa Italia ketika kembali melancong ke Milan, Italia.
Suatu ketika, saya pun kembali menjejakkan kaki di Milan, Italia. Rasanya tak sabar saya mempraktikkan hasil belajar Bahasa Italia saya di IIC secara langsung di Italia. Saya ingat sekali, kalimat pertama yang saya ucapkan ketika mendarat di Italia adalah Buongiorno atau Selamat Pagi. Saya menyapa petugas imigrasi di Bandara Malpensa, Milan, pagi hari waktu setempat.
Kalimat dalam Bahasa Italia lainnya pun keluar dari mulut saya ketika berada di Negeri Piza. Mulai dari perbincangan singkat dengan resepsionis di hotel, pramusaji di restoran, penjual tiket di sejumlah tourist attractions, sampai mengunjungi markas klub AC Milan dan Inter Milan di Stadion San Siro. Jujur, saya happy banget ketika akhirnya bisa berkomunikasi dengan orang-orang asli made in Italy.
Orang-orang Italia sangat mengapresiasi saya ketika berbicara menggunakan bahasa ibu mereka. Apakah saya berpuas hati? Tentu saja tidak. Karena level kemampuan Bahasa Italia saya masih jauh dari sempurna, bahkan sampai detik ini saya masih terus mengasah kemampuan saya berbicara dan mengerti Bahasa Italia.
Setelah Bahasa Italia, saya pun kembali menantang diri sendiri mempelajari bahasa asing lainnya. Kali ini pilihan saya jatuh ke Bahasa Jerman. Awalnya saya kira Bahasa Jerman itu lebih mudah dibandingkan Bahasa Italia, ternyata saya salah besar. Salah satu bahasa resmi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) itu justru lebih njelimet. Jumlah gender dalam Bahasa Italia yang hanya maskulin dan feminin, nah dalam Bahasa Jerman malah bertambah, yakni maskulin, feminin, dan netral.
Lantas, apakah saya menyerah untuk mengasah kemampuan belajar Bahasa Jerman? Tentu saja tidak. Ich werde nicht aufgeben alias I won't give up. Pantang bagi saya menyerah dalam hal apapun. Apalagi, saya memiliki moto kalau mempelajari bahasa itu adalah bagian dari proses hidup yang terus berlangsung sampai menutup mata. Belajar bahasa harus terus dilakukan tanpa memandang sudah sampai level berapa.
Hingga detik ini saya masih belajar Bahasa Jerman. Saya menargetkan bisa berbicara panjang lebar dengan warga asli Jerman ketika kembali menjejakkan kaki di negeri yang dipimpin Kanselir Angela Merkel itu. Dua tahun lalu, ketika saya berkunjung ke Jerman, kemampuan Bahasa Jerman saya masih sangat terbatas. So, I can't wait to practice my German skill in Germany sooner or later.
Jika sudah mahir Bahasa Jerman, saya ingin mempelajari Bahasa Spanyol. Bukan tanpa alasan sih. Bahasa Spanyol hampir mirip dengan Bahasa Italia. Misalnya, lidah dalam dalam Bahasa Italia itu adalah la lingua, sedangkan dalam Bahasa Spanyol adalah la lengua. Beda tipis kan?
Jujur sih, saya juga terkadang mempelajari Bahasa Spanyol di sela-sela sesi belajar Bahasa Jerman. Capek enggak sih belajar bahasa asing terus? Terkadang adik saya bertanya kepada saya. Kalau dibilang capek, yah namanya belajar, terkadang capek atau jenuh sih. Tapi, karena saya memang sejak ABG sudah menyukai belajar bahasa asing, jadi sampai kapan pun saya akan terus mempelajari bahasa asing.
Saya bermimpi menjadi seorang poliglot alias orang yang memiliki kemampuan untuk berbicara, menulis, dan membaca dalam lima bahasa atau lebih. Tak hanya sekadar tahu saja, seorang poliglot biasanya juga bisa berbicara, menulis, dan memahami bahasa asing, poliglot memang mendedikasikan waktunya untuk belajar bahasa asing.
Berdasarkan Meriam-Webster, istilah polyglot kali pertama digunakan pada 1645 silam. Saat itu istilahnya adalah medieval latin polyglÅttus yang dipinjam dari istilah Yunani, yakni polýglÅttos, yang berarti banyak lidah. Tentu saja jalan saya masih panjang untuk menjadi seorang poliglot.
Impian menjadi seorang poliglot akan terus saya kejar. Saya tidak akan menyerah, saya berjanji ke diri sendiri, selama saya hidup berarti selama itu pula saya akan terus mempelajari bahasa asing. Tak perduli usia saya terus bertambah setiap tahunnya atau berapa banyak orang yang bertanya kenapa saya belajar bahasa asing.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.